Tuesday, July 31, 2018

Ledhek dari Blora



Judul                     :   Ledhek dari Blora
Pengarang             :   Budi Sardjono
Penerbit                :   Araska
Tebal                    :   250 halaman
Tahun                   :   2018, Februari






Blora terkenal sebagai tempat kelahiran sastrawan Indonesia terkemuka yang menulis antara lain kumpulan cerpen “Cerita dari Blora”, selain sebagai penghasil kayu jati bermutu tinggi dan minyak mentah, serta kuliner sate Blora. Namun mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Blora juga terkenal dengan seni tayub beserta para ledheknya yang memikat. Sebagaimana diketahui, tayub adalah kesenian rakyat dimana penayub laki-laki memberikan uang kepada penari tayub yang disebut ledhek atau ronggeng pada saat menari.  

Novel ini menceritakan kisah Sam, seorang wartawan yang kehilangan pekerjaan karena majalah tempatnya bekerja bangkrut akibat kalah bersaing dengan media online. Kesulitan ekonomi kemudian membuatnya terpaksa menanggalkan idealismenya, sehingga ia menerima tawaran teman lamanya sesama mantan wartawan untuk menjadi ghost writer,  yaitu menulis biografi seseorang dengan isi sesuai kehendak pemesan dan namanya tidak akan dicantumkan dalam buku sebagai penulis, karena si pemesan seolah menjadi penulis biografinya sendiri.
Sesuai saran teman lamanya, maka Sam akan menulis biografi seorang pengusaha kaya. Namun sebelum memulai penulisan, sang pengusaha memintanya untuk terlebih dahulu melakukan investigasi ke Blora, untuk melacak keberadaan seorang bekas ledhek bernama Sriyati.    
Tugas mencari jejak Sriyati ke Blora ternyata tidak mudah, karena dalam investigasinya Sam  ternyata mengalami penculikan dan hampir dibunuh di tengah hutan jati, yang membuat Sam bertanya-tanya. Apakah hubungan antara bahaya yang dialaminya dengan tugas mencari ledhek? Apakah ada hal lain yang ditakutkan oleh mereka yang ingin membunuhnya? Siapakah sebenarnya Sriyati?

Kisah di atas disampaikan oleh pengarang dengan bahasa yang ringan dan mengalir serta sedikit humor, sehingga mudah dibaca. Tidak mengherankan karena ternyata penulisnya adalah pengarang senior yang telah menerbitkan beberapa kumpulan cerpen dan novel, antara lain Api Merapi, Roro Jonggrang, dan Nyai Gowok.

Membaca novel ini terasa ringan dan menghibur karena – seperti novel pop - berakhir dengan happy ending dan terdapat beberapa kejadian kebetulan, namun demikian pembaca mendapatkan pengetahuan tentang sejarah dan kondisi wilayah Blora dan sekitarnya, kesenian tayub, sepenggal sejarah kelam Indonesia, dan kondisi kehidupan masa kini, sehingga Ledhek dari Blora menjadi novel yang cukup menarik.

Tidak seperti novel Ronggeng Dukuh Paruh yang mencekam, Ledhek dari Blora memberi gambaran mengenai upaya masyarakat lokal mempertahankan seni tradisi yang nyaris hilang ditengah desakan modernisasi dan stigma buruk dari masa lalu yang selalu mengaitkan kesenian rakyat dengan gerakan kiri, serta  desakan konservatisme masa kini yang mengatasnamakan moralitas. Hal itu tampak antara lain dari tokoh Mbah Mantan Lurah yang berani mengadakan pertunjukan tayub meski sering mendapat ancaman pelarangan, dan para ledhek yang digambarkan sebagai perempuan-perempuan mandiri yang berani berbeda dari perempuan pada umumnya. Ada nuansa feminis dan liberal dalam buku ini.


Monday, July 09, 2018

Aib dan Martabat




Judul               :   Aib dan Martabat
Pengarang      :   Dag Solstad
Penerjemah    :   Irwan Syahrir
Penerbit           :   Marjin Kiri
Tebal               :    138 halaman
Tahun              :   2017





Tidak banyak novel Norwegia yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, salah satunya adalah Aib dan Martabat, yang diterjemahkan langsung dari bahasa Norwegia.
Negara-negara Skandinavia dikenal sebagai negara yang tingkat kesejahteraannya tinggi, tertib, dan aman, dengan tingkat yang lebih baik dari negara Eropa lainnya. Namun demikian, dalam novel ini kita akan menemukan kesepian yang dialami masyarakat modern.

Alur cerita dalam novel ini sangat sederhana, karena yang hendak disampaikan pengarang adalah perasaan kekosongan dan kesepian yang dialami masyarakat modern, yang mungkin juga telah dialami oleh sebagian dari masyarakat negara dunia ketiga yang tinggal di kota-kota besar.

Tokoh utama adalah Elias Rukla, seorang guru bahasa sekolah menengah berusia 50-an tahun yang telah mengajar selama dua puluh lima tahun. Pelajaran bahasa atau sastra Norwegia bukanlah pelajaran favorit murid-murid, dan suatu hari Elias merasakan kesia-siaan dirinya ketika mendapati betapa para muridnya tidak memiliki minat sedikit pun terhadap bidang yang diajarkannya bahkan menampakkan kebencian, sehingga membuatnya merasa sia-sia dan membenci kondisi yang dihadapinya saat itu karena telah melakukan pekerjaan tersebut selama lebih dari dua puluh tahun. Rasa kesia-siaan dan putus asa itu demikian mendalam sehingga tanpa sadar Elias melampiaskannya di sekolah, yang berakibat fatal  karena membuatnya tidak pantas menjadi guru kembali.  Dalam keputus-asaannya ia kemudian berjalan menyusuri kota, memikirkan hidupnya selama ini – perkawinannya yang semakin tidak bahagia, pengkhianatan sahabatnya di kala muda, kehidupan yang datar, rekan-rekan kerja yang tidak bisa diajak bercakap-cakap tentang hal-hal yang berarti selain soal pekerjaan dan masalah remeh sehari-hari, pekerjaan dan pengabdian yang tidak dihargai karena masyarakat telah menjadi dangkal, lebih menghargai budaya pop murahan daripada sastra dan peradaban tinggi.  Dan kini pekerjaan tersebut tampaknya harus dilepaskannya, meskipun sebenarnya dia tidak lama lagi pensiun. Semua itu ada dalam pikiran Elias Rukla selama menyusuri kota Oslo setelah keluar dari sekolah dengan marah.  

Novel ini adalah monolog. Namun demikian banyak hal menarik di dalamnya. Misalnya kekecewaan Elias Rukla bahwa semua rekan gurunya tidak ada yang membicarakan ide-ide, perkembangan pengetahuan masing-masing bidangnya, atau hal-hal berarti lainnya ketika mereka bercakap-cakap di sekolah, melainkan hanya membicarakan tentang hutang-hutang yang mereka miliki, atau bahwa mereka telah bebas dari hutang, sehingga Elias menyebut mereka budak hutang. Bagian ini sungguh menggelikan, karena mengingatkan saya pada rekan-rekan kerja di  kantor.
“Orang-orang dalam lingkungan pergaulan Elias Rukla tidak lagi berbicara. Hanya singkat dan ala kadarnya. …Karena ruang publik yang diperlukan oleh sebuah percakapan sudah terisi.”

Tokoh novel adalah seorang idealis, seorang pemikir, namun harus menghadapi mayoritas yang dangkal, yang didukung oleh demokrasi. 
Novel ini sangat menarik karena mengingatkan saya pada kehidupan masyarakat modern di kota-kota besar, termasuk di Indonesia.