Monday, October 22, 2007

An Illusion of Harmony



Judul : An Illusion of Harmony: Science and Religion in Islam
Pengarang : Taner Edis
Penerbit : Prometheus Books, NY
Tahun : 2007
Tebal : 251 hal

Buku ini hendak menjawab pertanyaan: mengapa setelah lebih dari seratus tahun, umat Islam tetap tidak mampu mengejar ketinggalannya dalam sains dengan bangsa Barat? Bukankah umat Islam selalu mengumandangkan hadis yang mendorong agar menuntut ilmu, bahkan hingga ke negeri Cina, dan umat Islam juga selalu mengenang kejayaan ilmuwan Islam pada zaman pertengahan (abad kegelapan di Eropa)? Apakah sebabnya hanya karena negara-negara Islam saat ini pada umumnya miskin dan korup, sehingga tidak memiliki dana untuk mengembangkan ilmu? Tapi mengapa di negara kaya – seperti Arab – sains juga tidak berkembang?
Penulis, fisikawan berdarah Turki-Amerika yang dibesarkan di Turki dan kini mengajar di universitas di Amerika, mencoba menguraikan permasalahan di atas terutama berdasarkan kondisi di Turki, yang cukup baik diketahuinya. Meskipun demikian, pembahasannya relevan untuk negara-negara mayoritas Islam lainnya, termasuk Indonesia. Turki adalah negara berkembang yang relatif miskin, korup, berusaha untuk sekuler namun kini mengalami kebangkitan agama, suatu kondisi yang tidak beda jauh dengan Indonesia atau negara Islam lainnya.
Menurut Taner Edis, anggapan umat Islam bahwa kejayaan ilmuwan Islam seperti zaman pertengahan dulu akan dapat dicapai adalah tidak relevan, karena sains di zaman tersebut sangat berbeda sifatnya dengan sains modern, sehingga apabila dibandingkan, hampir tidak ada yang tersisa dari “sains” di zaman tersebut. Sains modern sangat bersifat empiris, eksperimental, dan memerlukan peralatan yang mahal, disamping itu untuk melakukannya harus berada dalam kerangka teori yang mendasarinya. Hal ini tidak ada dalam zaman pertengahan dulu. Sayangnya, kerangka teori yang mendasari ilmu murni sebagian besar tidak dapat diterima oleh umat Isam, karena dianggap tidak sesuai dengan agama (Qur’an dan hadits). Sains modern berusaha menjelaskan segala sesuatu berdasarkan sebab alami, bersifat materialis dan reduksionis, sementara negara Islam selalu memberi batasan bahwa sains harus menunjukkan bahwa segala sesuatu adalah rancangan dan pemeliharaan Tuhan. Tidak heran bahwa aliran creationism dan intelligent design mendapat dukungan besar. Namun sebagai akibatnya, umat Islam tidak pernah melakukan penelitian ilmu-ilmu murni – seperti biologi, fisika, neuroscience – dan hanya bersedia mempelajari ilmu-ilmu terapan, misalnya teknik dan kedokteran. Selama hal ini terjadi, maka umat Islam akan harus mengimpor teknologi, karena tidak mengembangkan sendiri ilmu murninya.
Penulis mengambil contoh, bahwa teori evolusi tidak dapat diterima oleh umat Islam, padahal teori ini telah menjadi dasar untuk banyak ilmu-ilmu lain, tidak hanya terbatas pada biologi, sehingga mengabaikannya akan berakibat cukup fatal untuk mengembangkan sains. Demikian pula penelitian neuroscience dll untuk menyelidiki mengapa seseorang beragama tidak akan mungkin dilakukan di negara Islam, karena dianggap sudah seharusnya. Hal ini karena negara selalu membatasi sains yang dapat dilaksanakan oleh ilmuwan, dan karena negara Islam lebih bersifat komunal, maka ilmuwannya pun pada umumnya religius dan mendukung pembatasan yang diberikan. Mereka berusaha mencari sesuatu yang khas Islam, tapi selalu akhirnya kembali kepada doktrin tradisional yang penuh pembatasan. Hal ini berbeda dengan di negara Barat, dimana kaum beragama terdiri dari kaum konservatif dan liberal. Adanya penganut agama yang liberal memungkinkan pemisahan antara agama dan sains, sehingga tidak ada pembatasan terhadap penelitian yang dapat dilakukan, dan ilmuwan dapat berpikir merdeka tanpa harus mendukung agama tertentu. Oleh karena itu penulis menyarankan, jika umat Islam ingin memajukan sains, maka tumbuhkanlah kaum liberal di negara Islam agar ilmuwan memperoleh kebebasan. Namun jika umat Islam merasa harga yang harus dibayar untuk itu terlalu mahal dan tetap ingin mempertahankan komunalisme dan konservatisme, maka jangan berharap terlalu banyak untuk dapat mengembangkan ilmu murni, sehingga mungkin selamanya harus bergantung ke Barat, karena teknologi saja tidak dapat berkembang tanpa didukung ilmu-ilmu murni, dan ilmu-ilmu murni tak dapat dikembangkan tanpa kerangka teoritis - yang umat Islam tidak bersedia menerimanya.
Tampaknya analisis Taner Edis benar adanya, karena selama ini saya belum pernah melihat ilmuwan Indonesia yang tidak religius, bahkan ada biologist dan fisikawan yang menentang teori evolusi, dan buku-buku Harun Yahya bertebaran dimana-mana dan dipuji-puji di internet. Sementara buku penyeimbangnya... hanya satu dua dan tidak jelas ada di toko mana.

Friday, October 19, 2007

Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur



Judul : Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur - Memoar Luka Seorang Muslimah
Pengarang : Muhidin M. Dahlan
Penerbit : ScriPta Manent
Tahun : 2007 (Cet. 11)
Tebal : 261 hal


Novel ini mengisahkan seorang mahasiswi alim dan cerdas bernama Kirani, yang kemudian tertarik dan masuk menjadi anggota Jemaah, yaitu suatu organisasi rahasia yang bertujuan menegakkan syariat Islam dengan mendirikan negara Islam di Indonesia.

Setelah menjadi anggota Jemaah, mula-mula Kirani bersemangat melakukan dakwah dan menyumbangkan dana secara teratur dalam jumlah cukup besar, sampai ia berani mengajak keluarga dan teman-teman sekampungnya untuk mengikuti jejaknya. Namun tindakannya ternyata diketahui oleh aparat keamanan yang kemudian memburunya, sehingga ia dibenci oleh orang sekampungnya dan harus bersembunyi di sebuah tempat kos selama beberapa bulan. Meskipun demikian, Kirani harus menghadapi kekecewaan yang semakin besar, karena ternyata anggota Jemaah lainnya tidak melakukan dakwah sebagaimana dirinya dan hanya bersantai. Sementara itu sebagai gadis yang cerdas dan bersemangat juang, upayanya untuk membahas strategi perjuangan, mengetahui luasnya jaringan dan arah serta kondisi organisasi selalu kandas karena ternyata tidak seorangpun diantara rekan-rekan anggota jemaah yang tinggal bersamanya atau dikenalnya mengetahui hal tersebut, bahkan mereka tidak berusaha untuk mengetahuinya serta menegurnya jika ia teralu banyak bertanya.

Setelah tiga tahun, keadaan di atas membuatnya frustrasi. Kirani merasa imannya, perjuangannya, pengorbanannya selama ini tidak dihargai dengan sepantasnya. Ia merasa berdosa kepada keluarganya karena selama ini – sesuai anjuran Jemaah – telah memberikan banyak dana yang seharusnya untuk hal lain kepada Jemaah. Ia telah dibenci orang sekampungnya karena mengajak mereka masuk Jemaah. Namun ia tetap tidak boleh mengetahui apapun tentang organisasi tersebut dan hanya diminta menjadi anggota dan menunggu serta menunggu tanpa berbuat apa-apa. Hal ini membuatnya merasa sia-sia menjadi anggota Jemaah, sehingga pada suatu hari, bersama dengan tiga orang sahabatnya anggota Jemaah, mereka melarikan diri. Setelah melarikan diri inilah Kirani kemudian mengalami kekecewaan yang sangat, sehingga ia berontak, dengan menolak semua hal yang dulu diperjuangkannya di Jemaah. Sebaliknya, kini ia mempertanyakan kembali semuanya: agama, Tuhan, standar moralitas yang diterima masyarakat sekelilingnya, dan status perempuan.
Pemberontakan Kirani yang menjadi pelacur mengingatkan pada novel Nawal El Sadaawi, Perempuan di Titik Nol. Namun dalam novel Sadaawi, pemberontakan tersebut terutama disebabkan kondisi masyarakat patriarki – dengan didukung oleh agama - yang terus-menerus menghinakan dan menindas tokoh perempuan di dalamnya. Meskipun demikian, dari profesi tersebut kesimpulan keduanya sama: masyarakat patriarki yang tampaknya religius sebenarnya penuh kemunafikan, dan korbannya adalah perempuan. Dengan demikian novel ini juga menyuarakan feminisme.
Hal yang menarik bagi saya adalah gambaran mengenai Jemaah. Kisah ini dapat mengingatkan kita untuk waspada, karena gerakan ini mungkin saja ada di sekitar kita namun kita tidak menyadarinya, karena saya pernah juga membaca tentang pengakuan seorang mantan anggota gerakan semacam ini, yang kemudian tersadar setelah membaca buku tulisan Nawal El Sadaawi dan kemudian beralih haluan menjadi feminis. Sama seperti digambarkan dalam novel ini, gerakan tersebut seperti sel-sel, anggota tidak mengetahui apa-apa tentang jaringan organisasi, strategi serta pemimpinnya, dan jika anggota tersebut keluar, segalanya terputus. Namun tidak masalah, karena anggota biasa tidak mengetahui apapun.

Selain gambaran mengenai Jemaah, bagian yang menarik adalah ketika Kirani telah memberontak dan kemudian mempertanyakan hal-hal yang selama ini diterimanya begitu saja. Kirani kemudian mempertanyakan, untuk apa Tuhan menciptakan manusia? Mengapa Tuhan membuat ciptaanNya menderita? Mengapa Tuhan menciptakan manusia untuk saling bermusuhan karena itu merupakan kekejaman? Untuk apa manusia beribadah jika tidak tahu untuk apa ia diciptakan, untuk apa beribadah jika hanya karena takut, mengapa Tuhan senang menakuti manusia? Apa artinya orang-orang bertitel dan terpandang yang tak pernah berpikir dan melakukan pencarian makna hidup dan hanya beribadah saja?
Pertanyaan-pertanyaan di atas menarik, karena itulah yang selalu ditanyakan oleh mereka yang berpikiran bebas; hanya mereka yang berpikiran bebas yang berani bertanya seperti itu, dan di Indonesia, jumlahnya tidak banyak, kalau bisa dibilang hampir tidak ada. Mengapa? Karena setiap orang wajib beragama, dan jawaban semua itu ada di agama. Sehingga menanyakan hal-hal di atas akan dianggap tidak beragama. Tapi sebenarnya pertanyaan-pertanyaan di atas adalah ungkapan seseorang yang jujur dan rasional. Tidak harus merupakan pertanyaan seorang perempuan yang kecewa dan marah. Namun agama memang selalu melarang pertanyaan yang terlalu jauh, karena kejujuran dan rasionalisme akan mengarah pada skeptisisme dan perlunya pembuktian. Itu sebabnya agama diajarkan sedini mungkin dalam bentuk indoktrinasi dan ancaman, karena jika tidak, dapat diruntuhkan oleh pikiran rasional, kritis, jujur dan bukti-bukti empiris. Itu sebabnya pula sebagian besar ilmuwan dan pemikir besar tak percaya agama.
Hal menarik lainnya adalah gambaran ketika Kirani mengingat-ingat hal yang membuatnya dulu taat beribadah. Ternyata hal itu disebabkan ketika ia kecil guru mengajinya menguraikan keadaan neraka yang sangat mengerikan – tentang api, pemotongan dan penusukan tubuh seperti sate, yang diperjelas dengan gambar-gambar – sesuatu yang tentu mengingatkan kita akan pendidikan agama di masa kecil kita sendiri. Ini mungkin menyadarkan pembaca: ternyata ketaatan itu bermula dari rasa takut akan neraka yang ditanamkan ketika masa kanak-kanak. Dan hal ini sangat efektif, terbukti setelah dewasa sebagian besar orang tidak lagi berani berpikir karena ingatan akan hal ini. Dan ini tidak hanya dialami penganut agama Islam.
Di tengah-tengah kebangkitan konservatisme agama, maka novel ini memberikan alternatif kepada pembaca untuk merenungkan kembali keyakinannya, meskipun harus melalui seorang pelacur, sehingga kisah mengenai hubungan bebas agak terlalu banyak terdapat dalam novel ini. Akan lebih baik jika tidak terlalu banyak, sehingga pertanyaan-pertanyaan di atas akan tampak lebih berarti dan wajar, tidak seperti pertanyaan yang hanya pantas disuarakan oleh seseorang yang terlalu putus asa dan merasa terpinggirkan.
Muhidin adalah penulis muda yang menjanjikan. Jika ia tetap berpikiran bebas dan terus belajar berbagai hal, tidak hanya yang berkaitan dengan agama, ia akan menjadi penulis yang dapat memberikan banyak hal kepada pembacanya.