Monday, August 27, 2007

THE SACRED DEPTHS OF NATURE



Pengarang : Ursula Goodenough
Penerbit : Oxford Univ. Press
Tahun : 2000 (1st ed. 1998)
Tebal : 182 halaman

Humans need stories – grand, compelling stories – that help to orient us in our lives and in the cosmos. The Epic of Evolution is such a story, beautifully suited to anchor our search for planetary nsus, telling us of our nature, our place,our context. Moreover, responses to this story – what we are calling religious naturalism – can yield deep and abiding spiritual experiences .”

Tidak hanya kepercayaan akan adanya supernatural yang dapat menimbulkan perasaan religius, tetapi pemahaman yang sebenarnya akan alam juga mampu menimbulkan religiusitas, sebagaimana dialami para ilmuwan. Namun apabila sebagian ilmuwan jelas-jelas menyatakan bahwa religiusitas sebagaimana diajarkan tiga agama samawi (Yahudi-Kristen-Islam) tidak sesuai dengan sains dan harus ditolak, maka penulis buku ini – profesor biologi sel – berupaya mempertemukan kedua hal tersebut.

Ursula Goodenough memahami apa yang membuat manusia mencintai agama tradisional: yaitu adanya perasaan berarti, istimewa, tujuan hidup, kekaguman akan keajaiban atau keindahan alam semesta, dan perasaan senasib atau kasih sayang kepada sesama manusia serta makhluk hidup lainnya. Menurut penulis, pemahaman yang sungguh-sungguh akan cara bekerja alam semesta juga dapat menimbulkan perasaan yang sama, yaitu rasa religius. Membedakannya dengan agama tradisional, penulis menyebutnya naturalisme religious, yaitu religiusitas bukan karena kepercayaan akan adanya sesuatu yang supernatural, melainkan religiusitas yang timbul karena pemahaman akan cara bekerja alam yang menakjubkan dan penuh keajaiban. Karena penjelasan yang diberikan science bahkan lebih menakjubkan daripada penjelasan tradisional – biologist Richard Dawkins menyebutnya ‘stranger than fiction’ - hal yang membuat banyak ilmuwan meninggalkan kepercayaan tradisional.

Penulis mencoba mengajak pembaca untuk turut merasakan religiusitas tersebut dengan merangkainya dalam sebuah buku yang lebih mirip buku agama atau puisi. Maka buku ini dibagi dalam 12 bab pendek yang membahas hal-hal paling mendasar dalam kehidupan, a.l: asal mula bumi, asal mula kehidupan, bagaimana kehidupan bekerja, bagaimana organisme bekerja, bagaimana evolusi bekerja, evolusi dari keragaman kehidupan (biodiversity), kesadaran, emosi dan arti, multiselular dan kematian, speciation.
Setiap bab dibagi menjadi dua bagian, yaitu penjelasan mengenai pokok masalah (berdasarkan penemuan ilmiah terakhir), dan refleksi, yang kemudian dapat diakhiri dengan puisi atau potongan ayat dari kitab suci. Misalnya pada bab sebelas, penulis menjelaskan mengenai makna kematian berdasarkan biologi: makhluk hidup multicellular (multi sel) dapat menjadi makhluk yang kompleks karena terdapat pembagian kerja yang terjadi sejak masa embrio, yaitu adanya sel yang khusus bertugas menjadi pelanjut keturunan (germ line), dan sel yang bertugas menjaga kelangsungan soma (tubuh) sesuai kondisi lingkungan sekelilingnya untuk memastikan bahwa germ line atau generasi berikut dapat diteruskan. Hal ini memungkinkan berkembangnya kompleksitas bentuk tubuh binatang dan juga otak pada manusia. Namun, hal ini juga berarti bahwa tubuh hanyalah sarana bagi germ line, sehingga suatu waktu harus mati. Imortalitas tidak pada tubuh, tapi pada germ line (sel pelanjut keturunan, a.l. sel telur). Apabila seluruh sel juga harus ‘memikirkan’ regenerasi, sehingga tidak terdapat pembagian tugas, maka makhluk hidup akan menjadi seperti algae dan fungi satu sel, karena tidak ada spesialisasi yang dapat berkembang ke arah kompleksitas atau keanekaragaman. “And it is here that we arrive at one of the central ironies of human existence. Which is that our sentient brains are uniquely capable of experiencng deep regret and sorrow and fear at the prospect of our own death, yet it was the invention of death, the invention of germ/soma dichotomy, that made possible the existence of our brains.” Dengan mengerti akan hal ini, menurut penulis, kita dapat menghargai kehidupan yang kita peroleh dan kematian dapat dihadapi sebagai suatu kewajaran yang seharusnya, “Death is the price paid to have trees and clams and birds and grasshoppers, and death is the price paid to have human consciousness, to be aware of all that shimmering awareness and all that love.”

Buku ini indah seperti prosa liris atau puisi, dan sesuai bagi siapapun yang ingin mengerti tempatnya di dunia dalam satu buku ringkas. Namun bila ingin penjelasan ilmiah yang lebih terinci, perlu dilengkapi dengan membaca buku-buku lain.

No comments: