Sunday, February 27, 2011

GOD THE FAILED HYPOTHESIS



Judul : God: The Failed Hypothesis – How Science Shows that God Does Not Exist
Pengarang : Victor J. Stenger
Penerbit : Promotheus Books
Tahun : 2008, cet. kedua
Tebal : 300 hal

Banyak yang berpendapat bahwa sains dan agama merupakan area yang berbeda, dan memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Antara lain bahwa agama adalah mengenai moralitas dan hal-hal supernatural, sedangkan sains mengenai hal yang bersifat natural. Sains tidak dapat membuktikan kebenaran hal-hal yang bersifat supernatural, seperti ada tidaknya Tuhan. Namun sejumlah ilmuwan, antara lain Stenger berpendapat, bahwa ada tidaknya Tuhan dapat dibuktikan, khususnya Tuhan menurut agama Yahudi, Kristen dan Islam, karena Tuhan ketiga agama tersebut digambarkan aktif menciptakan alam semesta, manusia, memelihara ciptaannya, berfirman melalui nabi dan kitab suci, dan mengabulkan doa-doa. Oleh karena itu tentu bukti-buktinya dapat dilihat secara obyektif.

Penulis membagi pembahasannya dalam 10 bab. Bab pertama menjelaskan tentang metode ilmiah dan metode yang digunakannya dalam membuktikan ketiadaan Tuhan. Pertama harus dibuat model ilmiah tentang Tuhan, yang memiliki sejumlah atribut. Disini digunakan atribut Tuhan sebagaimana dipahami pemeluk tiga agama monoteis, sehingga dapat disusun hipotesis bahwa Tuhan adalah:
1. Pencipta dan pemelihara alam semesta
2. Penyusun struktur dan pembuat hukum alam semesta
3. Terlibat dalam urusan dunia bila perlu, misalnya mengabulkan doa manusia
4. Pencipta dan pemelihara manusia, yang memiliki kedudukan istimewa dibandingkan makhluk lainnya
5. Pemberi jiwa yang abadi kepada manusia
6. Sumber moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, keadilan, demokrasi
7. Menunjukkan kebenaran melalui kitab suci dan nabi-nabi, dan
8. Tuhan yang tidak menyembunyikan diri bagi mereka yang membuka diri terhadapnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka ketiadaan bukti-bukti obyektif atribut di atas dapat menjadi bukti ketidakberadaannya.

Bab dua membahas kebenaran atribut pertama. Merujuk pada teori evolusi, maka hipotesis bahwa alam semesta merupakan hasil rancangan tidak dapat dibuktikan.
Mengenai kekekalan jiwa manusia dan kemanjuran doa manusia dibahas dalam bab tiga. Berdasarkan ilmu syaraf (otak) dan penelitian mengenai keampuhan doa yang dilakukan beberapa universitas selama hampir sepuluh tahun, tidak terdapat bukti bahwa jiwa terpisah dari otak dan doa memiliki pengaruh terhadap kesembuhan pasien yang didoakan.

Dua bab selanjutnya berkaitan dengan kosmologi dan fisika membahas mengenai apakah alam semesta memiliki asal mula (yang berarti diciptakan) atau tidak (abadi). Disini penulis merujuk pada penemuan terakhir kosmologi antara lain inflationary universe dan keahliannya dalam fisika partikel, yaitu bahwa alam semesta tidak memerlukan pencipta karena tidak ada asal mulanya (infnitively old).
Selanjutnya mengenai keistimewaan manusia di alam semesta, penulis menguraikan tentang kaidah antropik (anthropic principle) yang sering digunakan untuk membuktikan bahwa alam semesta diciptakan sedemikian agar manusia dapat eksis, yang menyebutkan, bila salah satu dari parameter-parameter fisika diubah sedikit saja, kehidupan yang memungkinkan munculnya manusia tidak akan ada. Namun penulis mengingatkan, hal tersebut karena parameter yang diubah hanya satu, sedangkan lainnya tetap.
Merujuk pada penelitian fisikawan Anthony Aguire, maka jika enam parameter diubah, bintang-bintang, planet dan kehidupan cerdas kemungkinan muncul. Sebaliknya, penulis menguraikan kondisi alam semesta yang tidak ramah, dan dengan demikian tidak sesuai dengan gambaran akan pentingnya manusia di alam sebagaimana tertulis dalam kitab suci, sebagaimana ditulis Stenger,”If God created a universe with at least one major purposes being the development of human life, then it is reasonable to expect that the universe should be congenial to human life. Now, you might say that God may have had other purposes besides humanity. …One certainly can imagine a god for whom humanity is not very high on the agenda and who put off in a minuscule, obscure corner of the universe. However, this is not the God of Judaism, Christianity, and Islam, who places great value on the human being and supposedly created us in his image.” (hal 154)
Fakta menunjukkan bahwa luas alam semesta tidak terbayangkan oleh manusia; jarak antar bintang sangat jauh, kekosongan merupakan sesuatu yang dominan, keberadaannya telah demikian lama, dan triliunan bintang-bintang memancarkan energi yang sedemikian besar, yang kesemuanya menampakkan kesia-siaan, waste.
”On the distance scale of human experience, the solar system is immense. Earth is one hundred and fifty million kilometers from the sun. Pluto is some six billion kilometers away. The Oort cloud of comets, which marks the edge of the solar system, extends to thirty trillion kilometers from the sun. Although the space between the planets contains smaller asteroids, comets, and dust, the solar system consists mainly of empty space that seems to serve no purpose…. On this distance place, the planets are tiny points.”
Selanjutnya mengenai luas alam semesta, Stenger menulis,” The next closest star (after the sun), Proxima Centauri, is 40 trillion kilometers. This is part of the triple-star system called Alpha Centauri. The Alpha Centauri system is 4.22 light-years away (one light-year is 9.45 trillion kilometers). …Our sun and its planetary systems are…of a galaxy containing an estimated 200 – 400 billion other stars. Called the Milky Way…is but one of perhaps a 100 billion galaxies in the visible universe. The next galaxy nearest to us, Andromeda is 2.44 million light-years away….. How big is the universe? The farthest observed galaxy at this writing, Abell... this galaxy is now about 40 billion light years away. The farthest distance we can ever hope to see, our horizon, is 13,7 billion years away.”
Selain luas yang tak terkira, umur alam semesta juga demikian lama, “Instead of six days, He took nine billion years to make earth, another biilion years or so to make life, and then another four billion years to make humanity.”
Dibandingkan semua itu, maka manusia menjadi tampak tidak berarti,”Humans have walked for less than one hundredth of one percent of earth history. ….0,0002 the mass of the universe is carbon (the main element of life). Yet we are supposed that God specially designed the universe so it would have the ability to manufacture carbon in its stars, the carbon needed for life?” (hal 157).
Demikian luas dan kerasnya alam semesta sehingga mustahil pula bagi manusia untuk menjelajahinya,”Suppose we were able to build a spaceship that could accelerate at a constant g, that is, at the acceleration of gravity on earth…..In eleven years’ ship-time it coud reach the center of our galaxy. But during that time, almost 27.000 years would have passed on earth. … Even if they traveled to the center of the Milky Way and back, aging forty-four years in the process, they would return to an Earth 104,000 years in the future as measured on Earth clocks…..space travelers would have to travel tens of thousands of light years, at the minimum, before finding a planet they coud live without a massive life support. …Our species is probably marooned in space, on spaceship Earth, and likely to go extinct before the sun burns its last hydrogen atom.”
Kesimpulannya,”It seems inconceivable that a creator exist who has a special love for humanity, and then just relegated it to a tiny point in space and time. … the universe looks very much like it was produced with no attention whatsoever paid to humanity.”

Gambaran ini memang sangat berbeda dengan kitab suci. Dalam Qur’an misalnya, tertulis,”Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. (6:97).... Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandangnya (15:16). Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintahNya (16:12). Dan (dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk (16:16).
Mengenai kebenaran nabi-nabi dan isi kitab suci serta sumber moralitas, yang semuanya dinyatakan berasal langsung dari Tuhan, dibahas dalam dua bab selanjutnya dengan mencocokkannya dengan tulisan sejarah yang dibuat pada masa itu serta bukti-bukti fisik yang dapat ditemukan dari penggalian arkeologi, yang kesemuanya ternyata tidak ada.

Selain membahas dari sisi sains dan sejarah, penulis juga membahas mengenai problem of evil. Dalam bab tersendiri juga diuraikan bukti atau fakta-fakta apa yang harus diperoleh untuk membuktikan bahwa kesimpulannya salah, atau bahwa Tuhan itu eksis.
Secara keseluruhan, buku ini adalah yang terlengkap dalam mencoba membuktikan ada tidaknya Tuhan, karena dibahas dari sisi biologi, kosmologi, fisika, sejarah dan filsafat dalam bab-bab ringkas dan dengan bahasa yang cukup mudah, tidak seperti buku Stenger lainnya yang cenderung teknis. Namun karena cukup ringkas, akan lebih mudah dimengerti bagi pembaca yang telah memiliki pengetahuan dasar tentang teori-teori yang dibahas. Meskipun demikian bagi pembaca yang belum mengenal sedikitpun teori evolusi atau kosmologi akan menimbulkan keinginan untuk mempelajari lebih dalam hal-hal yang disebutkan penulis.