Monday, October 20, 2014

Mengislamkan Jawa



Judul          :  Mengislamkan Jawa – Sejarah Islamisasi di Jawa dan penentangnya dari 1930 sampai sekarang  
Pengarang  :  M.C. Ricklefs
Penerjemah:  F.X. Dono Sunardi dan Satrio Wahono
Penerbit      : Serambi
Tahun         :   2013, November
Tebal          :   872 hal

Mereka yang meninggalkan Indonesia dua puluh hingga tiga puluh tahun yang lalu dan kembali ke Indonesia pada hari-hari ini akan pangling melihat penduduk Indonesia, karena penampilannya telah menjadi kearab-araban, sangat taat menjalankan ritual agama serta berpandangan konservatif. 
Kemana para abangan dan priayi yang dulu merupakan mayoritas penduduk itu? Bagaimana mungkin penduduk Indonesia, Jawa khususnya, begitu mudah ditaklukkan sehingga makin mirip penduduk Timur Tengah hanya dalam waktu tiga puluh tahun?

Mengislamkan Jawa merupakan buku yang sangat menarik karena mencoba menjawab semua pertanyaan itu dengan cukup mendalam.  Dalam buku ini Ricklefs membagi sejarah  Islamisasi Jawa dalam beberapa periode, yaitu: periode sampai dengan tahun 1930-an, periode tahun 1942-1949, periode 1950-1966, dan periode 1966-1980 serta 1980-1998 yang disebutnya Eksperimen Totalitarian I dan II, serta periode 1998 sampai dengan saat ini. Periode tahun-tahun sebelumnya yaitu sejak Islam masuk ke nusantara telah ditulisnya pada dua buku lainnya.

Pada mulanya Islam di Jawa bersifat sintesis mistik, artinya Islam diterima berdampingan dengan kekuatan spiritual Jawa, yang mempercayai Ratu Kidul, Sunan Lawu dan lain-lain.  Sementara itu, meningkatnya kelas menengah pada masa itu meningkatkan jumlah haji, yang membawa pulang faham reformis atau pemurnian Islam. Bagi kalangan bangsawan, hal ini dianggap tidak sesuai bagi orang Jawa, sebagaimana tampak antara lain dari tulisan Mangkunegaran IV dalam Serat Wedhatama, yaitu karena orang Jawa memiliki filsafat dan kebudayaan sendiri.

Sekitar tahun 1880-an masyarakat telah terbagi atas kaum putihan (santri), abangan dan priayi. Perjalanan haji meningkatkan modernisme atau pemurnian Islam, sehingga muncul organisasi-organisasi Islam pada awal abad 20, antara lain Muhammadiyah dan Syarikat Islam (1912). Namun hal ini diimbangi dengan munculnya partai komunis (1924) dan nasionalis (1927), yang pendukungnya merupakan abangan. Sampai dengan tahun 1930-an Islam masih banyak dipengaruhi oleh mistisme.

Periode 1942-1949 terjadi polarisasi karena adanya pemberontakan komunis pada tahun 1948, yang membelah kaum abangan dengan santri.  Selain itu terjadi pemberontakan Darul Islam, yang semuanya menimbulkan pertumpahan darah. Hal ini membuat militer tidak lagi mempercayai baik komunis maupun Islam, sehingga polarisasi dipolitisir.


Periode 1950-1965 terjadi gerakan 30 September 1965, yang berlanjut dengan pembantaian besar-besaran terhadap mereka yang dianggap berhaluan komunis. Setelah masa ini maka tidak ada lagi yang menghalangi Islamisasi. Dibubarkannya partai komunis dan stigma negatif terhadap partai nasionalis sebagai dekat dengan komunis mengakhiri politik aliran dan menghilangkan sandaran kaum abangan. 

Ricklefs mencatat bahwa penumpasan komunisme yang disertai dengan kewajiban setiap warga negara untuk memeluk satu dari lima agama yang diakui negara, pendirian mesjid-mesjid hingga ke daerah terpencil, ditetapkannya agama sebagai pelajaran wajib di sekolah, dan “pembinaan” agama kepada penduduk desa-desa abangan oleh para santri, yang dilakukan secara intensif sejak Orba berkuasa, serta tidak adanya alternatif lain yaitu partai atau ideologi yang menentangnya, memberi jalan bagi Islamisasi dari bawah, yang mulai berlangsung sejak tahun 1966.  Selanjutnya meskipun pada masa ini terdapat perpindahan ke agama Kristen yang cukup besar sebagai akibat pembantaian terhadap pengikut atau simpatisan PKI atau gerakan kiri oleh ormas Islam dan kepercayaan terhadap kebatinan Jawa masih cukup kuat, termasuk oleh pimpinan tertinggi negara, namun penghancuran PKI, partai nasionalis dan depolitisasi (massa mengambang) mengakibatkan Islamisasi semakin mudah sementara kaum abangan semakin sedikit pengaruhnya karena tidak memiliki institusi yang mendukung.

Setelah adanya rekonsiliasi antara NU dengan pemerintah pada tahun 1980-an, Islamisasi semakin meluas karena NU bersifat moderat, melebihi Islam modernis. Masyarakat menjadi semakin islami.

Setengah dari buku ini menguraikan Islamisasi sejak tahun 1998 sampai dengan buku ini ditulis (2012) secara rinci. Reformasi pada tahun 1998 membawa banyak kebebasan, termasuk penerapan syariat Islam di beberapa daerah, penerbitan majalah dan buku-buku dakwah yang bersifat ekstrim/fundamentalis, munculnya tokoh-tokoh Islam fundamentalis dalam MUI, dan masyarakat yang semakin konservatif, sehingga agama semakin menentukan kehidupan bernegara. Selanjutnya, karena menjelang keruntuhannya Orba mendukung Islamisasi dan selama sepuluh tahun terakhir pemimpin negara atau pemerintah tidak berani bersikap tegas menghadapi tindakan maupun pendapat kaum konservatif dan Islamisasi yang mereka lakukan dengan dakwah yang semakin intensif ke masyarakat (termasuk ke kampus-kampus sejak tahun 1980-an), maka jadilah masyarakat Jawa (dan Indonesia pada umumnya) semakin Islami dan konservatif. Sebagai akibat dari pemerintah yang semakin tunduk kepada kemauan kaum agama adalah semakin lemahnya kekuatan tawar pihak-pihak yang berusaha mengimbangi kaum konservatif, antara lain Islam yang lebih liberal, sehingga yang mendominasi adalah Islam konservatif ala Timur Tengah.
Jika lima puluh tahun yang lalu orang Jawa merasa bangga dengan kejawaannya (filsafat dan pandangan hidup Jawa, mengikuti ritual agama sekedarnya serta bersifat sangat toleran terhadap agama lain, atau bersikap rasional, seperti penganut Kristen liberal di barat), maka kini sebagian besar dari mereka tidak tahu lagi filsafat Jawa, merasa berdosa jika bersikap sangat rasional, dan merasa malu jika tidak melaksanakan ritual agama secara ketat.

Upaya mengislamkan Jawa telah dimulai beratus tahun yang lalu, namun selama itu selalu terdapat pihak yang cukup kuat untuk mengimbanginya. Pemerintah kolonial, bangsawan keraton dan para priayinya, kemudian kaum nasionalis, sosialis dan komunis menjadi penyeimbang sehingga Islam di Jawa bersifat sinkretis dan toleran. Namun penghancuran partai komunis dan nasionalis serta sistem totalitarian yang menyeragamkan ideologi selama berpuluh tahun dengan membatasi dan mengharamkan kebebasan berpikir (termasuk sensor buku dan pengetahuan secara ketat) kaum mudanya serta menyerahkan pendidikan hanya kepada kaum agama membuat orang Jawa (dan Indonesia) semakin kehilangan kepribadiannya, menjadi semakin mirip dengan muslim Timur Tengah.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah cukup sampai disini? Ataukah orang Jawa akan semakin konservatif lagi di masa depan, sehingga memberi kemungkinan lebih besar bagi pihak-pihak yang menginginkan berdirinya atau ditegakkannya syariat Islam?  Apakah konsekuensi dari masyarakat yang semakin Islami, semakin buruk atau baikkah?

Ricklefs tidak yakin apakah Islamisasi dapat dihentikan, karena ia telah menginfiltrasi semua bidang kehidupan di Indonesia saat ini selain terus melakukan upaya dari akar rumput. Namun ia mengingatkan, bahwa secara filosofis, suatu negara dalam mencapai tujuannya  terdapat dua pilihan, yaitu berlandaskan kebebasan atau keadilan (yang merupakan alasan agama). Pilihan terakhir besar kemungkinan mengorbankan yang pertama, karena itu perlu berhadi-hati dalam melakukan pilihan.

Telah banyak contoh bahwa negara-negara yang masyarakat atau pemerintahnya terlalu religius bukanlah negara yang ideal. Konservatisme agama pada umumnya diikuti dengan pembatasan kebebasan berpikir dan bertindak, pengaturan yang terlalu jauh atas kehidupan pribadi,  diskriminasi gender, intoleransi dan lainnya. Berdasarkan penelitian, negara-negara yang paling baik perlakuannya terhadap warga negaranya dan maju di segala bidang adalah negara yang bersifat sekuler (lihat review buku Society without God). 

Membaca buku ini semakin meyakinkan kekhawatiran saya selama ini. Saya hanya bisa berharap bahwa demokrasi di Indonesia dalam jangka panjang  tidak hanya membawa konservatisme agama, namun juga penyeimbangnya, agar kalau pun tidak dapat dibalikkan, paling tidak cukup sampai disini saja.  (Mungkinkah? Di jalan yang baru saya lewati masih ada spanduk bertulisan "Waspadai bangkitnya bahaya laten komunis", meskipun komunisme telah dihancurkan sampai ke akar-akarnya, dan di sekeliling saya adalah rekan-rekan kerja yang seluruhnya telah berkerudung, ada yang baru seminggu yang lalu – dan mendapatkan banyak ucapan selamat dan pujian, ada yang karena terpaksa disebabkan menyesuaikan diri dengan lingkungan…ah…tidak banyak yang sanggup menghadapi tekanan Islamisasi…hanya teman-teman lama yang berkepribadian kuat…)