Pengarang : Carl Sagan
Penerbit : The Penguin Press, NY
Tahun : 2006
Tebal : 273 halaman, hard cover
“ There is an enormous amount we do not know; there is a tiny amount that we do. But what we do understand brings us face-to-face with an awesome cosmos that is simply different from the cosmos of our pious ancestors.”
Buku ini adalah kumpulan kuliah Natural Theology yang diberikan Carl Sagan di Glasgow pada tahun 1985 atau Gifford Lectures, dan merupakan tradisi yang telah dimulai sejak ratusan tahun sebelumnya oleh para ilmuwan ternama lainnya seperti Niels Bohr dan lain-lain di tempat yang sama. Ann Druyan sebagai editor menyebutkan bahwa buku ini diterbitkan selain untuk memperingati 10 tahun berpulangnya Sagan juga karena pemikirannya dirasa relevan di tengah kondisi dunia yang semakin terancam oleh fundamentalisme.
Bagi penggemar Carl Sagan, membaca kembali tulisannya tetaplah mengesankan, meskipun itu hanya berupa kumpulan kuliah yang diberikan 22 tahun yang lalu. Menarik karena selain belum pernah diterbitkan, kumpulan kuliah ini menjelaskan lebih spesifik pandangan Sagan mengenai Tuhan beserta proses yang dilaluinya untuk sampai kesana. Kita telah mengetahui bahwa Sagan sangat rasional, anti superstition, mencintai sains dan menyebarkannya dengan semangat kepada sebanyak mungkin orang, namun mengapa Sagan bersikap demikian, baru secara rinci terdapat dalam buku ini.
Bagi yang belum pernah membaca tulisannya, buku ini dapat merupakan perkenalan yang baik karena mudah dibaca, disertai dengan banyak ilustrasi berupa foto-foto galaksi, bintang, planet dan lainnya, serta memberikan pengetahuan dan pencerahan dengan cara yang halus dan menawan.
Dalam bab pertama, Sagan menguraikan luasnya alam semesta dan tidak berartinya bumi di dalamnya dengan 15 gambar. Diuraikan bahwa di alam semesta terdapat paling sedikit miliaran dan mungkin ratusan miliar galaksi yang masing-masing berisi sejumlah bintang sebanyak di galaksi Bima Sakti, sedangkan di galaksi Bima Sakti sendiri terdapat 400 miliar bintang, dimana matahari hanya salah satunya, dan setiap bintang memiliki beberapa planet. Dengan demikian jumlah bintang adalah 100 miliar triliun. Pengetahuan ini, menurutnya, tidak pernah tergambarkan dalam semua kitab suci. Ini hanyalah sebagian penemuan ilmiah yang menurut Sagan sama sekali tidak pernah dapat kita ketahui dari kitab suci, bahkan dalam bentuk paling samar sekalipun. Sebaliknya, kitab-kitab itu menggambarkan alam semesta demikian kecil dan Tuhan demikian membumi, seolah-olah bumi demikian penting. Hal lain, alam semesta juga “hidup” dan berevolusi. Bintang-bintang lahir, mati, dan setiap kematian diiringi dengan ledakan yang menghancurkan planet-planet di sekitarnya, sehingga jika di planet tersebut terdapat kehidupan, maka setiap saat terjadi kehancuran atau kematian besar-besaran. Dengan demikian, sama seperti kehidupan di bumi, maka kehidupan di seluruh alam semesta adalah penuh penderitaan. Semua hal ini, menurut Sagan, tidak sesuai dengan konsep Tuhan dalam agama samawi yang disebutkan pemelihara dan penuh kasih. Selain itu, Tuhan yang digambarkan hanya mengurusi bumi menjadikan Tuhan tersebut tidak sesuai dengan luasnya alam semesta sebagaimana kini kita ketahui. Oleh karena itu, sulit bagi Sagan untuk menerima konsep tradisional tentang Tuhan sebagaimana terdapat dalam agama samawi.
Selanjutnya penulis menguraikan mengapa beberapa argumen yang mendasari keberadaan Tuhan sesuai gambaran agama samawi, yaitu argumen kosmologikal, argumen dari hukum kedua termodinamika, argumen atas dasar rancangan, argumen moral, argumen ontologikal, argumen atas dasar kesadaran, dan argumen berdasar pengalaman kurang meyakinkan. Demikian pula argumen berdasarkan anthropic principle. Anthropic principle adalah pendapat yang mengatakan bahwa semua hukum fisika dan kimia adalah demikian adanya karena untuk memungkinkan manusia dapat hidup dan memiliki intelegensi. Misalnya tingkat gravitasi adalah sebesar tertentu dan bukan besaran lain karena jika berbeda, alam semesta tidak seperti saat ini dan bumi serta makhluk hidup tidak akan pernah dapat exist dan berkembang.
Masalah di atas masih ditambah lagi dengan adanya problem of evil, masalah yang juga menjadi perhatian kaum agamawan sejak ratusan tahun lalu dan tidak terpecahkan dengan baik. Masalah lainnya adalah: mengapa tidak ada pembuktian yang lebih jelas, misalnya dalam kitab suci dituliskan,”Matahari adalah bintang”, atau “Thou shalt not travel faster than light.” Lebih jelasnya: mengapa kitab suci (Tuhan) dapat menguraikan tindakan yang harus dilakukan manusia – misalnya cara berdoa, bertindak kepada sesama - secara terinci (jelas) namun dalam hal pengetahuan mengenai alam semesta (fisika,biologi) demikian samar bahkan tidak sesuai dengan fakta ilmiah?
“ It is possible to design religions that are incapable of disproof. All they have to do is to make statements that cannot be validated or falsified. .. that means you cannot make any statements on how old the world is, ..about evolution, about the shape of earth, and so on. But it is a very rare religion that avoids the temptation to make pronouncements on matters astronomical and physical and biological.”
Membaca buku ini membuat kita memahami mengapa semakin berkualitas seorang ilmuwan semakin hilang kepercayaan kepada agama samawi. Namun kepercayaan tersebut digantikan dengan perasaan kekaguman kepada keluasan dan kompleksitas alam semesta disertai rasa rendah hati yang dalam dan kecintaan kepada bumi sebagai sesuatu yang sangat berarti sehingga harus dipelihara baik-baik dari kerusakan. Hal ini jugalah yang ditawarkan Sagan dalam buku ini; untuk memberikan perasaan yang sama kepada pembaca. Pengetahuan, daya kritis, itulah hal yang berharga. Meskipun sains membuat kita sulit mempercayai kepercayaan tradisional sepenuhnya, namun hal itu justru membuat kita semakin menyadari pentingnya kebersamaan untuk memelihara dan menyelamatkan bumi. Karena bumi dan manusia hanyalah satu titik kecil tak berarti yang hilang di tengah keluasan alam semesta!