Thursday, May 30, 2013

The Naked Traveler 3 dan 4



Judul : The Naked Traveler 3 dan 4
Pengarang: Trinity
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun : Mei 2011 dan September 2012
Tebal : 324 dan 260 hal



Beberapa tahun yang lalu saya pernah membaca Naked Traveler 1, namun tidak meneruskan membaca serial lanjutannya maupun blognya. Baru beberapa hari terakhir mencoba membaca kembali buku serial ini ketika sedang malas membaca apapun karena sudah terlalu banyak kesibukan di kantor. Ternyata sangat ringan dan menghibur, seperti mendengar kisah teman lama yang menyenangkan. Mungkin karena umur penulisnya yang tidak jauh berbeda dengan saya sendiri, dan gaya bertuturnya yang mengingatkan pada teman-teman dekat saya.

Berbeda dengan tulisan perjalanan Agustinus Wibowo yang bernada serius – sehingga penulisnya sampai pada kesimpulan: bukan destinasi lagi yang penting, tapi yang lebih penting adalah pengalaman dengan dan pemahaman akan orang-orang yang ditemui selama perjalanan, yang kemudian turut memperkaya dan membentuk sang penulis (traveler) - maka tulisan Trinity lebih banyak berisi kesan-kesan singkat di banyak tempat dan sebagian lagi berisi tips atau panduan praktis melakukan perjalanan, yang dapat diikuti siapa saja yang berminat. Jadi selain mendapatkan cerita tentang keadaan di suatu tempat, pembaca juga mendapatkan panduan cukup rinci bagaimana cara mencapai kesana serta perbandingan antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Dalam buku 4, artikel di dalamnya dibagi atas beberapa bagian, antara lain perjalanan ke wilayah di Indonesia, Afrika, ziarah ke Israel dan Petra, serta beberapa wilayah di Asia, antara lain Cina, Malaysia, Singapura dan Jepang, selain beberapa artikel khusus tentang pantai dan laut.

Yang menarik dari perjalanannya di Indonesia mungkin kisahnya ketika ke Raja Ampat, yang menurutnya sangat indah, sehingga,”…baru kali ini pula saya bisa menitikkan air mata saking kagumnya melihat keindahan alam ciptaan Tuhan. Ya, indahnya alam Indonesia itu bak surga, tapi Raja Ampat itu adalah surga lantai kesembilan!” Meskipun untuk kesana usaha yang dilakukan cukup berat dan pengarang sempat harus naik kapal perintis yang parah kondisinya, sebelum menjelajahi kembali pulau-pulau disana yang lebih terpencil.

Kisah perjalanannya di Namibia ketika diundang kedubes RI juga menarik, karena tentu tidak banyak dari pembaca yang mengenal negeri tersebut. Pengarang merekomendasian Namibia sebagai negara Afrika yang dapat dikunjungi traveler pemula, karena aman dan indah, sedangkan Cape Town, meskipun kotanya sangat indah, tidak aman untuk dikunjungi sendirian atau tanpa ikut rombongan tur.

Sebagai penggemar pantai, salah satu tulisan yang saya sukai adalah artikel mengenai kriteria pantai ideal dan 9 pantai terbaik untuk berenang di Indonesia, yang akan sangat membantu untuk memutuskan pantai mana yang patut dikunjungi. Menurut pengarang, kesembilan pantai itu adalah: pulau Jaam distrik Misool di Raja Ampat, pantai Ngurbloat kepulauan Kei di Maluku, pulau Nda’a di Wakatobi, pantai Ratanggero Sumba Barat, Pink Beach pulau Komodo, pulau Peucang Banten, dan pantai Tanjung Tinggi Belitung. Sedang pantai paling indah yang pernah dikunjungi pengarang adalah Maldives, sehingga ia merasa menyesal pernah kesana, karena pantai itu kemudian menjadi standar untuk membandingkan dengan pantai-pantai lainnya – yang tentu saja tidak ada yang sebanding. Jadi Maldives ternyata benar-benar indah!

Sebagian besar kesan yang ditampilkan dari tempat-tempat yang dikunjungi adalah hal-hal yang menyenangkan, misalnya pemandangan yang indah, pengalaman yang unik dan menarik, sehingga membuat pembaca ingin bepergian ke tempat-tempat tersebut. Beberapa perkecualian adalah kesan tentang Cape Town dan Beijing, dimana pengarang merasa tidak nyaman karena penduduk kota-kota tersebut tidak menyenangkan.

Buku 3 banyak berisi tips dan pengalaman melakukan perjalanan, sedangkan kisah mengenai tempat-tempat yang dikunjungi tidak sebanyak di buku 4. Yang menarik antara lain kesannya ketika berenang di Laut Mati, naik unta ke gunung Sinai, dan beberapa tempat romantis – Taj Mahal, Petra, Venice dan danau Tekapo Selandia Baru - yang membuatnya sedih karena cocoknya dikunjungi bersama pasangan. Sementara itu pengalamannya mengunjungi dan menginap di rumah teman-teman sekolahnya di India membuat kita mengetahui betapa sederhana dan susahnya kehidupan disana.

Sebagai pencinta pulau dan laut, buku Trinity dapat mendorong pembacanya untuk menjelajahi pulau-pulau dan pantai Indonesia yang sangat indah namun ironisnya sebagian besar dikelola oleh orang asing, sehingga orang Indonesia sendiri jika ingin kesana terasa sulit karena hampir semua lokasi terbaik telah dimiliki oleh mereka sehingga menjadi sangat mahal untuk ukuran Indonesia. Kadang saya juga tak habis pikir, apa sih yang dilakukan oleh pemda-pemda kita itu? Mengapa mereka tidak melakukan sesuatu pun untuk membangun wisata di daerahnya dan membiarkan semuanya dikelola oleh asing? Bahkan yang dekat dan mudah dicapai seperti Lombok saja sudah dikuasai asing, apalagi wilayah-wilayah yang lebih jauh dan terpencil. Mungkin juga karena orang Indonesia yang memiliki dana tidak ada yang menyukai laut, pantai dan pulau-pulau indah, sehingga tidak ada yang berminat berinvestasi disana, semuanya hanya menumpuk di kota-kota besar, sedangkan orang Indonesia yang menyukai laut dan pulau pada tidak mempunyai uang…..

Tulisan dalam buku-buku ini memang beraneka ragam, mungkin karena asalnya dari blog. Jadi meskipun dibagi dalam beberapa tema atau bab, tetap terasa keragamannya, terutama di buku 3, dimana selain ada 8 artikel berisi tips melakukan perjalanan, juga ada pendapat penulis tentang berbagai hal, dari menurunnya toleransi beragama hingga nasihat untuk mengikuti minat (follow your passion) agar mendapatkan pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat.

Secara keseluruhan kedua buku ini sangat menyenangkan, sekaligus bikin sirik karena rasanya tidak mungkin punya waktu dan teman untuk melakukan semua perjalanan menyenangkan yang dilakukan pengarang!

Satu Bumi


             Judul : Satu Bumi: Etika dalam Era Globalisasi
             Pengarang: Peter Singer
             Penerjemah: Pranoto Iskandar
             Penerbit: IMR Press
             Tahun : 2012
             Tebal : 197 hal






Globalisasi menuntut suatu etika baru, karena kita hidup di satu bumi. Artinya, setiap tindakan seseorang di suatu tempat secara tidak langsung akan mempengaruhi keadaan orang lainnya di tempat lain. Oleh karena itu penduduk atau negara kaya tidak dapat mengabaikan begitu saja kondisi penduduk atau negara-negara termiskin, apabila tindakan mereka dapat menyebabkan kehidupn penduduk negara-negara termiskin semakin sengsara. Tidak saja hal ini merupakan sesuatu yang tidak patut, namun akibat yang ditimbulkan dari buruknya kondisi mereka dapat membahayakan kehidupan mereka yang berada di negara-negara yang lebih maju, dalam bentuk kejahatan, terorisme dan sejenisnya.

Penulis mengemukakan bahwa terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan oleh semua pihak, khususnya penduduk dan negara kaya, yaitu:
a. Satu atmosfer: perlunya negara dan masyarakat kaya mempertimbangkan akibat konsumsi mereka terhadap kerusakan bumi yang dapat menghancurkan iklim maupun ekosistem, yang akibatnya terutama akan dirasakan oleh rakyat negara-negara termiskin dalam bentuk perubahan cuaca, yang dapat berupa kegagalan panen, banjir, longsor, dan lenyapnya wilayah karena meningkatnya permukaan air laut.

b. Satu ekonomi: globalisasi hendaknya tidak saja menguntungkan rakyat atau negara-negara kaya, tetapi juga meningkatkan kesempatan dan kesejahteraan rakyat dan negara-negara miskin. Rakyat negara kaya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat negara-negara termiskin dengan pengorbanan kecil saja, misalnya menyumbangkan beberapa dollar yang kurang berarti nilainya bagi mereka namun sangat berarti bagi mereka yang berada dalam kemiskinan absolut.

c. Satu hukum: kejahatan kemanusiaan seperti genosida, yang dilakukan oleh suatu negara seharusnya dapat diadili oleh pengadilan internasional. Namun masih terdapat beberapa kendala untuk pelaksanaan hal ini.

d. Satu komunitas: penduduk negara kaya hendaknya tidak hanya memikirkan bangsa atau negaranya sendiri, karena pemberian bantuan kepada mereka yang berada jauh di bawah garis kemiskinan – misalnya penduduk negara miskin di Afrika – jauh lebih berarti nilainya dibandingkan dengan memberi bantuan kepada penduduk miskin di negara maju, yang bagaimanapun lebih baik kondisinya dari mereka yang berada di negara miskin. Apabila setiap penduduk negara kaya bersedia mengorbankan sedikit saja sejumlah uang yang bagi mereka tidak berarti untuk membantu penduduk negara-negara termiskin, maka kemiskinan akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan lebih cepat. Hal ini tidak mudah, karena manusia cenderung lebih suka membantu atau mementingkan pihak-pihak yang dekat dengan dirinya, seperti keluarga, tetangga, teman dekat, sesuku, sebangsa, satu ras, dari pada pihak yang kurang dikenal atau jauh letaknya.

Sebenarnya isi buku ini cukup bagus, meskipun terutama ditujukan untuk masyarakat AS, hampir sejenis dengan Hot, Flat and Crowded.. Namun apabila yang pertama terjemahannya terasa mengalir, terjemahan Satu Bumi sangat kaku, sehingga rasanya lebih baik membaca aslinya. Tampaknya hal ini karena tidak ada editor yang menyunting terjemahan tersebut, karena penerbit demikian percaya dengan penerjemah, yang dianggap ilmuwan yang sangat menguasai topik buku maupun bahasa Inggris, sehingga dianggap bahasa Indonesianya juga bagus.

Sebagai contoh,terdapat kalimat,”Ia menemukan bila ketika sebuah negara miskin dengan manajemen yang baik diberikan bantuan yang setara dengan1 persen dari PNBnya, kemiskinan dan kematian anak turun sampai 1 persen.” Mengapa tidak menggunakan kata bahwa untuk bila, sehingga kalimat tersebut akan menjadi,”Ia menemukan bahwa ketika sebuah negara miskin dengan manajemen yang baik diberikan bantuan yang setara dengan1 persen dari PNBnya, kemiskinan dan kematian anak turun sampai 1 persen.” Bukankah kalimat terakhir lebih jelas? Namun tidak ada satu pun kalimat yang menggunakan kata bahwa, karena semua telah diganti dengan kata bila. Itu baru satu contoh.

Terdapat kalimat lainnya yang seharusnya menggunakan kata anda, menggunakan kata kamu, sehingga terkesan kasar. Selain itu terdapat kalimat yang seharusnya pasif menjadi aktif, misalnya:
”Maka dari itu kita bisa mengusulkan,…..bila tiap orang yang memiliki cukup uang untuk menghabiskan bagi berbagai kemewahan dan kekonyolan yang begitu umum di masyarakat yang berkecukupan wajib untuk memberikan setidaknya 1 sen….bagi orang yang memiliki kesulitan untuk bisa makan…”
Akan lebih tepat kiranya jika kalimat tersebut berbunyi,
”Oleh karena itu kita bisa mengusulkan,…..bahwa tiap orang yang memiliki cukup uang untuk dihabiskan bagi berbagai kemewahan dan kekonyolan yang lazim pada masyarakat yang berkecukupan, wajib memberikan setidaknya 1 sen….bagi orang yang kesulitan memenuhi kebutuhan makannya.”

Masih banyak lagi kalimat-kalimat yang tidak tepat seperti di atas, sehingga sangat mengganggu dan membuat saya seperti mendapat pekerjaan mengedit sebuah buku, dan menegaskan kembali kekhawatiran saya setiap menghadapi buku terjemahan: jangan-jangan malah lebih sulit dimengerti dari aslinya, atau malah menjadi buku yang tidak menarik sama sekali (jika fiksi)?

The Righteous Mind



Judul : The Righteous Mind - Why Good People are Divided by Religion and Politics
Pengarang: Jonathan Haidt
Penerbit: Pantheon Books, NY
Tahun : 2012
Tebal : 419 hal


Perbedaan pandangan dalam hal agama dan politik membuat berbagai pihak dalam suatu bangsa sulit untuk mencapai titik temu atau kesepakatan dalam pembuatan kebijakan maupun keputusan penting, sedangkan hal tersebut diperlukan untuk mengatasi masalah bersama. Perbedaan tersebut seringkali karena standar moralitas yang digunakan masing-masing pihak berbeda. Untuk itu, psikolog moral Jonathan Haidt berusaha menelusuri asal mula moralitas dan bagaimana cara bekerjanya.

Menurut penulis, berdasarkan pendekatan psikologi moral, moralitas tidak berasal dari alam (nature) atau nurture (pelajaran), namun dari banyak dan besarnya peran yang pernah dilakukan oleh individu sejak dari kecil dalam berbagai kegiatan bersama dengan orang lain, dimana mereka mempelajari penegakan aturan, penyelesaian perbedaan pendapat, keadilan, dan lainnya. Pengalaman ini akan banyak diperoleh bila kondisi masyarakat bersifat egaliter, sebaliknya dalam lingkungan yang bersifat hirarkis, otoriter dan tradisional, peran individu semakin kecil, sehingga kurang mendukung nilai moralitas yang berdasarkan penghargaan terhadap hak individu dan keadilan (fairness). Hal ini pula yang mengakibatkan perbedaan antara moralitas Barat yang bersifat individualistic atau menempatkan individu sebagai pusat, dan Timur, yang bersifat sociocentric atau mengutamakan kepentingan kelompok. Itu pula sebabnya pada yang terakhir moralitas bisa mencakup hal yang lebih luas dari sekedar keadilan dan perlindungan individu.

Penulis menerangkan bahwa pertimbangan moral adalah proses kognitif,yang terdiri dari intuisi dan penggunaan akal budi. Ia mengibaratkan hal tersebut sebagai gajah dan penunggang. Gajah mengambil keputusan berdasarkan emosi, intuisi dan persepsi secara otomatis. Penunggang adalah akal budi, yang muncul belakangan dalam evolusi, dengan mengendalikan proses tersebut, karena dapat melihat ke depan, mempelajari hal baru, dan bertindak sebagai juru bicara. Tidak mudah mengalahkan intuisi, karena manusia lebih terbiasa dengannya. Bahkan seringkali akal budi digunakan untuk membela pendapat yang diperoleh berdasarkan intuisi. Oleh karena itu kita tidak dapat mengubah pandangan seseorang dengan penjelasan yang bersifat rasional belaka, melainkan dengan cara mengubah jalan atau lingkungan yang dilalui oleh gajah tersebut.

Selanjutnya penulis menjelaskan perbedaan antara moralitas kaum liberal dengan konservatif. Liberal menekankan pada otonomi individu, yaitu tiadanya penindasan, pelukaan atau penipuan, sedangkan pada masyarakat lainnya lebih luas, karena meliputi otonomi, komunitas dan divinity.

Teori landasan moral menyatakan bahwa terdapat enam sistem psikologi yang membentuk landasan moral matriks dunia. Politik kiri cenderung kepada care/harm dan kebebasan/penindasan (liberty/oppression). Landasan ini mendukung keadilan sosial yang menekankan perhatian kepada kaum miskin dan kesamaan politis diantara sub kelompok. Selanjutnya adalah landasan keadilan/kecurangan (fairness/cheating), kesetiaan/pengkhianatan (loyalty/betrayal), otoritas/subversi (authority/subversion) dan sanctity/degradation.

Berdasarkan penelitian, nilai-nilai care/harm dan liberty/oppresion adalah inti dari moralitas kaum liberal. Sedangkan nilai yang dijunjung kaum konservatif lebih luas, meliputi keenam nilai. Sebagai contoh, bagi konservatif, loyalty/betrayal memiliki arti yang cukup tinggi dibandingkan care/harm, sementara bagi liberal, nilai tersebut kurang penting. Oleh karena itu, untuk menjembatani perbedaan pandangan tersebut, liberal perlu memperhatikan hal-hal yang menjadi pertimbangan konservatif.

Buku ini memberikan penjelasan menarik tentang bagaimana moralitas dibangun dan faktor-faktor apa yang menjadi pertimbangan masing-masing golongan yang berbeda. Kesimpulannya adalah bahwa untuk menjembatani perbedaan tersebut masing-masing pihak perlu mempelajari dasar nilai-nilai yang dijunjung pihak lain agar dapat memahami pertimbangan pihak lainnya. Pengalaman berada dalam lingkungan atau masyarakat yang berbeda akan sangat membantu. Oleh karena itu pluralitas merupakan hal yang perlu agar hal tersebut dapat tercapai.

Bagi Indonesia, yang lebih bersifat sociocentric, berdasarkan penjelasan Haidt maka nilai-nilai liberal perlu lebih ditegakkan, karena individu masih kurang mendapatkan perlindungan.