Sunday, November 03, 2019

Upheaval - Bagaimana Negara Mengatasi Krisis





Judul                     :   Upheaval – Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan
Pengarang            :   Jared Diamond
Penerjemah          :   M. Iqbal Sukma
Penerbit                :   CV Global Indo Kreatif, Manado
Tebal                     :   410 halaman
Tahun                    :   2019


Apa yang dapat kita pelajari dari sejarah, berdasarkan pengalaman negara-negara yang berhasil mengatasi krisis yang dialaminya dan kemudian menjadi lebih baik atau lebih kuat? Dapatkah kita belajar dari cara mereka menangani krisis tersebut?
Menurut Jared Diamond, kita bahkan dapat menerapkan cara penanganan krisis individual untuk meneliti krisis yang terjadi dalam suatu negara. Demikianlah, maka tahapan dalam penyelesaian krisis individual diterapkan untuk melihat penyelesaian krisis pada enam negara dalam buku ini, yaitu FInlandia, Jepang, Chili, Indonesia, Jerman, dan Australia. Pemilihan terhadap enam negara ini berdasarkan pada pengalaman pribadi Diamond yang pernah bekerja atau tinggal di negara-negara tersebut.

Apakah sebenarnya yang dimaksud krisis disini? Pada tingkat individu, seseorang mengalami krisis apabila terjadi hal-hal yang membuatnya harus meninjau kembali atau mengubah nilai-nilai yang dianutnya, tujuan, atau cara hidup. Faktor pemicu krisis misalnya kematian anggota keluarga, penyakit akut, kehilangan pekerjaan, kegagalan dalam studi, terjebak dalam perang, dan lain-lain. Hasil dari upaya mengatasi krisis dapat menjadikan seseorang lebih baik dan lebih kuat, atau sebaliknya mengarah pada keputusasaan seperti bunuh diri. Meminjam dari terapis klinis, penulis menjelaskan bahwa terdapat selusin faktor untuk berhasilnya penyelesaian krisis, antara lain pengakuan bahwa seseorang dalam krisis, penerimaan tanggung jawab pribadi untuk melakukan sesuatu, menggunakan individu lain sebagai model dalam menyelesaikan masalah, adanya pagar, yaitu batas-batas yang dapat dan tidak dapat dinegosiasikan dalam penyelesaian masalah, sabar, nilai-nilai inti, dan mendapatkan bantuan dari individu lain. Diletakkan dalam perspektif negara, hal itu menjadi: konsensus bahwa negara sedang dalam krisis, penerimaan tanggung jawab nasional untuk melakukan sesuatu, menggunakan negara lain sebagai model, berurusan dengan kegagalan nasional, nilai-nilai inti nasional, dan mendapatkan bantuan dari negara lain. Selain itu, krisis dapat terjadi secara tiba-tiba atau secara bertahap. Krisis yang tiba-tiba misalnya negara mengalami serangan militer, kudeta, krisis bertahap yaitu apabila negara mengabaikan bahwa terdapat masalah, sampai suatu ketika terdapat kejadian yang membuat negara tersebut harus segera melakukan tindakan tertentu atau perubahan strategi.

Uraian mengenai penyelesaian krisis dibuat dalam bentuk perbandingan, yaitu Finlandia dibandingkan dengan Jepang, Chili dengan Indonesia, dan Jerman dengan Australia. Perbandingan didasarkan pada kesamaan krisis yang dialami.

Finlandia dan Jepang sama-sama mengalami krisis yang disebabkan oleh guncangan eksternal, yaitu Finlandia mengalami serangan Soviet yang agresif secara tiba-tiba, dan Jepang mengalami kedatangan kapal perang Amerika yang berteknologi jauh lebih tinggi yang memaksa Jepang membuka isolasinya. Finlandia berperang mati-matian melawan Soviet yang besar, namun  jumlah penduduk Finlandia yang sangat kecil (6 juta) dan tidak adanya bantuan dari negara lain membuatnya berhati-hati, dalam beberapa hal mengalah, dan selalu membuka komunikasi yang transparan dalam menghadapi Soviet yang berpenduduk jauh lebih besar dan berbatasan langsung dengan negara tersebut. Sebaliknya, krisis tersebut membuat Jepang segera melakukan restorasi Meiji untuk mengejar ketertinggalannya dalam teknologi dari Barat, namun dengan tetap mempertahankan tradisinya.

Chili dan Indonesia keduanya mengalami pemerintahan diktator militer yang kejam setelah sebelumnya menumbangkan presiden lama yang cenderung kiri. Presiden Allende yang menerapkan kebijakan bersifat sosialis dikudeta oleh Pinochet pada tahun 1973. Bahkan pendukung Allende mengantisipasi ancaman pembantaian oleh sayap kanan dengan poster bertulisan “Yakarta viene” atau Jakarta akan datang, merujuk pada persitiwa pembantaian tahun 1965 di Indonesia. Pinochet berkuasa hingga tahun 1990 dan 100.000 orang Chili mengungsi ke luar negeri. Namun perbedaan dengan Indonesia ialah, setelah masa pemerintahan Pinochet berakhir, para jendral yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan diadili dan dihukum, dan pemerintah baru mendirikan museum yang menunjukkan penyiksaan dan pembunuhan selama masa pemerintahan militer, sedangkan di Indonesia hal itu tidak pernah terjadi bahkan hingga saat ini. Persamaannya, keduanya merupakan krisis internal yang berasal dari polarisasi politik, adanya revolusi kekerasan, dan adanya peran satu pemimpin yang luar biasa, yaitu Pinochet dan Soeharto. Chili mengatasi krisis dengan  kepercayaan diri  rakyatnya bahwa mereka mampu mengatur diri sendiri serta berbeda dengan negara Amerika Latin lainnya dan adanya bantuan dari luar negeri  untuk pemulihan ekonomi setelah kudeta. Indonesia juga mendapat bantuan dari negara lain, dan dapat bertahan dari krisis karena memiliki kebanggaan bersama yaitu perjuangan bersama selama revolusi kemerdekaan 1945-1949, kebanggaan akan wilayah yang luas, dan dimilikinya bahasa Indonesia sebagai persatuan serta Pancasila. Penulis juga menyebutkan bahwa di luar perubahan-perubahan yang dilakukan untuk penyelesaian masalah, seperti perubahan kebijakan ekonomi, kepemimpinan oleh diktator militer, terdapat hal-hal di luar pagar yang tidak dapat diubah atau dinegosiasikan dalam kasus Indonesia, yaitu integritas wilayah, toleransi beragama yang besar, dan pemerintahan non komunis.  Namun berbeda dengan Chili, Indonesia kurang memiliki kepercayaan diri yaitu perasaan identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, karena masih tergolong baru sebagai bangsa merdeka.

Berbeda dengan Chili dan Indonesia, krisis yang dialami Jerman dan Australia terjadi secara perlahan, terkait dengan keengganan untuk mengakui permasalahan yang dihadapi dan mengatasinya dengan segera. Jerman tidak segera mengakui bahwa sebagai bangsa bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Nazi, sedangkan Australia untuk waktu lama selalu menganggap dirinya bagian dari Inggris dan bangsa kulit putih. Perang Dunia II dan perubahan pemerintahan yang lebih demokratis kemudian mengubah kebijakan kedua negara tersebut. Jerman mengakui kesalahan Nazi dan meminta maaf kepada negara yang menjadi korban kekejaman Nazi, Australia  menerima kenyataan sebagai bagian dari Asia dan mengubah kebijakannya dengan bersikap lebih terbuka terhadap Asia. Hal yang menolong Jerman dalam mengatasi krisis adalah adanya identitas nasional yang kuat, yang disasarkan pada kebanggan akan musik, seni, sastra, filsafat dan sains Jerman, bahasa, serta kesabaran dari kekalahan masa lalu, dan kepercayaan yang berasal dari keberhasilan masa lalu.

Berdasarkan analisis terhadap keenam negara di atas, penulis kemudian menguraikan krisis yang sedang dihadapi Jepang dan Amerika Serikat saat ini serta beberapa cara untuk mengatasi krisis tersebut. Pertanyaannya, mengapa hanya Jepang dan Amerika Serikat yang dibahas? Mungkin karena dua negara tersebut yang paling diketahui masalahnya oleh Jared Diamond pada saat ini. Masalah Jepang yang dapat menjadi krisis ialah tingginya hutang, peran perempuan yang belum setara, penuaan populasi dan penurunan jumlah penduduk sementara tidak ada kebijakan imigrasi, serta keengganan untuk mengakui kesalahan atau kejahatan yang diperbuat selama Perang Dunia II kepada negara-negara lain.  Sementara itu masalah yang sedang dihadapi Amerika dan akan menjadi krisis yang muncul secara perlahan antara lain  polarisasi politik, intoleransi, menurunnya kesopanan, dan ketimpangan yang semakin besar.

Selain hal-hal di atas, Diamond juga membahas krisis yang sedang dihadapi dunia terkait pemanasan global dan cara yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasinya, yaitu mengingat yang menjadi kontributor terbesar CO2 dan output ekonomi dunia adalah AS dan Cina (41%) dan kedua negara tersebut serta India, Jepang dan Uni Eropa menyumbang 60%, maka upaya penyelesaian dapat difokuskan terutama pada negara-negara tersebut.

Dibandingkan dengan Guns, Germs dan Steel, uraian dalam Upheaval tergolong sederhana, kurang terinci, dan tidak lengkap. Mungkin karena penulis tidak mengikuti lagi secara cukup rinci perkembangan terakhir keenam negara yang menjadi contoh dalam bukunya kecuali Jepang dan negaranya sendiri yaitu Amerika Serikat. Sebagai contoh, Indonesia saat ini memiliki banyak masalah yang sewaktu-waktu dapat memicu krisis, misalnya meluasnya radikalisme, terorisme, polarisasi, intoleransi yang kesemuanya telah mencapai tahap mengkhawatirkan dan hal-hal lainnya, namun hal tersebut tidak dibahas di dalam buku. Selain itu, metodenya yang menggunakan kerangka  penanganan krisis individu untuk  krisis suatu negara juga masih bisa dipertanyakan validitasnya. Mungkin memang hanya sebagai langkah awal saja untuk penelitian yang lebih mendalam pada lebih banyak negara dengan menggunakan metode yang lebih baik.

Secara keseluruhan, buku ini masih cukup menarik. Kita dapat belajar sejarah singkat enam negara yang diuraikan penulis dan membandingkannya satu sama lain, termasuk dengan negara kita, dan mungkin mencoba menggunakan pendekatan yang digunakan Diamond untuk memperkirakan krisis yang akan menimpa negara kita untuk menguji gagasannya.   Satu hal yang menurut saya juga penting adalah, buku ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat AS dan dunia – yang selama ini tidak atau kurang mengetahui tentang Indonesia – untuk mengenal Indonesia beserta sejarah singkatnya, karena Jared Diamond adalah penulis terkenal yang memiliki banyak pembaca setia.


No comments: