Thursday, April 03, 2014

Bumi Tuhan

 
Judul    :       Bumi Tuhan
Pengarang:   Soetedjo Waloejo
Penerbit:       Gramedia
Tahun   :       2013, November
Tebal    :       315  hal



Soetedjo Waloejo bercita-cita menjadi dokter yang mengabdi untuk tanah airnya setelah menyelesaikan pendidikan di Pyong Yang. Namun persitiwa 30 September 1965 mengubah seluruh jalan hidupnya, sehingga ia menjadi pengembara selama 48 tahun dan menghembuskan nafas terakhir di Paris sebagai warga negara Prancis pada tahun 2013, setelah tinggal di Korea Utara selama 10 tahun dan Uni Soviet selama 15 tahun.

Kedekatan hubungan antara Indonesia dengan negara-negara sosialis membuat Soetedjo pada tahun 1960 dikirim tugas belajar ke Pyong Yang selama 8 tahun. Tidak banyak orang Indonesia yang belajar kesana atau mengetahui kondisi negara tersebut, sehingga pengalamannya selama di Korea Utara cukup menarik dan merupakan bagian terbesar dari buku ini.
Saat kedatangannya pertama kali sebagai mahasiswa yang akan belajar disana, penulis mendapat sambutan luar biasa. Selain disambut rombongan pelajar di stasiun, juga diajak mengunjungi pabrik-pabrik, pertunjukan teater, dan mendapat hadiah pakaian musim dingin dari pemimpin Korea Utara, Kim Il Sun. Meskipun demikian, ia tidak bisa mengetahui nama dan  melanjutkan persahabatan dengan dua pemuda yang menemaninya selama acara tersebut, karena mereka dilarang berteman dengan orang asing di luar tugas.
Setelah kuliah, mahasiswa asing  mendapat asrama tersendiri dan makanan yang jauh lebih baik dari mahasiswa lokal yang hanya mendapat jatah  sejenis bubur serta tinggal berdesakan dalam satu kamar. Namun mahasiswa asing harus sekamar dengan satu mahasiswa lokal, yang sekaligus bertindak sebagai mata-mata.
Sebagai pemuda dari keluarga sederhana yang merasa bangga mendapat kesempatan belajar di luar negeri, penulis semula sempat shock setelah menyadari bahwa universitas tempat belajarnya di Korea Utara sangat sederhana dan ilmu kedokteran di negara sosialis tidak semaju di negara Barat. Namun ia mengagumi keuletan rakyat Korea yang giat membangun negerinya yang hancur karena perang. Selama kuliah ia sempat membantu delegasi Indonesia yang melawat ke Korut, disamping membantu delegasi Korut yang berkunjung ke Indonesia.

Berdasarkan pengalaman pengarang di beberapa negara sosialis, Korea Utara adalah negara komunis yang paling ketat. Sebagai mahasiswa asing ia tidak boleh memiliki teman penduduk lokal, asramanya diisolasi dan dijaga oleh dua petugas piket, bahkan setelah seluruh mahasiswa asing lainnya pergi dan ia tinggal sendirian, dan ia tidak boleh pergi kemana pun kecuali ke toko khusus untuk orang asing. Seorang teman kuliah Koreanya yang bersedia ia ajak untuk makan bersama di restoran khusus orang asing harus membayar keberaniannya melanggar peraturan dengan kerja paksa dan diberhentikan dari kuliah. Sementara itu  seorang dosennya yang memainkan biola klasik di depan pengarang di ruang autopsi kemudian dipindahkan dan hilang.

Setelah peristiwa 30 September dan pemerintahan berganti, mahasiswa Indonesia di Pyong Yang diminta mengikuti skrining. Mengikuti nasihat perwakilan Indonesia disana saat itu, Soetedjo menolak melakukannya dan menyatakan tetap setia kepada Presiden Sukarno, sehingga paspornya dicabut. 
Setelah tidak memiliki kewarganegaraan, Soetedjo mencoba bekerja sebagai dokter dan mempelajari akupuntur dari dosen pembimbingnya. Namun sistem komunis yang terlalu ketat di Korut baginya terlalu kejam, sehingga ia pindah ke Uni Soviet pada tahun 1970.

Dibandingkan dengan Korea Utara, kehidupan di Uni Soviet terasa bebas, karena saat itu Soviet telah melakukan revisi dalam pelaksanaan komunisme dan mengarah ke kapitalisme. Selama di Uni Soviet Soetedjo menjadi dokter bedah dan meneruskan pendidikan S3 sehingga memperoleh gelar PhD pada tahun 1990. Selain bekerja di rumah sakit, ia praktek penyembuhan akupuntur, yang membawanya ke Beograd dan membangkitkan minatnya untuk pindah ke negara Barat.
Berkat bantuan sahabat lamanya, akhirnya pengarang pindah ke Paris. Namun kepindahan ke negara Barat tidak berarti kesulitan berakhir, karena ketidakmampuan berbahasa Prancis membuat pengarang merasa tidak mampu mengikuti ujian persamaan untuk bisa bekerja  sebagai dokter di klinik atau rumah sakit. Usia yang telah mencapai setengah abad membuatnya merasa sulit untuk belajar bahasa baru, disamping kesulitan ekonomi apabila tidak bekerja, sehingga akhirnya selama sisa hidupnya di Prancis ia hanya bekerja sebagai pembantu juru rawat sampai pensiun. Suatu akhir yang tragis, meskipun setelah menjadi warga negara Prancis ia sempat mengunjungi keluarga di Indonesia.     

Soetedjo hanyalah satu dari ratusan ribu korban peristiwa 30 September. Entah apa yang akan terjadi seandainya ia mengikuti skrining dan pulang. Apakah ia akan tetap bebas dan dapat meneruskan hidup dengan normal? Ataukah ia akan menghabiskan puluhan tahun hidupnya di pulau Buru karena dianggap sebagai komunis, seperti misalnya seorang mahasiswa kedokteran UI  simpatisan kiri (saya lupa namanya) – yang juga pernah menulis memoir sejenis?

Melukiskan pertemuan dengan kedua orang tuanya, penulis mendapat kabar bahwa seluruh teman-teman dekatnya disiksa dan dibunuh, bahkan mereka yang tidak begitu memahami arti komunisme, demikian pula keluarganya dikucilkan dari masyarakat setelah peristiwa tersebut. Mungkin hal tersebut dan pengalaman pahitnya selama di Prancis khususnya, menimbulkan rasa sedih pada akhir hidup penulis.
Hal ini berbeda dengan Ibaruri, puteri Aidit yang juga tidak bisa pulang dan akhirnya menjadi warga negara Prancis. Ibaruri, seorang dokter yang mendapat pendidikan di Cina, juga tidak dapat berpraktek di Prancis dan akhirnya bekerja di restoran. Namun tulisannya masih menyiratkan semangat bahkan kritik terhadap pemerintah Indonesia masa kini yang dianggapnya kurang nasionalis, antara lain mengobral sumber daya alam dengan murah. Mungkin latar belakang sebagai anak pemimpin Partai Komunis memberikan kekuatan tersendiri dalam menghadapi pengucilan di luar negeri.  

Membaca buku ini menyadarkan kita sekali lagi, betapa tingginya harga yang harus dibayar oleh korban ideologi marxisme dan betapa kejamnya rezim militer orde baru.
Di seluruh dunia, komunisme murni telah runtuh, namun di Indonesia, rasa takut akan gerakan tersebut masih dipelihara, meskipun banyak ancaman lain yang lebih nyata dan berbahaya.
Sebagai generasi yang jauh lebih muda, saya terkesan dengan sikap sangat rasional, konsisten, dan cinta tanah air  yang besar  dari para simpatisan kiri yang dituduh komunis ini. Suatu sikap yang kian langka ditemukan dalam masyarakat yang semakin religius dan intoleran, oportunis dan mementingkan diri sendiri, jika perlu dengan menjual tanah air.