Sunday, March 08, 2015

Sorgum Merah




 

Judul    :       Sorgum Merah
Pengarang:    Mo Yan
Penerbit:       Serambi
Tahun   :       2014, September
Tebal    :       548  hal

 
Membaca novel-novel Mo Yan, kita akan mendapat kesan bahwa sejarah Cina penuh dengan kekerasan dan kekejaman yang tak terperi, atau bahwa penulis menyukai penggambaran kekejaman secara rinci, bahkan berlebihan. Hal ini terutama tampak pada buku Big Breast and Wide Hip, yang menggambarkan kekejaman perang serta nasib tragis hampir seluruh tokohnya selama abad 20 sejak pemberontakan Boxer hingga revolusi komunis. Pembaca yang tidak mengetahui sejarah Cina mungkin akan berpikir, tidakkah penulis berlebihan dalam menggambarkan nasib para tokoh ceritanya dan kondisi Cina pada umumnya?  
 
Mungkin tidak. Steven Pinker dalam buku The Better Angels of Our Nature mencatat, bahwa perang yang memakan korban paling banyak dalam sejarah terjadi di Cina, yaitu pemberontakan An Lushan pada abad ke 8 dengan korban 36 juta jiwa, dan kejatuhan Dinasti Ming  pada abad ke 17 dengan korban tewas 25 juta orang.  Dalam zaman modern, penulis The Black Book of Communism mencatat, korban tewas akibat berkuasanya rezim Komunis Cina tercatat 65 juta orang. Dengan demikian, novel Mo Yan mungkin hanya menggambarkan secara nyata apa yang selama ini hanya muncul sebagai data statistik.   

Sorgum Merah merupakan novel dengan latar belakang masa pendudukan Jepang pada tahun 1930-an. Jepang menduduki Cina pada tahun 1930 sampai dengan 1942, dan Cina pada tahun 1930-an masih bersifat feodal.
Kisah dalam novel dituturkan oleh cucu tokoh utama, seorang bandit yang memimpin perjuangan melawan pendudukan Jepang pada tahun 1930 di sebuah desa yang penduduknya bertanam sorgum merah.
Sang kakek pada mulanya adalah seorang pemuda miskin pemikul tandu pengantin perempuan. Pada masa itu pengantin perempuan diantar ke rumah pengantin lelaki dengan sebuah tandu kecil tertutup yang dipikul oleh empat orang laki-laki, dan dalam perjalanan mungkin mereka dihadang oleh para bandit. Sang nenek adalah anak seorang miskin yang diserahkan kepada anak laki-laki keluarga kaya pemilik penyulingan arak. Salah satu pemuda pemikul tandu tersebut kemudian merasa kasihan kepada gadis cantik yang dijual ayahnya tersebut, karena calon pengantinnya menderita lepra, sehingga ia berusaha untuk mendapatkan gadis tersebut sekaligus kekayaan calon suaminya. Bagaimana caranya?  Kisah selanjutnya adalah mengenai perjuangan kakek penutur tersebut bersama keluarganya termasuk sang cucu dalam melawan pendudukan Jepang serta pihak-pihak lain selama masa kekacauan peperangan.      

Cerita dalam novel ini sebenarnya cukup sederhana, namun alur berjalan cepat sehingga dapat mengikat pembaca, dan penulis berhasil menciptakan suasana mencekam dari  peperangan sejak awal hingga akhir buku. Namun sebagaimana novel Big Breast, penggambaran kekejaman cukup rinci, sehingga mungkin tidak semua orang sanggup membacanya. Sementara itu karakter tokoh-tokohnya sebagian besar hanya dapat diketahui dari penuturan sang cucu yang menjadi penutur dalam buku ini, sehingga tidak mendalam. Sebagian besar tokoh dalam novel ini adalah orang-orang yang malang, yang akhirnya musnah karena perang. Hanya sang kakek yang dapat bertahan dan kemudian namanya dikenang sebagai pahlawan di desanya.
Membaca novel ini menambah pengetahuan tentang sejarah dan kondisi Cina di masa pendudukan Jepang, serta mengingatkan kita kembali akan  kehancuran hidup yang dibawa oleh perang.