Sunday, May 10, 2020

Bumi Yang Tak Dapat Dihuni


Judul                     :   Bumi Yang Tak Dapat Dihuni
Pengarang            :   David Walace-Wells
Penerjemah          :   Zia Anshori
Penerbit                :   GPU
Tebal                     :   330  halaman
Tahun                    :   2019

Masalah pemanasan global telah menjadi headline yang sering kita baca sehari-hari. Berita yang muncul pada umumnya berupa melelehnya es di Antartika, hilangnya beberapa pulau kecil karena kenaikan air laut, dan ramalan akan tenggelamnya beberapa negara kepulauan dan kota besar yang terletak di pesisir dalam beberapa puluh tahun mendatang. 
Berita singkat yang terpencar-terpencar demikian membuat kita kurang menyadari betapa berbahayanya membiarkan pemanasan global terus berlangsung. Buku ini mencoba menyadarkan pembaca, bahwa pemanasan global bukan hanya  akan membuat kehidupan lebih sulit untuk generasi yang akan datang, namun telah mempengaruhi hidup kita pada hari ini, dengan bencana yang semakin dahsyat dan sering, dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah bumi. Oleh karena itu sepanjang buku ini Wells menyajikan bukti-bukti kerusakan bumi akibat pemanasan global beserta prediksinya untuk tahun 2050 dan 2100. Selain itu dikemukakan pula upaya yang dapat mengurangi kerusakan tersebut.    

 Saat ini suhu di bumi telah meningkat 1 derajat. Para ilmuwan memperkirakan bahwa bila tidak terdapat tindakan untuk mengurangi emisi karbon, maka pada tahun 2100 suhu di bumi akan meningkat 4,5 derajat. Itu sebabnya dilakukan berbagai upaya untuk mengurangi pemanasan global, antara lain melalui perjanjian kerjasama antar negara dalam Protokol Kyoto, yang berusaha menekan kenaikan suhu menjadi 2 derajat.  Namun demkian berdasarkan model yang dibuat, diperkirakan suhu dapat meningkat 6 sampai dengan 8 derajat apabila kondisi seperti saat ini tetap dibiarkan.

Berdasarkan model yang ada, maka pemanasan 2 derajat pada tahun 2100 akan menyebabkan lapisan es mulai hancur, tambahan 400 juta orang kekurangan air, kota-kota besar di khatulistiwa tidak layak huni, dan di utara gelombang panas akan menewaskan ribuan orang. 
Pemanasan 3 derajat akan mengakibatkan kekeringan permanen di Eropa Selatan dan  kekeringan lebih lama sembilan belas bulan di Amerika Tengah serta lima tahun di Afrika, dan kebakaran hutan enam kali lipat di AS.  Sementara itu pemanasan 4 derajat akan mengakibatkan delapan juta kasus demam berdarah di Amerika Latin dan krisis pangan global serta kerusakan akibat banjir dari sungai meningkat puluhan kali lipat di seluruh dunia. Terdapat peluang 11 persen untuk kenaikan di atas 4 derajat, sedangkan perkiraan terburuk adalah kenaikan 8 derajat, dimana permukaan laut akan naik enam puluh meter dan pantai dihancurkan badai dahsyat, hutan musnah dilalap api, dan sepertiga planet tak bisa dihuni karena terlalu panas (halaman 13).

Bukti-bukti kehancuran yang disajikan penulis memang cukup mengerikan, dibagi dalam beberapa bab, yaitu bencana berupa:
-       Panas Maut
Suhu udara di bumi akan semakin tinggi, terlihat dari data bahwa sejak tahun 2000-an terdapat lima musim panas terpanas di Eropa sejak tahun 1500 dan di Timur Tengah suhu tertinggi pernah mencapai 72 derajat celcius. Hal ini akan lebih buruk lagi jika perubahan iklim terus berlanjut. Pesatnya peningkatan penggunaan AC di seluruh dunia, pengoperasian pembangkit listrik di Cina, dan meluasnya beton serta aspal di masa mendatang yang disebabkan dua pertiga penduduk bumi akan tinggal di kota-kota pada 2050 akan menambah pemanasan global.
-       Kelaparan
Kenaikan suhu 1 persen akan menurunkan hasil panen 10 persen sedangkan pada 2050 akan diperlukan makanan dua kali lipat dari hari ini. Selain itu meningkatnya suhu telah menggeser sabuk gandum alami dunia 250 km ke utara setiap sepuluh tahun dan meningkatkan jumlah serangga, yang dapat mengurangi produktivitas hingga 4 persen, selain mengurangi gizi yang terkandung dalam tanaman. Masalah lain adalah berkurangnya tanah subur karena erosi, kekeringan ekstrim, dan banjir, yang akan semakin sering terjadi.
-       Tenggelam
Berdasarkan penelitian, laju pelelehan es di Antartika berlipat tiga selama sepuluh tahun terakhir atau 33 ribu kilometer persegi sejak 1950. Sementara itu banjir telah mengakibatkan terendamnya dua pertiga Bangladesh pada tahun 2017 dengan 41 juta korban. Es di kutub merupakan penyerap panas; jika es di Artika turut meleleh, selain kehilangan penyerap panas bumi juga akan mendapat tambahan metana, yang dilepas dari lelehnya es. Metana memiliki kekuatan beberapa lusin kali lipat dari karbon. Kehilangan total es akan sama dengan pemanasan yang dihasilkan emisi karbon selama 25 tahun terakhir. Sementara itu, pada 2100 bumi akan kehilangan sejuta km daratan, setara tempat hidup 375 juta orang hari ini, sedangkan dua pertiga kota-kota besar di dunia terletak di pantai.   
-       Kebakaran
Pemanasan global mengakibatkan kebakaran hutan semakin sering terjadi dan tidak terkendali, sehingga bahkan mengancam kota-kota. Kebakaran besar yang belum pernah terjadi di masa lalu antara lain terjadi di California pada 2017, menghanguskan 500 ribu hektar, di Greenland pada 2017 dengan luas sepuluh kali lipat dari tahun 2014, dan di lingkaran hutan Artika, Swedia. Abu kebakaran di utara dapat menghitamkan es, menyerap karbon dan mempercepat pelelehan. Penggundulan hutan Amazon - yang menyerap 25 persen karbon yang diserap oleh seluruh hutan di bumi – akibat dibukanya hutan untuk pembangunan meningkatkan penggundulan hutan dan menambah pelepasan karbon yang selama ini tersimpan pada pohon-pohon. 
-       Bencana Tak Lagi Alami
Rusaknya alam mengakibatkan percepatan bencana, yaitu terjadinya serangkaian bencana besar – yang dahulu hanya terjadi setiap beberapa ratus tahun sekali – hanya dalam dua puluh tahun terakhir. Sebagai contoh, pada musim panas 2018 terjadi sekaligus bencana gelombang panas global, enam badai, dan kebakaran hutan di Eropa dan Amerika. Dahulu hal-hal tersebut langka, namun kini menjadi suatu keadaan normal baru, karena sering terjadi. Di masa depan, bencana akan semakin sering terjadi.
-       Kekurangan Air
Kebutuhan air penduduk dunia separuhnya bergantung pada pelelehan musiman es dan salju di ketinggian, sehingga jika karena pemanasan global gletser di pegunungan meleleh dan kering, maka akan terjadi kekurangan air sangat besar. Sementara itu banyak danau besar di dunia telah mengering dan air tanah yang pembentukannya memerlukan jutaan tahun telah disedot sehingga sumur-sumur harus menggali lebih dalam, sedangkan di masa depan diperkirakan akan terdapat peningkatan kebutuhan air hingga 70 persen.
-       Laut Sekarat
Berdasarkan penelitian, laut yang belum mengalami kerusakan tinggal 13 persen. Laut menyerap 25 persen dari karbon yang dihasilkan manusia dan 90 persen panas berlebih akibat pemanasan global, separuhnya diserap sejak 1997. Namun hal itu menyebabkan pengasaman laut, yang akan menambah seperempat hingga setengah pemanasan. Akibat lain dari pemanasan laut ialah pemutihan karang, yaitu matinya protozoa zooxanthellae yang menghasilkan makanan bagi terumbu karang, yang mendukung seperempat seluruh kehidupan laut dan setengah miliar orang, serta melindungi dari banjir dan badai. Dampak lainnya adalah meningkatnya air laut tanpa oksigen karena meningkatnya suhu air dan pencemaran akibat pertanian dan industri, mengakibatkan kepunahan masal makhluk laut dan berkurangnya populasi ikan hingga lebih 30 persen. Selain hal tersebut, perubahan suhu mempengaruhi siklus arus laut, yang akan mempengaruhi keseimbangan iklim.
-       Wabah
Pemanasan serta penggundulan hutan mengakibatkan penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah menyebar ke Eropa dan demam kuning yang semula terbatas di lembah Amazon menyebar ke kota-kota besar di Amerika Latin. Melelehnya es di kutub dapat menyebarkan penyakit atau wabah pada puluhan hingga ratusan tahun lalu yang selama ini tertutup oleh es yang membeku.
-       Ambruknya ekonomi
Meningkatnya pemanasan sebesar 1 derajat celcius menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen. Negara-negara yang akan paling terkena dari pemanasan global terutama adalah negera-negara Asia Selatan.
-       Konflik akibat iklim
Berdasarkan penelitian, terdapat kenaikan kemungkinan konflik bersenjata 10-20 persen untuk setiap setengah derajat kenaikan suhu. Kekeringan dan gagal panen meningkatkan radikalisasi, perang, dan migrasi besar-besaran ke negara tetangga, dimana saat ini terdapat tujuh puluh juta pengungsi di seluruh dunia. Dalam tiga puluh tahun ke depan, terdapat tiga puluh dua negara - yang bergantung pada pertanian -  menghadapi risiko konflik akibat perubahan iklim.
-       Sistem 
Di masa depan, kenaikan permukaan laut akan mengakibatkan jutaan orang kehilangan tempat tinggal dan menjadi pengungsi, misalnya di AS diperkirakan sebanyak 13 juta orang akan kehilangan tempat tinggal, dan 140 juta orang di Afrika, Asia Selatan dan Amerika Latin pada 2050 akan menjadi pengungsi. Bahkan PBB memperkirakan angka hingga satu miliar orang. Berdasarkan penelitian, meningkatnya suhu dan bencana juga berpengaruh pada meningkatnya stress, trauma dan bunuh diri.

Meskipun sebagian besar buku ini berisi data bukti-bukti kerusakan alam berupa berbagai bencana dahsyat akibat pemanasan global, namun penulis masih optimis bahwa hal tersebut dapat diatasi dengan tindakan politik, yaitu pengurangan emisi karbon secara kolektif melalui kebijakan negara, bukan hanya oleh kesadaran individu seperti sekarang. Khususnya pengurangan konsumsi oleh seluruh penduduk negara maju yang pemboros seperti Amerika. Sesuatu yang tampaknya sulit dilakukan. Anehnya, Wells merasa optimis bahwa kemauan politik negara-negara utama akan berhasil membatasi kenaikan pemanasan global menjadi hanya 2 derajat pada 2100, meskipun pengalaman selama ini menunjukkan tidak ada hasil berarti.

Buku ini cukup baik untuk menggugah kesadaran pembaca akan dahsyatnya akibat dari perubahan iklim baik pada masa kini maupun masa depan, dengan mengajukan banyak fakta berupa angka-angka dan prediksi hasil modeling para ilmuwan yang cukup mengerikan. Pembaca sendiri mungkin telah mengalami bahwa kini musim tidak lagi dapat diprediksi, bahwa banjir semakin sering dan tinggi, kebakaran semakin besar dan sulit dikendalikan, angin puting beliung yang dulu tidak pernah terjadi kini kerap terjadi, dan seterusnya. Padahal, itu baru peningkatan suhu sebesar satu derajat, sedangkan di tahun 2100 diperkirakan mencapai 3,5 hingga 4 derajat jika manusia tidak melakukan perubahan dalam mengkonsumsi bahan bakar fosil. Suramnya masa depan mengakibatkan timbulnya sekelompok orang yang menganut nihilisme lingkungan, yang dibahas juga dalam buku ini, yaitu orang-orang yang mengambil sikap ekstrim dengan mundur dari kehidupan modern atau menolak bereproduksi.
Namun sebagian besar orang di dunia adalah mereka yang tidak peduli dan berpikir bahwa dunia akan baik-baik saja, bahwa Tuhan akan selalu melindungi mereka, atau menghancurkannya sekaligus dalam satu kiamat besar, sehingga mereka tetap bereproduksi dengan kecepatan tinggi dan tidak peduli kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkannya. Itulah sebabnya buku semacam ini sangat penting untuk dibaca seluas mungkin.