Sunday, May 11, 2014

Mengapa Negara Gagal

Judul    :      Mengapa Negara Gagal – Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran,dan Kemiskinan
Pengarang:  Daron Acemoglu dan James A. Robinson
Penerjemah: Arif Subianto
Pengantar :   Komarudin Hidayat
Penerbit:      Elex Media Komputindo
Tahun   :       2014
Tebal    :       582 hal


Sudah banyak teori yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa, antara lain hipotesis geografi, kebudayaan dan kebodohan. Hipotesis geografi menyatakan bahwa penyebab kesenjangan adalah kondisi geografis, antara lain iklim tropis menyebabkan penduduknya malas, penguasanya zalim, dan merupakan sarang penyakit sehingga produktivitas rendah, atau mempengaruhi keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan yang dapat mendorong kemajuan. Hipotesis kebudayaan mendasarkan pada perbedaan antara budaya Eropa, yang memiliki sifat-sifat yang mendorong kemajuan, dan budaya lainnya yang tidak memiliki sifat tersebut, sedangkan hipotesis kebodohan mendasarkan pada kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara-negara tersebut..
Acemoglu dan Robinson berpendapat lain. Menurut mereka, penyebab utama kesenjangan adalah institusi politik di masing-masing negara, karena institusi politik itulah yang akan menentukan institusi ekonomi suatu negara, dan selanjutnya mempengaruhi kemajuan perekonomiannya..
Tesis dari buku ini sangat sederhana: Institusi ekonomi inklusif akan mendorong kreativitas dan kemajuan ekonomi suatu bangsa, sebaliknya, institusi ekonomi ekstraktif akan memiskinkan. Sayangnya, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia ini memiliki institusi ekonomi ekstraktif, sehingga sulit mencapai kemakmuran, khususnya tidak dapat mengambil manfaat ketika terjadi revolusi industri.. Sementara itu Inggris dapat menjadi pelopor revolusi industri karena telah memiliki institusi politik yang inklusif, yang telah dimulai dengan adanya Magna Charta pada tahun 1490. 

Penulis mendefinisikan institusi ekonomi inklusif sebagai sistem yang memungkinkan adanya jaminan kepemilikan atas asset dan properti serta adanya peluang ekonomi yang merata bagi seluruh masyarakat..Hal ini hanya dapat terjadi apabila terdapat kepastian hukum, pelayanan publik, dan kebebasan mengikat kontrak. Oleh karena itu institusi ekonomi tergantung kepada institusi politik, karena penegakan hukum dan penyediaan pelayanan publik merupakan tugas negara. Dan institusi politik yang dapat mendukung institusi ekonomi inklusif adalah sistem yang bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat luas dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, sehingga masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap pemimpin atau pemerintahnya, serta mencegah terjadinya penindasan, yang merupakan ciri dari  negara yang memiliki institusi ekonomi ekstraktif

Menurut penulis, revolusi industri terjadi di Inggris karena adanya satu episode sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 membuat jumlah petani jauh berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381. Meskipun pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, karena para petani mendapat perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feudal lenyap. Wabah pes di Eropa Timur juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja,  namun tuan tanah disana melakukan penindasan lebih kejam sehingga para petani semakin miskin dan institusi ekonomi ekstraktif terus bertahan selama berabad-abad.  
Inggris dapat melahirkan revolusi industri karena pada abad 17 telah memiliki institusi ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan melalui berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan Glorious Revolution pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi kekuasaan raja dan memberi wewenang parlemen Inggris untuk menentukan struktur ekonomi. Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak kepemilikan atas asset dan properti, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan raya, kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan monopoli dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi.
Keadaan di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya dimana monarki masih berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur, bahkan sampai dengan tahun 1800 institusi ekonomi politik  masih bersifat ekstraktif, karena para tuan tanah masih menerapkan sistem serfdom atau perbudakan terhadap para petani.  Perbedaan kecil pada abad 14 – yaitu lebih kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada di Eropa Timur – mengakibatkan persitiwa wabah pes menghasilkan hal yang berbeda pada abad 17, 18 dan 19: yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa Timur.

Sepanjang sejarah, institusi ekonomi ekstraktif terdapat pada banyak negara. Sistem ini juga dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun bersifat sementara, asalkan terdapat sentralisasi politik, yang memungkinkan negara menegakkan ketertiban umum. Dalam sistem ini  penguasa menentukan alokasi sumber daya dengan menindas rakyat yang hasilnya digunakan untuk memicu pertumbuhan serta memakmurkan pihak-pihak di lingkaran kekuasaan. Misalnya, di Karibia para elite mendorong produksi gula dengan menindas budak, sedangkan di Uni Soviet pemerintah mendorong pertumbuhan industri dengan merelokasi sumber daya agrikultur. Namun pertumbuhan tersebut akan terbatas masanya, karena tanpa adanya penghancuran kreatif – munculnya kelompok baru yang mampu  meraih kemakmuran tetapi berpotensi mengurangi kemakmuran dan hak-hak istimewa kelompok elite - dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan terhenti, sebagaimana terjadi di Uni Soviet. Selain itu, terkonsentrasinya kemakmuran hanya pada segelintir elite penguasa menimbulkan keinginan pihak lain melakukan kekerasan untuk merebut kekayaan tersebut. Hal ini banyak terjadi pada negara-negara Afrika, dimana sebagian besar para pemimpinnya melakukan penindasan dan pemerasan terhadap rakyatnya, bahkan melebihi kaum penjajah, sehingga sering terjadi perang saudara untuk memperebutkan sumber daya sementara rakyat semakin miskin.

Pemerintahan yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang bersifat ekstraktif, yang sifatnya selain menindas rakyat juga menolak teknologi baru, sehingga menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat antara lain pada sejarah kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria, Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia. Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin cetak sejak tahun 1485 (tahun 1460 sudah ada percetakan di Prancis), dan percetakan baru diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku yang akan dicetak harus melalui sensor ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum syariah, hakim dan ulama.Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri akhirnya tutup pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun dan menerbitkan hanya 24 buku, dan tingkat buta huruf mencapai 98%. Sementara itu di Rusia satu persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan penindasan, sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak melindungi hak rakyat atas kekayaan,dan menghalangi masuknya teknologi baru. Demikian pula kekaisaran Habsburg  dan Rusia, keduanya melestarikan feodalisme, menghambat industrialisasi dan memonopoli perdagangan. Sedangkan Cina melarang perdagangan internasional dan pelayaran sejak tahun 1436. Namun negara yang institusi ekonominya paling ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah miliknya dan dapat diambil sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut, dan ketika muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan langsung memonopoli bisnis tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.

Kedua penulis juga menguraikan mengenai hal-hal yang membuat kondisi koloni Eropa di Amerika dan Australia berbeda dengan wilayah koloni lainnya. Mengapa di kedua wilayah tersebut, muncul institusi ekonomi yang inklusif sedangkan di wilayah lain tidak? Apakah karena mereka bangsa kulit putih juga? Tidak. Hal tersebut karena jumlah penduduk asli di kedua wilayah tersebut sangat sedikit, sehingga tidak dapat dieksploitasi, karena itu penduduk kulit putih yang menghuni kedua koloni tersebut harus bersusah payah membangun institusi ekonomi yang inklusif. Sementara itu di wilayah lain yang banyak penduduknya, penjajah dapat menciptakan institusi ekstraktif yang sama sekali baru atau mengambil alih yang telah ada (misalnya kerajaan lokal) untuk mengeruk kekayaan alam dan memiskinkan rakyatnya (penduduk asli), misalnya yang terjadi di Maluku.

Kesimpulannya, bangsa-bangsa yang memiliki pemerintahan bersifat absolut tidak memiliki institusi politik yang dapat mengontrol perilaku para pemimpinnya, sehingga institusi ekonominya akan bersifat ekstraktif, yang mengakibatkan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, memiskinkan dan menindas rakyat, menciptakan kekerasan karena perebutan kekuasaan (dan kekayaan) dan pengurasan sumber daya (alam) suatu negara.
Memang, apabila kita meneliti sejarah bangsa-bangsa, hal ini terlihat sangat jelas, di Afrika misalnya, dimana hampir seluruh pemerintahnya bersifat korup dan menindas rakyat, demikian pula pada banyak negara Asia. Di negara-negara ini tingkat kepercayaan antar warga sangat rendah dan korupsi sangat tinggi. Tidak beda jauh dengan Indonesia, dimana sangat sulit menemukan orang yang dapat dipercaya atau memiliki integritas. Berdasarkan kenyataan ini, teori Acemoglu dan Robinson masih belum dapat menjawab pertanyaan mendasar: mengapa begitu banyak bangsa yang demikian sulit untuk membentuk institusi politik ekonomi yang inklusif? Apakah karena bangsa-bangsa tersebut rakyatnya memang demikian lemah, atau pada dasarnya juga memiliki sifat korup, yang tercermin dari para pemimpin/pemerintahnya? Mengapa sampai kini pemimpin bangsa-bangsa Afrika jauh lebih ekstraktif dari pada Asia? Apakah karena rakyat Afrika jauh lebih lemah dari Asia? Mengapa kudeta dan perang saudara lebih mudah terjadi di Afrika dari pada di Asia?  Mengapa bangsa Eropa Barat dapat mencapai revolusi yang memungkinkan tahap dimilikinya institusi politk ekonomi inklusif, sedangkan banyak bangsa lain tidak, bahkan meskipun telah didorong dengan adanya tekanan internasional?

Mengapa Negara Gagal memberikan cukup banyak informasi dan sejarah yang menarik untuk direnungkan. Guns, Germs and Steel - yang banyak dikritik kedua penulis – memberikan teori tentang asal mula kesenjangan kemakmuran antar bangsa yang terjadi di masa awal peradaban. Acemoglu dan Robinson mencoba menerangkan kondisi di masa kini. Namun, masih ada banyak hal yang memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan di atas dengan memuaskan.

Kopi, Kretek, Cinta


Judul    :      Kopi, Kretek, Cinta
Pengarang:  Agus R. Sarjono
Penerbit:      Komodo Books, Depok
Tahun   :       2013, Juni
Tebal    :       91 hal


Entah kenapa, banyak pengarang Indonesia menghasilkan karya yang bagus justru ketika berada di luar negeri, seperti Umar Kayam (Kunang-kunang di Manhattan),Sitor Situmorang (Salju di Paris), Budi Darma (Orang-orang Bloomington). Mungkin suasana yang berbeda dan kesendirian, memberikan  kemampuan mengambil jarak dan ekspresi yang berbeda.
Kumpulan puisi Kopi, Kretek, dan Cinta termasuk karya yang menurut penulisnya sebagian besar ditulis di luar negeri. Mungkin karena itu, ada rasa kerinduan yang murung terhadap tanah air dalam puisi-puisinya, misalnya pada puisi berjudul Kopi Jawa:

Bijih-bijih legenda
Ada dan tiada
Seperti mutiara hitam
tersulam di jubah malam

berlayar ke manca negara
menjelma lagu dan seduhan rindu
mengikat kenangan puitis
akan ladang-ladang tropis
yang subur dibasuh air mata

Atau pada puisi berjudul Bisakah Kutulis Puisi tentang Paris?

Bukankah bait-bait tadi
hampir jadi sajak yang manis
dan mungkin ingin abadi. Ditulis di Paris
kota segala puisi. Tapi asap knalpot
dan riuh klakson Jakarta
membuatku tersedak selalu
Di bibirku masih tersisa
masam jeruk limau
yang kuperas di atas geliat tiram
yang nikmat dan klasik di Lib Brasserie
Namun tercecap pula masam keringat nasib
yang dijejalkan negeri kami ke mulut rakyatnya
maka tak kunjung dapat kutulis
puisi yang indah tentang Paris

Atau puisi berjudul Wardeilaand

Di sunyi malam, apa yang mesti kulakukan
kukenang kembali malam-malam riuh
berkabut di negeriku yang besar
dan tak putus-putus mengusir orang
dari rumah-rumah mereka yang kecil
seperti ingin memaksa seluruh warga
abadi sebagai pengembara,
hingga sebagian mereka
menghambur menjadi hamba
di berbagai negara, sebagian lainnya melata
di sekujur tanahair luka yang menganga
hanya penguasa dengan dasi berwarna-warni
menjulang tinggi di atas sana

sambil menyembunyikan air mata
akupun belajar berpuasa dari erang luka
negeriku. Biarlah kucoba melukis matahari putih
yang berpendar pada putih reranting pohonan
maka hatiku yang putih memanen kembali
butir-butir cinta dari tubuhmu

puisi lainnya yang sejenis yaitu Lagu Musim Panas

Di sunyi nasib
dekapan musim panasmu cuma
yang bisa menyuburkan kembali
kerontang padang, gersang kata-kata
yang menggantung di udara
bagai kabut gelap
yang menyergap penyair tua
dari sebuah negeri
yang nyaris terlelap
dalam derita dan lupa

Ada 42 puisi dalam buku ini, yang selain berkisah tentang kopi, cinta dan kretek juga berkisah tentang tempat-tempat yang tampaknya pernah dikunjungi penulis, misalnya ada puisi tentang pulau Komodo, Kelimutu, Hanoi, Kedah, Berlin, Koln, dan beberapa kota lain di Eropa. Namun dari puisi-puisi tersebut, terasa betapa di mana pun ia berada, penulis tidak pernah lupa memikirkan kondisi negerinya.

Puisi-puisi Sarjono sederhana dan mudah dimengerti, menunjukkan kecintaan penulisnya pada tanah air, kopi, kretek, dan cinta itu sendiri.

Agus R. Sarjono adalah pemred Jurnal Kritik dan pemimpin umum Jurnal Sajak serta pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006) serta redaktur majalah Horison (1997-2013), selain itu pernah mendapat Hadiah Sastera Mastera dari Malaysia (2012) dan Sunthom Phu Award untuk lifetime achievement dalam sastra dari Thailand (2013).