Friday, October 14, 2016

Dark Star Safari & The Last Train to Zona Verde



Judul    :       Dark Star Safari: overland from Cairo to Cape Town 
                    The Last Train To Zona Verde: my ultimate African safari
Penerbit:       Houghton Mifflin Company & Mariner Books, USA
Pengarang:   Paul Theroux
Tahun   :       2003 & 2014
Tebal    :       472 & 353 halaman



Salah satu manfaat buku perjalanan adalah, kita dapat bepergian kemana pun, bahkan ke tempat-tempat yang paling berbahaya hanya dengan membaca buku di rumah yang nyaman. Bagi pembaca yang berjiwa petualang namun tidak memiliki kesempatan untuk berkeliling dunia – baik karena kendala waktu, dana maupun kekuatan fisik - maka membaca buku perjalanan nyaris seperti melakukan petualangan itu sendiri.

Bahkan di abad 21, benua Afrika masih seperti heart of darkness – meminjam judul novel Joseph Conrad – karena dibandingkan benua lainnya yang mengalami kemajuan pesat dan relatif aman, Afrika masih terasa berbahaya dan tertinggal: minim infrastruktur, didera banyak penyakit, kemiskinan parah, dan perang berkepanjangan, sehingga tidak banyak orang berani melakukan perjalanan biasa kesana, dan tidak banyak informasi yang dapat kita ketahui tentang wilayah tersebut. Padahal benua tersebut dihuni satu miliar jiwa atau sepertujuh penduduk dunia dan pertumbuhan populasinya tergolong yang paling pesat di dunia. Kita pada umumnya  hanya tahu bahwa disana banyak terdapat  padang-padang savanna dan  taman-taman nasional yang menjadi atraksi turis untuk melihat alam dan binatang liar seperti singa, jerapah, gajah, burung-burung, dan sejenisnya.  Atau bahwa disana banyak terdapat anak-anak kelaparan dan berbagai epidemi.

Paul Theroux, yang terkenal dengan buku perjalanannya melintasi Asia dengan kereta The Great Railway Bazaar menjadi anggota Peace Corps pada tahun 1970-an di wilayah Uganda dan Malawi, dengan menjadi guru dan kemudian mengajar di universitas selama beberapa tahun sebelum meninggalkan Afrika menjelang Idi Amin berkuasa. Sebagai pemuda yang baru lulus sekolah dan idealis, pengalaman mengajar di Afrika turut membentuk karakternya dan meninggalkan kenangan indah, membuatnya ingin selalu kembali untuk melihat perkembangan Afrika.
Tiga puluh tahun sesudahnya,  yaitu pada 2002 Theroux kembali mengunjungi Afrika melalui perjalanan darat, khususnya kereta api, dari Kairo menuju Cape Town melewati Sudan, Ethiopia, Kenya, Uganda,  Tanzania, Mozambique, Zimbabwe, dan berakhir di Afrika Selatan. Perjalanan ini menjadi buku Dark Star Safari.
Sepuluh tahun kemudian, pada 2012 Theroux mencoba melintasi Afrika melalui darat dari arah selatan ke utara  melalui bagian barat, yaitu dari Cape Town ke Namibia, Angola, Kongo, Gabon, Kamerun, Nigeria, dan berakhir di  Timbuktu, Mali. Namun minimnya infrastruktur dan kondisi kota-kota Afrika yang dilihatnya semakin memburuk dan berbahaya – Nigeria mirip dengan Angola dalam hal korupsi dan kemiskinannya, ditambah adanya Boko Haram, Lagos dan Kinshaha (Kongo) hanya versi besar Luanda (ibu kota Angola) yang kumuh, dan wilayah pedesannya hanya berisi “idle youth, ailing villagers, beggars, rappers”, Mali dikuasai Al Qaeda, membuat Theroux merasa perjalanannya hanya suatu kesia-saan, sehingga ia membatalkan rencananya dan mengakhiri perjalanannya hanya sampai di Zona Verde, Angola. Stasiun kereta terakhir di utara, namun setelahnya tidak ada kereta atau jalan darat ke Kongo.  

Apa yang membuat penulis merasa sedih? Kota-kota yang semakin besar namun kehilangan ciri khasnya karena kini dipenuhi perumahan kumuh yang kemiskinannya tiada duanya di dunia, pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, yang melenyapkan padang-padang savanna atau daerah hijau, pemerintahan yang luar biasa korup dan tak peduli pada rakyat, dan penduduk yang apatis, sangat pemalas dan agresif terhadap orang asing.

Dalam Dark Star Safari kita bisa mengetahui bahwa pada tahun 2000-an Sudan masih belum begitu berbahaya; penulis bisa menjelajah padang pasir berhari-hari dan mengunjungi lokasi dimana terdapat banyak pyramid mini, kemudian ke Malawi yang masih mnejadi bagian dari Ethiopia, bertemu teman-teman lama dan murid-murid yang telah menjadi orang sukses di Uganda yang telah relatif aman, hingga ke Zimbabwe yang kala itu belum bangkrut dan tampaknya masih ada harapan. Namun dalam buku ini pun pembaca dapat mulai merasakan kemunduran jika tidak bisa dibilang keruntuhan Afrika: sekolah dan universitas tempat Theroux mengajar dulu gedungnya telah hancur, perpustakaannya kosong karena bukunya habis dicuri, dan pasangan Inggris yang dahulu mendirikan sekolah dan mengabdikan sisa hidupnya untuk mengajar disana seperti tidak pernah berada disana - tidak seorangpun mengingatnya lagi, sekolahnya hancur dan makamnya terlupakan.

Theroux selalu melakukan perjalanan dengan transportasi umum seperti kereta dan bus serta berbicara dengan setiap orang yang ditemuinya di perjalanan dan menuliskan dialognya dengan orang-orang tersebut secara detil, serta melakukan kunjungan kepada penulis atau orang berpengaruh setempat untuk mengumpulkan informasi tentang wilayah yang dikunjunginya. Informasi dan pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan penduduk setempat ini ditulis dengan sangat jujur, sesuatu yang mungkin membuatnya disebut sebagai penulis arogan atau sinis. Ia menulis dengan jujur ketidak-sukaannya pada lembaga-lembaga donor Barat yang membantu negara-negara Afrika dengan jip mewahnya, karena menurut penulis kehadiran mereka bertahun-tahun tidak mengubah apa-apa, sebab sumber permasalahan adalah pemimpin-pemimpin Afrika yang sangat korup dan mengkhianati rakyatnya sendiri, sementara rakyatnya yang putus asa demikian pemalasnya sehingga tidak melakukan apa pun, bahkan membersihkan rumah dan halaman sendiri pun tidak, sehingga kota-kota Afrika sangat kotor.
Penulis juga mengungkapkan kekhawatirannya akan kehadiran imigran Cina di Afrika. Selama ini Cina dikenal tidak mempedulikan etika para pemimpin Afrika; selama perdagangan dengan Afrika menguntungkan, mereka akan melakukan transaksi tidak peduli pemerintahnya otoriter atau korup. Demikian pula para imigran Cina, mereka tidak peduli dengan penduduk setempat asalkan bisnisnya menguntungkan, dan penduduk Afrika tampaknya tidak akan bisa bersaing dan akan kalah dari imigran Cina. Hal ini tidak disadari para pemimpin Afrika yang tidak peduli rakyat. 

Membaca kedua buku ini saya mendapat gambaran bahwa mungkin tidak hanya Afrika, tapi  sebagian besar wilayah dunia mengalami beberapa masalah yang sama: pertumbuhan penduduk yang terlalu pesat, degradasi lingkungan cukup parah, meningkatnya derajat kemiskinan karena penduduk miskin berpindah ke kota-kota yang menjadi mega city, dan menurunnya tingkat keamanan antara lain karena meningkatnya radikalisme, dengan tingkat terparah terdapat di Afrika.
     
Pengamatan penulis yang mendalam baik terhadap alam sekitar maupun penduduk lokal, simpatinya terhadap rakyat biasa yang harus berjuang keras untuk hidup atau dikhianati pemerintahnya sendiri, dan kritiknya yang jujur dan tajam terhadap hal-hal yang menurutnya tidak adil membuat buku-buku perjalanan Theroux bagi saya merupakan yang terbaik di antara buku-buku perjalanan yang pernah saya baca.
Seperti membaca sebuah novel yang mengharukan.