Friday, January 27, 2012

The Handmaid's Tale

Judul : The Handmaid’s Tale
Pengarang: Margaret Atwood
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2012
Tebal : 318 hal


The Handmaid’s Tale adalah kisah tentang masyarakat teokrasi di masa depan, dimana kebebasan tidak ada lagi, teknologi dan ilmu pengetahuan lenyap digantikan ayat-ayat dari kitab suci, dan perempuan kembali tidak memiliki hak apapun di masyarakat.
Terinspirasi oleh novel-novel dystopia seperti 1984, Fahrenheit 451 dan Brave New World, sebagian keadaan yang digambarkan dalam novel telah terjadi di beberapa bagian dunia.

Cerita dituturkan oleh Offred, seorang handmaid, yaitu perempuan yang tugasnya memberi keturunan pada pasangan suami istri elit penguasa. Penguasa baru, yaitu pendiri republik Gilead mengambil-alih pemerintahan demokratis Amerika setelah ada serangan besar dari teroris Islam, dengan mendasarkan pemerintahan pada keyakinan Kristen fundamentalis. Sejak masa pemerintahan ini, maka semua perempuan dilarang bekerja, dilarang memiliki rekening dan property, membaca, menulis, dan tidak dapat bepergian ke luar rumah sendiri. Setiap orang wajib mengenakan pakaian yang sesuai dengan kelasnya dalam masyarakat, yang dibedakan warnanya, dan semua perempuan wajib mengenakan gaun panjang yang tertutup penutup kepala, sepatu tanpa hak, serta berjalan menunduk. Film, majalah, musik, buku selain kitab suci dan barang-barang lain yang kurang berguna dilarang, dan ilmuwan serta dokter kehilangan pekerjaan karena univesitas dan rumah sakit ditutup.

Negara masih terus menghadapi perang dan pertumbuhan populasi sejak beberapa waktu sebelumnya telah negatif. Kondisi ini dan banyaknya radiasi kimia akibat perang mengakibatkan kemampuan reproduksi merupakan barang langka. Oleh karena itu pemerintahan baru membuat peraturan yang memaksa perempuan yang menikah untuk kedua kalinya atau tidak terikat pernikahan namun pernah memiliki anak menjadi handmaid, dengan membunuh pasangan mereka dan mengambil anak mereka sendiri untuk dididik negara, serta menempatkan mereka dalam rumah para pasangan penguasa yang tidak dapat memiliki anak. Offred adalah salah satu diantara perempuan tersebut. Suaminya mungkin dibunuh dan anak perempuannya diambil oleh negara. Sementara itu, perempuan lanjut usia, dan mereka yang tidak dapat bereproduksi dibuang ke koloni, untuk membersihkan bahan-bahan berbahaya sisa perang yang terkena radiasi, sedangkan perempuan penurut yang tidak menjadi istri penguasa atau Commander bertugas mengindoktrinasi perempuan-perempuan muda untuk patuh pada ideologi baru negara.

Novel ini menggambarkan kehidupan Offred yang membosankan di rumah Commander. Dari seorang perempuan bekerja yang mandiri dan memiliki keluarga menjadi perempuan yang setiap hari tidak melakukan apa-apa kecuali pergi berbelanja makanan di pagi hari bersama Offglen, seorang handmaid lain, menyerahkan barang belanjaan kepada dua pembantu perempuan, dan berdoa bersama keluarga Commander di sore hari, di dekat istri yang tidak menyukai kehadirannya. Hiburan satu-satunya adalah melewati Dinding, yang memajang orang-orang yang baru dihukum gantung, untuk melihat siapa yang dihukum hari itu.


Selain keluarga Commander dan dua pembantu, terdapat pula penjaga merangkap pengemudi bernama Nick yang masih muda. Perlahan-lahan Offred mengenal siapa sebenarnya Offglen, Commander dan Nick. Commander tidaklah demikian kaku, Offglen tidaklah sesoleh penampilannya, dan Nick tampaknya bersedia menolongnya.

 Apakah akhirnya ia memang bisa keluar dari negeri tersebut ke negara lain yang masih demokratis? Inggris misalnya, atau Jepang, yang digambarkan warganya berkunjung sebagai turis dan terheran-heran melihat Offred memakai gaun merah panjang tertutup di musim panas sehingga meminta pemandu menanyakan,”Apakah engkau bahagia?” Sementara Offred dengan iri melihat kebebasan dan pakaian turis tersebut sambil terkenang akan masa-masa ia sendiri memiliki kebebasan seperti itu. Ia juga mengingat dengan sedih kebenaran kata-kata ibunya – yang telah dibuang ke koloni – yang selalu memperingatkan dirinya akan ancaman tibanya masa rezim tersebut, dan kekecewaan ibunya karena ia tidak pernah menganggapnya dengan serius, sehingga tidak membantu perjuangan ibunya mempertahankan kebebasan yang mereka miliki saat itu. Offred mengira gerakan keagamaan tersebut tidak akan bisa menguasai negerinya, bahwa jumlah mereka kecil sehingga tidak akan dapat mempengaruhi atau mengubah kondisi negerinya secara drastis. Tapi ia tidak memperhatikan, bahwa segalanya berjalan secara perlahan-lahan, tanpa ia sadari semua berubah secara perlahan, dan ketika ia menyadarinya, semua sudah terlambat. Tidak hanya dia, tapi banyak orang yang menganggap remeh gerakan tersebut terlambat menyadarinya, sehingga rezim tersebut dapat menguasai mereka. Hanya orang-orang seperti ibunya, yang mengetahui keadaan di zaman yang lebih lama, yang bisa menyadari ancaman tersebut.

Sebagian orang berpendapat bahwa kejadian di atas tidak mungkin dapat terjadi di Amerika. Mungkin tidak disana. Tapi bagaimana dengan di tempat lain? Bagaimana dengan di Iran, Afghanistan, Sudan? Indonesia? Atwood menulis novelnya pada tahun 1985. Pada tahun tersebut telah terjadi revolusi Iran, namun belum muncul pemerintahan Taliban (1996-2001), belum terjadi peristiwa 9/11, 2001, belum terlalu banyak terjadi terorisme dan radikalisme.

Revolusi Iran mewajibkan kembali pemakaian hijaab, Taliban menghapus semua hak perempuan, teknologi dan seni, gerakan keagamaan sekelompok kecil orang di Indonesia mengubah pikiran dan pakaian yang dikenakan perempuan muda hanya dalam dua puluh tahun – yang tak dapat dipahami atau terbayangkan oleh dua generasi di atasnya…
Apakah The Handmaid’s Tale berlebihan, ataukah ia ramalan buruk yang perlahan menjadi kenyataan?

Mungkin itu sebabnya, novel ini terus diterbitkan dan dibaca. Ia mengingatkan kita, terutama perempuan, apa yang akan terjadi jika pemerintahan teokrasi berkuasa – dari agama monoteis apapun. Dan bahwa perubahan dapat terjadi perlahan-lahan tanpa kita sadari jika kita selalu menganggap segalanya kecil dan tidak mungkin, sampai tiba-tiba segala sesuatunya sudah terlambat. Namun masih ada sedikit harapan – tidak semua tempat mengalami hal itu. Masih ada tempat-tempat, negara, dimana hal tersebut tidak terjadi. Paling tidak demikian pesan novel ini: jika di suatu tempat ada pemerintahan diktator teokrasi yang menindas perempuan, tidak berarti di semua tempat seperti itu, masih ada negara lain yang bersifat liberal.


Edisi baru novel ini yang diterbitkan oleh Folio Society dilengkapi dengan pengantar baru dari pengarang, dan ilustrasi yang sangat bagus dan sesuai dari Anna dan Elena Balbusso. Dalam pengantarnya, Atwood menyatakan, bahwa ia tidak mengarang sesuatu yang belum pernah dilakukan manusia. Semua yang ditulisnya pernah dilakukan manusia di masa yang lalu di dunia Barat, sehingga dalam novelnya tidak ada sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Namun demikian, ia sendiri tidak mengira bahwa ciptaannya akan sedemikian populer dan di beberapa wilayah mendekati kenyataan.

Jalan-Jalan ke Antartika



Judul : Jalan-jalan ke Antartika – Kisah Peneliti Indonesia Pertama di Antartika
Pengarang: Agus Supangat
Penerbit: KPG
Tahun : 2011, Nov.
Tebal : 203 hal



Jalan-jalan ke Eropa atau Amerika merupakan hal biasa, namun tidak semua orang dapat menginjakkan kaki di daratan Antartika atau kutub Selatan, apalagi bagi orang Indonesia yang berasal dari negeri tropis.

Agus Supangat, peneliti dari ITB yang tampaknya gemar bertualang, mengisahkan perjalanannya mengikuti penelitian oseanografi dan biologi laut di Antartika bersama Muhamad Lukman dan tujuh puluhan peneliti lainnya dari berbagai negara menggunakan kapal peneliti Australia, Aurora Australis pada bulan Februari hingga Maret 2002. Selain mereka berdua, terdapat tiga peneliti Indonesia lainnya dalam misi ini, namun mereka hanya sampai di Hobart, Tasmania.

Australia memiliki tiga pusat penelitian di Antartika. Sedangkan negara Asia yang memiliki pusat penelitian disana adalah Cina, Jepang, Korea Selatan dan India. Peneliti Indonesia diikutsertakan karena ketika itu Indonesia ingin menjadi anggota Antartic Treaty, dan penulis adalah orang Indonesia pertama yang mengikuti ekspedisi kesana.

Selain mengisahkan kegiatannya selama perjalanan tersebut, Agus Supangat juga menjelaskan tentang kondisi alam di kutub Selatan dan sedikit latar belakang penelitian yang dilakukan. Misalnya, mengapa Antartika merupakan benua yang paling dingin, kering dan berangin, kaitan antara kondisi arus Sirkumpolar Antartika dengan arus lintas Indonesia. dan pengaruh kelancaran arus tersebut terhadap kestabilan atau perubahan iklim dunia.
Dikisahkan juga tentang permintaan presiden Indonesia ketika itu, yaitu Megawati, untuk membawa prasasti yang ditanda-tangani oleh presiden, guna ditempatkan di pusat penelitian Australia di Antartika, sebagai tanda persahabatan kedua negara, dan keharuan penulis melihat bendera merah putih berkibar disana untuk pertama kali.

Ketika pertama kali menaiki kapal, penulis terkejut melihat kemewahan dan besarnya kapal tersebut, yang berukuran lima kali kapal penelitian Indonesia Baruna Jaya, namun setelah mengalami sendiri bahwa di masa kini pun perjalanan ke Antartika merupakan sesuatu yang sulit dan berbahaya, ia dapat mengerti mengapa diperlukan kapal yang besar dan fasilitas seperti hotel berbintang. Agus Supangat juga menceritakan kerja sama dan kerendah hatian para peneliti yang mengikuti ekspedisi, antara lain mereka tidak segan-segan membantu pekerjaan para awak kapal.
Semua kisah selama pelayaran dan beberapa hari tinggal di daratan Antartika tersebut diuraikan dengan ringan, dilengkapi sejumlah foto.
Di akhir buku, penulis kembali mengingatkan pembaca akan pentingnya mencegah pemanasan global.

Buku ini ditulis dengan sederhana, namun dapat mendorong minat pembaca muda yang menyukai laut dan alam bebas untuk menjadi peneliti. Akan lebih menarik jika penulis juga sedikit memasukkan sejarah penjelajahan ke Antartika dan hasil penelitian lain yang terkait wilayah tersebut, yang berkaitan dengan penurunan kondisi lingkungan di wilayah Antartika.

Sunday, January 22, 2012

Never Let Me Go


Judul : Never Let Me Go (Jangan Lepaskan Aku)
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Penerjemah: Gita Yuliani
Penerbit: GPU
Tahun : 2011, Sept
Tebal : 358 hal




Ketika sebagian orang masih memperdebatkan, apakah jika manusia dapat menciptakan klon dirinya sendiri, klon tersebut memiliki jiwa, Ishiguro mencoba menjawabnya dalam novel ini.

Kisahnya sendiri bersetting pada akhir 1990-an di Inggris.
Kathy, yang berusia tiga puluh satu tahun dan telah belasan tahun menjadi perawat, mengenang teman-teman dekatnya semasa kecil di sebuah sekolah berasrama bernama Hailslam, khususnya dua teman yang terakhir dirawatnya.

Cerita kembali ke masa kanak-kanaknya di Haislam, tempat terpencil yang cukup menyenangkan namun agak aneh. Ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak mereka ketahui jawabnya tentang diri mereka sendiri. Kathy mengenang para guru sekaligus pengasuh mereka, antara lain Miss Emily, kepala Hailslam yang tegas, Miss Geraldine yang lembut, Miss Lucy yang suka berterus terang, dan Madame yang angkuh, yang sekali-sekali datang untuk mengambil karya seni terbaik mereka.

Mereka belajar dan wajib membuat karya seni – puisi, essay, gambar, patung – untuk dijual dalam acara Exchange, agar bisa mendapat kupon, yang nilainya sesuai dengan mutu karya yang dihasilkan. Kupon tersebut digunakan untuk membeli barang-barang pribadi ketika ada Sale, yang diadakan beberapa kali dalam setahun di asrama, Sale merupakan acara paling ditunggu-tunggu di Hailslam.
Oleh karena Exchange merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan barang pribadi dan terpilihnya karya oleh Madame berarti akan masuk dalam galeri, maka siswa yang karya-karyanya bagus akan lebih dihargai daripada yang tidak. Hal ini menyulitkan Tommy, yang tidak berbakat seni dan pemarah, meskipun ia kemudian berubah dan bisa menerima keadaannya. Kathy menaruh perhatian pada Tommy, demikian pula Ruth, sahabat Kathy yang berjiwa pemimpin. Mereka bertiga bersahabat, meskipun tidak tanpa konflik.

Mereka tidak tahu banyak tentang diri sendiri, kecuali bahwa kelak harus memberi donasi. Tapi mengapa mereka harus membuat karya untuk galeri? Apakah hasil penjualan karya mereka di galeri digunakan untuk membiayai hidup mereka? Tapi apa yang mereka buat hanyalah karya kanak-kanak. Tommy memiliki teori sendiri, bahwa karya itu digunakan untuk melihat jiwa mereka, agar Madame bisa menilai dengan baik pernyataan mereka, karena katanya jika terdapat dua orang yang benar-benar saling mencintai, masa donor mereka bisa ditangguhkan. Benarkah?

Semakin besar, para siswa tersebut tahu bahwa mereka adalah klon dan kelak akan menjadi donor, bahwa ada orang-orang di luar sana yang menjadi model bagi mereka, bahwa bercita-cita tinggi adalah sia-sia. Pilihan hidup bagi mereka hanyalah menjadi perawat, sampai tiba masanya menjadi donor. Tapi semuanya tidak benar-benar jelas, karena para guru dan pengasuh tidak pernah benar-benar menjelaskannya pada mereka, dan asrama mereka terisolasi sehingga tidak dapat bergaul dengan orang-orang normal lain.
Hanya keberanian dan tekad Tommy serta Kathy di saat-saat terakhir Tommy yang dapat menjelaskan apa sebenarnya yang terjadi, yaitu ketika mereka bertanya langsung kepada Madame di rumahnya, lama setelah asrama Haislam dibubarkan, dan ketika semuanya sudah terlambat…

Novel ini ditulis dari sudut pandang Kathy. Di bagian pertama yang cukup panjang adalah kenangan Kathy akan masa kanak-kanaknya di Hailslam dengan Ruth dan Tommy sebagai teman terdekatnya. Kemudian masa ia pindah dari Hailslam ke asrama lain di Cottage lalu menjalani pelatihan sebagai perawat. Terakhir adalah masa Kathy sebagai perawat para donor selama bertahun-tahun, mengapa ia memilih merawat para donor dari tempat yang sama dengannya,.termasuk Ruth dan Tommy setelah mereka menjadi donor, serta mencoba menerima hidupnya sebagaimana adanya.

Hampir setengah bagian novel merupakan uraian masa kanak-kanak Kathy di Hailslam, yang ditulis dengan rinci dari sudut pandang anak-anak dan memerlukan kesabaran pembaca – yang menurut saya dapat diperpendek. Namun bagian ini mempersiapkan pembaca pada bagian-bagian berikutnya yang menggambarkan perasaan dan akhir hidup mereka yang menyedihkan. Pada bagian ini penulis berhasil menggambarkannya dengan sangat baik sehingga menimbulkan kesedihan yang sangat bagi pembaca: perasaan kesepian, kehidupan yang keras dan melelahkan, tiadanya keinginan, cita-cita pribadi, maupun rasa marah sebagai klon yang diciptakan untuk kepentingan orang lain.

Memang agak mengherankan juga, mengapa mereka, khususnya Kathy yang tegar, tidak marah menjadi klon yang diciptakan hanya untuk mendonorkan organnya berkali-kali sampai mati, dan tidak ingin mempertahankan hidupnya seperti manusia normal, dengan melarikan diri sebelum menjadi donor, misalnya. Apa yang menyebabkan mereka demikian pasrah? Hal ini tidak diungkapkan secara eksplisit oleh pengarang. Mungkinkah pelajaran atau brainwashing selama di asrama, ketidaktahuan akan kehidupan di dunia luar, dan pandangan rendah terhadap mereka oleh orang-orang normal, sudah cukup untuk membuat mereka patuh sehingga tidak menginginkan apapun untuk diri sendiri?

Ketika Kathy bertanya, mengapa Miss Lucy keluar dari Hailslam, Miss Emily menjawab, bahwa Miss Lucy berpendapat anak-anak harus diberitahu hal sebenarnya yang akan mereka hadapi, namun ia tidak setuju, karena ia ingin melindungi anak-anak, jika perlu dengan berbohong untuk menyembunyikan beberapa hal, sehingga mereka dapat menikmati seni dan pelajaran mereka. “Untuk apa kalian mau melakukannya, seandainya tahu apa yang ada di masa depan kalian? Kalian akan bilang semua tidak ada gunanya, dan bagaimana kami bisa berdebat dengan kalian? Maka dia harus pergi.”

Sebagian besar dari kita juga tidak tahu apa yang ada di masa depan, dan seandainya kita tahu, mungkin juga akan merasakan kesia-siaan itu. Karena kita tidak tahu, maka setiap orang menikmati hidupnya dan berusaha melampaui mortalitas dengan meninggalkan sesuatu: karya seni, tulisan, anak, kekayaan, pelajaran, atau apapun, untuk mengurangi rasa sia-sia. Dan sebagian besar merasa hidupnya memiliki tujuan yang berarti, meskipun hanya menjadi orang-orang biasa yang tidak meninggalkan sesuatu yang besar…apakah hal tersebut juga karena brainwashing sejak kecil dalam masyarakat yang juga tidak mempertanyakan sesuatu pun lagi? Bukankah dalam masyarakat juga tidak ada tempat untuk mereka yang terlalu jujur mengemukakan kesia-siaan hidup manusia?
Banyak pengarang mengungkapkan kesepian dan kesia-siaan hidup manusia dengan caranya masing-masing. Yang jelas, novel ini tidak menceritakan tentang proses penciptaan manusia klon, dasar sainsnya, proses penggunaannya, siapa penggunanya, dan hal-hal teknis sejenis sebagaimana seharusnya dalam kisah fiksi ilmiah.

Bagi yang pernah membaca karya Kazuo Ishiguro sebelumnya, seperti The Remains of the Day, pemenang Man Booker Prize tahun 1989, mungkin gaya tulisan Ishiguro di novel ini akan tidak asing lagi, meskipun kisahnya sama sekali berbeda. Novel ini aslinya diterbitkan pada tahun 2005 dan telah difilmkan pada tahun 2011.

Friday, January 06, 2012

Noli Me Tangere

Judul : Noli Me Tangere  (Jangan Sentuh Aku)
Pengarang: Jose Rizal
Penerjemah: Tjetje Jusuf
Penerbit: Pustaka Jaya
Tahun : 1975
Tebal : 643 hal


Sebagaimana bangsa Indonesia dijajah selama 350 tahun, demikian pula Filipina, yang dijajah Spanyol selama 327 tahun (1571 – 1898). Membaca roman yang ditulis oleh pejuang kemerdekaannya yang paling terkenal akan mengingatkan pada kisah perjuangan bangsa sendiri.
Noli Me Tangere berkisah tentang penindasan Spanyol terhadap bangsa Filipina. Namun tidak seperti Belanda, gereja memiliki peran jauh lebih besar daripada pemerintahnya.

Cerita dibuka dengan kepulangan Don Crisostomo Ibarra dari pendidikan di Madrid. Ibarra adalah putra Don Rafael, yang meninggal di penjara karena membela seorang anak miskin.. Don Rafael, seorang peranakan Spanyol yang kaya, namun tidak disukai oleh penguasa gereja, Pater Damasio, karena tidak pernah melakukan pengakuan dosa sehingga dianggap bukan penganut Katolik yang taat. Oleh karena itu ketika Don Rafael menyebabkan kematian seorang penjahat secara tidak sengaja, Pater Damasio berusaha keras menjebloskannya dalam penjara. Demikian besar kekuasaan gereja sehingga sehingga pemerintah – walikota, polisi dan sekolah – takluk di bawahnya. Begitu pula seluruh rakyat, karena mereka percaya bahwa menentang atau meragukan para pendeta akan membawa mereka ke neraka.

Melihat kondisi bangsanya, terutama setelah mendengar penjelasan seorang guru sekolah yang menceritakan bahwa anak-anak hanya mendapat pendidikan agama yang tidak berguna – menghafalkan doa-doa dalam bahasa Latin yang tidak mereka mengerti, dilarang mempelajari bahasa Spanyol atau pelajaran lainnya – dan pater Damasio sangat menghinakan kaum pribumi yang dianggapnya bodoh dan malas, Ibarra bermaksud mendirikan sekolah sendiri. Namun mengingat kekuasaan gereja, maka sesuai nasihat Tasio yang bijaksana. gurunya waktu kecil, ia tetap meminta restu mereka, dengan mengundang para pendeta dan pemerintah untuk menghadiri pembangunan sekolah.

Ibarra mendapat dukungan Kapten Tiago, seorang pengusaha Cina yang anak perempuannya, Maria Clara adalah teman Ibarra semasa kecil dan menjadi tunangannya. Namun rupanya Pater Damasio juga ingin menghancurkan Ibarra dan tidak rela Maria menikah dengannya. Ketika diundang menghadiri pembangunan sekolah, ia menghina Ibarra. Tidak lama kemudian, terjadi pemberontakan yang seolah-olah digerakkan oleh Ibarra. Namun seorang yang pernah diselamatkan Ibarra - seorang pejuang kemerdekaan, yaitu Elias, menyelamatkan Ibarra dengan perahu, dengan mengorbankan nyawanya sendiri.

Sementara itu Kapten Tiago diancam oleh Pater Damasio agar menikahkan Maria Clara dengan kerabatnya yang baru tiba dari Spanyol. Maria yang patah hati terpaksa memutuskan Ibarra karena ternyata Pater Damasio mengancam ayahnya.. Namun ia merasa telah berkhianat kepada Ibarra, karena telah memberikan surat Ibarra kepada Pater Damasio – sehingga bentuk tulisannya dapat menjadi barang bukti untuk menuduhnya sebagai pemberontak – sebagai penukar surat rahasia mengenai ayahnya sebenarnya. Rasa bersalah menyebabkan Maria tidak bersedia menikah dan menjadi putus asa setelah mendengar bahwa Ibarra tewas dalam pelariannya.

Benarkah Ibarra tewas, sedangkan Elias telah merelakan nyawanya agar ia dapat melarikan diri, meneruskan perjuangan untuk menghentikan penindasan penjajah? Bagaimana dengan nasib Maria, teman-teman Ibarra, seperti Kapten Tiago, Tasio, dan orang-orang miskin yang dibelanya?

Ada belasan tokoh dalam roman ini, yang mungkin mewakili masing-masing kalangan yang ada di Filipina saat itu. Meskipun demikian, jalinan cerita yang menarik membuat kisahnya mudah diikuti. Membaca buku ini mengingatkan saya pada novel-novel Eropa klasik zaman tersebut yang mengesankan dan mengharukan. Mungkin Jose Rizal adalah orang Asia (Melayu) pertama yang menulis novel seperti sastrawan Eropa, dan yang mengagumkan, ia menulisnya pada saat masih berusia 23 tahun.
Tidak mengherankan jika dikatakan bahwa roman ini menimbulkan inspirasi bagi para pejuang kemerdekaan di Asia.

Jose Rizal dilahirkan pada tahun 1861. Ia mulai menulis romannya sewaktu mengikuti pendidikan di Madrid pada tahun 1884, yang diselesaikan pada tahun 1886 dan diterbitkan di Berlin pada 1887. Pada umur 23 tahun ia menyelesaikan pendidikan filsafat dan sastra serta dokter. Kemudian ia pulang ke Filipina untuk membuka klinik, dan sempat menulis lanjutan buku ini yaitu El Filibusterismo (Merajalelanya Keserakahan). Namun bukunya menyebabkan ia dicurigai pemerintah Spanyol sehingga ia berkelana ke Eropa. Tidak lama kemudian setelah kembali ke tanah airnya, ia ditahan dan akhirnya dihukum tembak mati pada tahun 1896 dalam usia 35 tahun.

El Filibusterismo, yang diterjemahkan Pustaka Jaya pada tahun 1996, masih relatif mudah didapat, namun buku ini baru berhasil saya peroleh dalam pameran buku tahun ini.

Sang Penerjemah


Judul : Sang Penerjemah
Pengarang: Leila Aboulela
Penerjemah: Harmani Astuti
Penerbit: GPU
Tahun : 2011, Oktober
Tebal : 272 hal



Kisah dalam novel ini sebenarnya sederhana. Shammar, seorang perempuan Sudan yang ditinggal mati suaminya di Aberdeen, Skotlandia, terlalu sedih di negerinya sendiri untuk merawat anak satu-satunya, sehingga kembali ke Skotlandia dan menjadi penerjemah bahasa Arab di universitas. Suatu hari ia bekerja untuk Rae, seorang professor bidang Timur Tengah, dan mereka saling jatuh cinta. Namun Shammar ingin mempertahankan keyakinannya. Ia tidak ingin mengorbankan agamanya untuk Rae, meskipun hal itu membuatnya menderita. Ia pulang ke Sudan dan tidak kembali. Apakah Rae benar-benar mencintainya? Akankah Rae mencarinya?  

Hal yang menarik dari novel ini adalah gaya penuturan penulis yang lembut, meskipun di bagian awal jadi terasa agak lambat. Gambarannya yang rinci dan halus tentang cuaca, perasaan dan tindakan seorang perempuan yang sedang jatuh cinta dapat mengingatkan pembaca akan pengalamannya sendiri, akan orang-orang yang pernah dicintai, yang mungkin kini telah jauh tak terjangkau, sehingga membangkitkan rasa sedih. Ini bagian yang saya sukai, meskipun saya tidak menyukai karakter tokoh utamanya.

Di sisi lain, cerita yang berakhir dengan happy ending membuat Sang Penerjemah menjadi seperti novel pop biasa: tidak beda dengan tulisan perempuan pemimpi dimana saja, yang memimpikan seorang laki-laki baik tiba-tiba muncul dan takluk karena cinta. Klise. Padahal hidup tidak seperti itu.