Sunday, March 16, 2008

INFIDEL



Judul : Infidel
Pengarang : Ayaan Hirsi Ali
Penerbit : Free Press, NY
Tahun : 2007
Tebal : 350 hal

Ayaan adalah mantan anggota Parlemen Belanda yang berasal dari Somalia. Namanya mungkin asing bagi masyarakat Indonesia, namun bagi pembela kebebasan berpikir dan berpendapat, kini ia adalah salah satu tokoh yang dikagumi karena keberaniannya melakukan kritik terhadap kaum fundamentalis Islam dan penyadaran akan hak-hak perempuan dalam masyarakat Muslim. Kini, keberaniannya harus dibayar dengan hidup dalam pengawalan ketat sepanjang waktu yang memakan biaya mahal.

Buku ini menceritakan riwayat hidup Ayaan sejak kecil. Sewaktu kecil, Ayaan berpindah-pindah tinggal di Somalia, Arab Saudi, Kenya dan Ethiopia, karena ayahnya adalah salah seorang pejuang yang berusaha membebaskan Somalia dari kekuasaan Presiden Siad Barre ketika itu, sehingga selama 10 tahun Ayaan dibesarkan di Kenya. Kemudian pada umur 22 tahun (tahun 1992), ketika akan dinikahkan dengan pria Somalia yang tinggal di Kanada, dan sedang berada di Jerman menunggu keberangkatan selanjutnya, ia melarikan diri ke kamp pengungsi di Belanda dan membuat cerita agar bisa mendapatkan status pengungsi, karena jika alasannya hanya karena dipaksa menikah, ia tidak dapat menjadi pengungsi. Setelah mendapat status pengungsi, Ayaan mempelajari bahasa Belanda, memasuki vocational college, dan akhirnya mengambil Master ilmu politik di Universitas Leiden. Ia beruntung menguasai bahasa Inggris dengan baik, sehingga bisa membiayai kuliahnya dari profesinya menjadi penerjemah lepas bagi para pengungsi dari Somalia yang cukup banyak terdapat di Belanda.

Pengalaman hidupnya di tiga negara Islam dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan di negara Barat diceritakan cukup rinci, sehingga pembaca dapat mengetahui bagaimana kondisi negara-negara Islam yang pernah ditinggali Ayaan: status perempuan yang sangat rendah, infrastruktur yang buruk dan kota yang kotor serta berantakan, maraknya korupsi dan kemunafikan.
Penulis mengungkapkan bagaimana klan merupakan akar dari perseteruan dan peperangan yang terus menerus mendera Afrika, dan bahwa perempuan yang tidak memiliki suami atau keluarga/klan yang melindunginya berarti terbuka untuk diperlakukan apa saja termasuk diculik dan diperkosa beramai-ramai dan setelah itu dihinakan serta dianggap pantas untuk mati. Perempuan tidak memiliki hak apapun. Dengan mengutip ayat-ayat Qur’an, kaum lelaki di negara-negara tersebut merasa berhak memukuli istrinya setiap hari, mengganggu perempuan yang keluar rumah sendirian, dan melakukan penyunatan total yang membahayakan nyawa serta memaksa anak gadisnya menikah dengan siapa saja yang mereka kehendaki. Perlawanan akan mengakibatkan hilangnya perlindungan dari klan, dan nasib perempuan tanpa klan sangatlah rentan. Mungkin karena itu sejak masih tinggal di Ethiopia – bukan negara Islam – Ayaan telah mempersiapkan diri untuk mandiri dengan mengambil kursus agar dapat bekerja. Sifatnya yang bertanggung jawab dan ingin menjadi perempuan mandiri membuatnya ketika di Belanda tekun belajar dan bekerja serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebagian besar pengungsi dari negara-negara Muslim Afrika tidaklah demikian, yang membuat mereka tetap tertinggal dan menjadi masalah bagi negara-negara Eropa. Ayaan menjelaskan mengapa:
1. Mereka merasa superior dan menganggap rendah negara serta penduduk tempat mereka tinggal karena bukan negara Muslim, yang mereka sebut kafir, sehingga mereka tidak mau berbaur atau mencoba memahami kebudayaan negara tersebut. Ibu Ayaan juga demikian, merasa tersiksa dan rendah ketika harus tinggal di Ethiopia.
2. Oleh karena merasa superior, mereka tidak mau belajar dan bekerja dengan tekun di tempat yang baru namun bersikeras mempertahankan adat di tempat lama seperti: penyunatan perempuan, pemaksaan perkawinan, pembunuhan atas nama kehormatan, dan pemukulan terhadap istri.
3. Meluasnya gerakan Muslim Brotherhood yang menyerukan pemurnian Islam seperti 14 abad yang lalu di seluruh dunia turut mempengaruhi peningkatan konservatisme dan kebencian terhadap pihak yang tidak sefaham. Secara kasat mata, hal ini tampak dari makin banyaknya perempuan berjilbab di banyak negara yang semula relatif sekuler, seperti Kenya, Lebanon dan Turki.

Studi yang dilakukannya di Universitas Leiden untuk menjawab pertanyaan, mengapa semua negara Islam hancur (dilanda perang atau miskin/korup) membawanya mempelajari sejarah pemikiran dan perkembangan budaya Barat sampai pada tingkatnya saat ini yang maju dan sekuler. Meskipun mula-mula ia merasa berdosa mempelajari ide-ide baru tersebut, yang berdasarkan pendidikan agama yang diterimanya selama ini dapat dianggap merupakan pelajaran setan, namun akhirnya ia merasa yakin bahwa rasionalitas, sains, adalah yang terbaik dan agama Islam (di negara Muslim Arab dan Afrika) adalah sumber keterbelakangan. Keyakinan ini diperkuat ketika terjadi serangan 11 September, Ayaan menemukan bahwa ayat-ayat yang dikutip Osama bin Laden untuk membenarkan serangan tersebut semuanya terdapat di Qur’an dan Hadits. Ini menyadarkannya: kitab yang selama ini ia anggap suci dan baik itu ternyata hanya meminta satu hal: penyerahan total (submission), dan tidak menyediakan tempat untuk toleransi bagi agama lain.

Oleh karena itu, menurutnya, negara-negara Eropa seharusnya memaksa pendatang untuk berbaur dan mempelajari sejarah serta budaya Eropa, dan tidak membiarkan pendatang menerapkan adat lama atau membantu sekolah khusus yang mengajarkan kefanatikan agama serta perendahan perempuan. Bukan karena tidak menghargai budaya lain, tetapi karena budaya tersebut, yang berdasarkan Islam, bersifat terbelakang: menindas perempuan, membodohkan dan melanggengkan kebencian pada pihak yang berlainan agama atau budaya. Untuk memperjuangkan hal ini maka Ayaan menjadi anggota parlemen Belanda, menjadi pembicara pada banyak acara, dan dengan sutradara Theo van Gogh membuat film yang mengkritik sikap Islam terhadap perempuan, Submission.

Suatu hari di bulan November 2004, Theo ditemukan terbunuh di pagi hari dengan beberapa tembakan sebelum digorok lehernya oleh seorang fundamentalis Muslim. Tidak hanya itu, pembunuh meninggalkan sebilah pisau tertancap di dada korban dengan kertas berisi pesan ancaman terhadap nyawa Ayaan. Kejadian ini mengguncangkan Belanda. Dan sejak itu mulailah penjagaan ketat atas dirinya hingga kini.

Benarkah Islam sumber penindasan terhadap perempuan? Jika diteliti, maka penyunatan perempuan adalah budaya Afrika, sedangkan cadar dan pakaian tertutup adalah budaya Arab, dan pembunuhan karena kehormatan mungkin budaya Arab dan Afrika, sehingga ketiga hal di atas tidak kita temukan di Indonesia. Namun dalam budaya yang sangat bersifat patriarkis seperti di atas, Islam dapat dijadikan pembenaran untuk semakin menindas perempuan, karena dalam Qur’an (dan hadits) sendiri terdapat ayat-ayat yang cukup merendahkan, misalnya tentang dibolehkannya pemukulan terhadap istri, poligami, dst.

Kebebasan berpendapat, khususnya kritik terhadap Islam masih merupakan hal yang sulit dilakukan dimanapun, termasuk di Indonesia, yang konon katanya termasuk moderat. Ayaan mungkin tidak tahu bahwa di Indonesia dan Malaysia keadaan perempuan jauh lebih baik, sehingga seseorang tidak perlu melakukan kritik keras terhadap agama untuk memperjuangkan hak dasar perempuan, bahkan perempuan sendiri mengurangi kebebasannya secara sukarela demi agama, misalnya mengenakan busana muslim.
Namun satu hal tetap sama: agama tetap dianggap sesuatu yang sakral dan tabu untuk dikritik, kritik akan mengundang kemarahan massa yang mengerikan. Sebagai akibatnya, kini kita terus menerus membiarkan kaum garis keras mengumpulkan pengikut, menyerang pihak lain, dan mengakomodasi keinginan mereka untuk sedikit demi sedikit memasukkan hukum agama ke dalam hukum nasional, serta takut menyebarkan pendapat atau pemikiran yang tidak sesuai dengan faham mereka. Benarkah keadaan ini? Tentu saja tidak. Karena meskipun keadaan disini jauh berbeda dengan Arab atau Afrika, penyebaran gerakan pemurnian agama dapat membawa pula kebudayaan negara asal agama tersebut jika kita tidak mencermatinya, sehingga setelah pengaturan terhadap pakaian dan penampilan perempuan, akan menyusul hal-hal lain yang dapat merugikan budaya kita sendiri.

Ayaan adalah seorang perempuan Muslim yang mengesankan; penuh tanggung jawab, pekerja keras, berani berpikir, dan berani membebaskan dirinya dari belenggu agama untuk memperjuangkan kebaikan yang lebih besar bagi dunia ini, khususnya bagi para perempuan Muslim yang tertindas agama beserta kebodohan dan budaya yang melingkupinya. Jika kritiknya tampak terlalu keras, itu adalah karena pengalamannya juga demikian keras. Namun ia memberi kita pengetahuan yang berharga: bahwa di tempat lain, ada banyak perempuan yang sangat menderita, yang selama ini kita biarkan dan tidak berani kita kritik, karena mereka Muslim. Ia juga mengingatkan kita bahwa Islam belum pernah mengalami reformasi (sebagaimana agama Kristen), karena itu sangat berbahaya.
Dan Ayaan memberikan kebebasannya (dari ancaman/perlindungan ketat) agar dunia menyadari hal tersebut.

No comments: