Monday, February 22, 2016

Isinga dan Kain Cinta Tanpa Batas



 Judul    :       Isinga, sebuah roman Papua
Pengarang:   Dorothea Rosa Herliany
Penerbit:       Gramedia
Tahun   :       2015   
Tebal    :       218 hal





Judul    :       Kain Cinta Tanpa Batas
Pengarang:   Magdalena Sitorus
Penerbit:       Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Tahun   :       2015   
Tebal    :       252 hal




Ketatnya adat atau tradisi beberapa suku di Indonesia seringkali menindas kaum perempuannya, sehingga hanya perempuan yang kuat yang dapat mengatasinya. Demikian yang hendak disampaikan oleh kedua novel ini, yang berlatar adat Papua dan Sumatera Utara.




Isinga mengisahkan seorang gadis cantik di pedalaman Papua yang diculik oleh pemuda dari suku yang berbeda, yang merupakan musuh sukunya. Untuk menghindari peperangan, maka ia terpaksa harus menikah dengan Magea, pemuda yang menculiknya, sehingga membuat  Abanga, kekasihnya patah hati dan pergi dari desa sukunya.
Sebagaimana laki-laki Papua pada umumnya, Magea tidak pernah bekerja kecuali membuka ladang baru, dan menginginkan banyak anak. Seluruh pekerjaan termasuk berladang, menyediakan makanan sehari-hari dan mengurus anak merupakan tugas Irewa. Meskipun demikian, Irewa masih sering  mendapat bentakan dan siksaan dari Magea, sehingga pada suatu hari ia pergi hingga sampai ke kampung asalnya di dataran rendah, yang lebih maju dari kampung Magea.
Di kampung halamannya, Irewa yang menderita sakit kemudian dirawat oleh Sisi, yang  ternyata adalah saudara kembarnya. Sebagaimana adat suku-suku primitif, anak kembar dianggap kutukan, sehingga salah satu harus dibuang. Oleh karena itu Sisi diambil anak oleh suster Vivi, seorang misionaris berkebangsaan Jerman. Sisi berpendidikan baik dan bercita-cita tinggi, bahkan kemudian disekolahkan ke Jerman untuk menjadi dokter.
Sementara itu, kekasih Isinga yang patah hati berkelana dan bertemu dengan Rere, yang memelihara tradisi musik asli dengan berkeliling Papua. Namun kegiatan Rere tidak disukai penguasa, sehingga ia terbunuh dan nasib Abanga di Papua terancam. Bagaimanakah nasib Rere, Sisi dan Isinga selanjutnya?

Dalam novel ini, digambarkan beratnya tugas yang harus dijalankan oleh perempuan Papua, yang bertanggung jawab mencari nafkah dan mengurus seluruh anaknya, melahirkan sendirian di hutan, menghasilkan banyak anak, namun masih dianiaya oleh suami dan dalam masyarakat hanya diwajibkan bersabar dan menerima apapun perlakuan suami, sehingga bunuh diri merupakan hal yang hampir dianggap wajar. Dalam novel Sali – yang juga mengisahkan kehidupan perempuan Papua – tokohnya bunuh diri. Namun Isinga tidak bunuh diri. Ketika hendak terjun ke sungai, tiba-tiba ia teringat anak-anaknya, bahwa ia memiliki tanggung jawab membesarkan mereka. Ia tidak jadi bunuh diri dan kemudian berusaha mencari nafkah dengan berjualan hasil ladang ke pasar. Dan melihat perempuan Jawa di pasar yang berani membela haknya, ia kemudian berani bersikap tegas kepada suaminya yang menjual tanah adat untuk mengunjungi perempuan bayaran. Ia bahkan menjadi aktivis untuk mengusir mereka karena  memberi pengaruh buruk kepada masyarakat adat yang masih lugu.

Tokoh perempuan dalam novel ini adalah perempuan yang kuat: ia sanggup menikah dan dianiaya oleh laki-laki musuh sukunya, ia tidak merasa iri melihat nasib baik saudara kembarnya, ia sanggup membesarkan ketiga anaknya sendirian, ia berani menjadi aktivis.  Demikian pula saudara kembarnya: ia pintar, bersifat sosial dan bercita-cita tinggi.  Sementara itu tokoh laki-laki Papua digambarkan pemalas, kejam, bodoh dan gamang menghadapi berbagai perubahan.
Namun pembaca tidak tahu sifat rata-rata perempuan Papua, seperti Sali ataukah Isinga, karena  masyarakat Papua tidak tergambarkan disini. Tidak ada kisah mengenai teman-teman atau tetangga perempuan Isinga. Mungkinkah Isinga merupakan perkecualian atau gambaran ideal penulisnya akan perempuan Papua?

Kain Cinta Tanpa Batas menggambarkan kehidupan keluarga suku Batak pada awal tahun 1970-an di Jakarta. Tokohnya, Hotma, menikah dengan anak keluarga kaya, namun selalu dimarahi oleh mertuanya karena tidak juga mampu memberikan anak laki-laki. Demikian pentingnya seorang anak laki-laki bagi keluarga mertuanya, dan tuntutan yang terkeras justru dari mertua perempuannya.  Sementara itu, suaminya seorang yang lemah, yang hanya mampu bekerja di perusahaan pamannya, takut kepada ibunya, bahkan karena kehidupan yang kurang teratur, akhirnya meninggal. Namun Hotma adalah seorang wanita yang berbudi luhur dan kuat, ia tidak menikah lagi, dan memilih hidup dengan bekerja untuk membesarkan anaknya sendirian hingga dewasa.
Apakah keluarga Batak di masa kini masih seperti itu? Meskipun mereka terkenal kuat mempertahankan adat, mungkin di masa kini tuntutan akan penerus laki-laki tidak sekeras dulu.  

Kedua novel ini memiliki tema yang sama, yaitu tentang kekuatan perempuan mengatasi berbagai  tantangan yang merugikan dirinya, yang berasal dari adat istiadat yang tidak menguntungkan posisinya atau bahkan menindas.
Tema tersebut akan menarik apabila penulis dapat menggambarkan perasaan dan perkembangan karakter tokohnya secara mendalam dari sisi tokoh tersebut, sehingga pembaca dapat menyelami perasaan tokoh tersebut ketika menghadapi berbagai permasalahan dan mengatasi masalahnya, karena tentunya tokoh perempuan tersebut sering mengalami kesedihan, keputusasaan, kesepian, kekurangan uang, dan hal-hal buruk lainnya. Sayangnya, kedua penulis kurang menggarap hal tersebut, sehingga akhir yang happy ending tampak seperti sebuah pelajaran atau nasihat saja: jadilah perempuan yang sabar, bertanggung jawab, dan tahan penderitaan, agar bisa membesarkan anak-anak dan hidup tenang di kala tua.