Sunday, July 05, 2015

Novel Hujan Bulan Juni





Judul    :       Novel Hujan Bulan Juni
Pengarang:   Sapardi Djoko Damono
Penerbit:       GPU
Tahun   :       2015, Juni   
Tebal    :       133 hal




Kumpulan puisi Hujan Bulan Juni dan reputasi penulisnya mungkin akan membuat banyak orang berharap bahwa novel Hujan Bulan Juni memiliki kualitas tertentu yang mendekati karya-karya pengarang sebelumnya, meskipun kita tahu bahwa hasil karya seorang pengarang pada umumnya bervariasi kualitasnya. Oleh karena itu tentu sangat mengecewakan jika ternyata kualitasnya seperti karya penulis pemula.

Hujan Bulan Juni sebenarnya memiliki potensi menjadi novel yang menarik jika digarap dengan baik dan mendalam. Novel ini mengisahkan hubungan cinta dua orang dosen yang berbeda suku dan agama, yaitu Jawa dan Menado. Ada kisah tentang kehidupan di universitas dan konsekuensi yang timbul dari interaksi antara orang-orang yang berbeda budaya dan agama. Ketika hubungan semakin serius, masing-masing pihak harus memutuskan, apakah akan mengikuti agama pasangannya atau bertahan pada agama masing-masing? Bagaimana menghadapi pihak keluarga besar yang tidak menyetujui keputusan tersebut? Apakah keduanya sanggup menghadapi lingkungan keluarga dan masyarakat yang tidak bersahabat dengan keputusan mereka?

Novel yang digarap dengan baik tidak hanya akan menjadi sebuah kisah cinta ringan yang membosankan. Ia dapat memotret kondisi masyarakat Indonesia yang berubah: bagaimana tiga, empat puluh tahun yang lalu masyarakat dapat menerima perkawinan berbeda agama secara wajar, sedangkan kini, hal itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Bagaimana masyarakat Indonesia telah menjadi semakin intoleran terhadap perbedaan dan lebih mengutamakan ketaatan beragama daripada hubungan persaudaraan. Bagaimana meningkatnya  intoleransi membuat banyak orang terpaksa bersikap munafik, berbohong atau berpura-pura. Lebih jauh, novel tersebut dapat mengupas mengenai hakikat agama atau keyakinan itu sendiri. Mengapa agama, yang katanya bertujuan baik dan berdasarkan kasih, justru memecah belah; menghalangi cinta, menjauhkan persaudaraan? 

Selain hal tersebut, sebenarnya dalam novel ini  dapat dilgambarkan pula bagaimana perbedaan budaya antar suku di Indonesia menghasilkan karakter yang berbeda pada masing-masing individu suku tersebut serta interaksi yang dihasilkan dari hubungan antar suku tersebut dari masa ke masa. Misalnya, orang  Menado lebih mudah memutuskan untuk beremigrasi ke AS karena mereka tidak terlalu memikirkan gengsi seperti orang Jawa yang cenderung bermental priyayi sehingga selalu mendambakan pekerjaan kantoran.

Karya sastra seringkali dapat menggambarkan kondisi suatu masyarakat jauh lebih baik daripada uraian sejarah. Selama dua puluh tahun terakhir Indonesia menghadapi perubahan besar yang timbul antara lain dari pengaruh global, dan hal itu dapat menjadi bahan untuk novel yang baik.

Namun menulis novel dengan cara di atas tentu menuntut pengarang mengambil sikap. Sementara itu pengarang tidak ingin mengambil risiko. Maka akhir novel dibuat mengambang. Sang tokoh yang seharusnya mengambil sikap sakit parah, dan menulis puisi layaknya orang akan menghadapi ajal.
      
Mungkin saya berharap terlalu banyak pada novel ini. Atau mungkin karena saya tahu persis bagaimana jadinya hubungan seperti itu akan berakhir dalam masyarakat Indonesia jika keduanya mengambil sikap bertentangan dengan lingkungan, misalnya meneruskan hubungan dengan bertahan pada keyakinan masing-masing. Inilah yang akan dihadapi: berpura-pura di hadapan masyarakat dan pihak berwenang, dijauhi keluarga besar yang telah menjadi sangat saleh, dan hal-hal aneh lainnya.  Tapi bukankah tugas pengarang menyuarakan hal-hal yang tidak biasa, mengingatkan masyarakatnya jika masyarakat tersebut mulai berada di jalan yang tidak benar, misalnya memutus hubungan persaudaraan hanya karena perbedaan pilihan atau keyakinan?   

Mengambil sikap yang bertentangan dengan pendapat umum memiliki risiko. Itulah sebabnya tidak banyak yang bersedia melakukannya.