Wednesday, March 27, 2013

Silk



Judul : Silk
Pengarang: Alessandro Baricco
Penerjemah: Guido Waldman
Penerbit: Vintage
Tahun : 1998
Tebal : 91 hal



Membaca Silk adalah seperti membaca cerita rakyat, karena dikisahkan dengan ringkas dan bahasa yang sederhana. Namun di dalamnya terdapat sejarah, kisah cinta, sensualitas yang halus, dan perasaan manusia yang bisa terjadi pada siapa saja.

Silk mengisahkan kehidupan Herve Joncour, seorang pedagang ulat sutera di sebuah kota kecil di Prancis pada tahun 1861, sampai kematiannya berpuluh tahun kemudian. ”..He was one of those men who like to be observers at their own lives….It will have been noted that such people observe their destiny much as most people tend to observe a rainy day,” demikian pengarang menggambarkan tokohnya di awal buku.

Setiap tahun Joncour membeli telur-telur ulat sutera, menetaskannya pada setiap awal bulan Mei dan menunggunya hingga terbentuk kepompong dan benang sutera dua minggu sesudahnya, kemudian menjualnya.

Ketika terjadi epidemik di Eropa, Joncour bepergian hingga ke Afrika Utara untuk membeli telur ulat sutera. Namun suatu hari, hampir seluruh dunia terkena epidemik kecuali Jepang. Maka sesuai saran Baldabiou, sang ahli ulat sutera, yaitu orang yang pertama mengajarkan usaha tersebut di kotanya, Joncour pergi ke Jepang untuk membeli ulat sutera dari seorang laki-laki berada bernama Hara Kei di Shirakawa. Suatu perjalanan yang sangat jauh di zaman tersebut, oleh karena itu biayanya ditanggung oleh banyak orang di kotanya.

Ketika bersama Hara Kei, Joncour melihat seorang gadis di sampingnya. Kelak, gadis tersebut menyampaikan sebuah kertas kecil bertulisan aksara Jepang kepadanya. Joncour menyimpan kertas tersebut dan membawanya pulang.

Setelah tiba kembali di Prancis, Joncour mencoba mencari orang yang bisa menerjemahkan tulisan tersebut. Ia menemui wanita Jepang bernama Madame Blanche. Tulisan tersebut, dan pertemuan pertamanya di Jepang, membuatnya terobsesi akan si gadis.

Joncour beberapa kali ke Jepang. Pada kepergiannya yang terakhir, perang telah terjadi di Jepang, dan orang-orang tidak menyarankannya pergi. Namun Joncour tetap pergi. Ia teringat akan si gadis. Ia melupakan bahaya perang, kerugian biaya apabila perjalanannya sia-sia… Ada seseorang yang seolah memanggilnya.
Apakah yang terjadi pada perjalanannya yang terakhir? Ia pulang tanpa membawa telur ulat sutera.

Joncour memiliki seorang istri yang baik bernama Helene dan tampaknya bahagia. Namun perjalanannya yang terakhir membuatnya berubah, meskipun ia tetap baik kepada Helene.

Ada kesedihan yang mempengaruhi hatinya. Helene bertanya kepada Baldabiou. Kepada Baldabiou, Joncour berkata,

“I never even heard her voice.
It is a strange sort of pain.
To die of yearning for something you’ll never experience.”

Meskipun demikian, pada akhirnya Joncour tampak dapat melupakan kesedihannya dan menjalani kehidupan selanjutnya seperti biasa. setelah menerima sebuah surat bertulisan Jepang. Namun pembaca baru mengetahui keseluruhan cerita sebenarnya pada akhir buku.

Novel ini seperti sebuah puisi.. Saya pernah berpikir, mungkinkah seorang lelaki terobsesi demikian dalam akan seseorang yang sekilas saja ditemuinya, sehingga ia akan kembali ke tempat yang sama untuk seseorang tersebut, walau demikian jauh? Alessandro menjawabnya dalam novel ini. Dan betapa benarnya kata-kata Joncour kepada Baldabiaou,” It is a strange sort of pain…” Dengan kalimat ini pengarang menggambarkan perasaan dan hati manusia, yang seringkali tidak tahu apa yang diinginkannya atau yang membuatnya merasa kosong, yang selama itu tidak ia sadari, sampai sesuatu terjadi dan membuatnya berada dalam kesedihan yang dalam. Dengan novel ini pengarang melukiskan, betapa kesedihan dapat datang begitu saja hampir tanpa alasan cukup…

Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1996 dan telah diterjemahkan dalam 27 bahasa.

Sunday, March 17, 2013

Titik Nol



Judul : Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan
Pengarang: Agustinus Wibowo
Penerbit: GPU
Tahun : 2013
Tebal : 552 hal



Setelah menjelajah hingga Afghanistan dan Asia Tengah serta menulis dua buku perjalanan, barulah Agustinus justru menulis kisah perjalananya yang pertama. Namun karena perjalanannya yang pertama ditulis bertahun-tahun sesudahnya, dan setelah perjalanan lebih jauh, maka bukunya yang terakhir menjadi bersifat lebih pribadi dan mulai berbicara tentang makna perjalanan itu sendiri. Destinasi tidak lagi merupakan sesuatu yang penting, tulis Lam Li – yang pernah menjadi teman seperjalanannya - , dalam pengantar buku, tetapi seberapa dalamnya seseorang bisa terkoneksi dengan orang-orang yang membentuk kenyataan di tanah kehidupan..

Berbeda dengan dua buku sebelumnya, dalam buku ini terdapat kisah ibu pengarang selama menderita sakit hingga meninggal, berseling dengan cerita perjalanan ke Mongolia, Nepal, Tibet, India, Pakistan dan Afghanistan. Kisah ibu Agustinus membuat pembaca lebih mengenal latar belakang kehidupan pengarang sekaligus membuat depresi, karena saya membaca tulisan mengenai ibunya dahulu sampai habis – yang penderitaannya diceritakan demikian rinci - baru kemudian membaca kisah perjalanannya. Ibunya, meskipun kurang berpendidikan, gigih bekerja keras menjual telur di tokonya tanpa pernah berlibur agar dapat menyekolahkan Agustinus ke sekolah yang baik di negeri Cina.

Titik Nol sebenarnya adalah perjalanan awal pengarang, yaitu sebelum ia ke Afghanistan dan Asia Tengah, namun ditulis belakangan karena ia ingin mengambil jarak dengan peristiwa saat itu, yang bersifat pribadi. Disini dapat kita temukan mengapa ia melakukan perjalanan,dan tidak mencari kerja untuk hidup mapan atau meneruskan sekolah setelah lulus kuliah di Beijing, ”Apa artinya hidup kita yang semua mengikuti pola yang sama: lahir-lalu-kerja-cari-uang-sampai-mati?...Aku mau menulis tentang kisah hidup manusia yang sering dilupakan, kisah hidup di tempat terpencil, kisah tentang kemanusiaan! Aku mau keliling dunia!” Ia merencanakan untuk ke Afrika Selatan dengan jalan darat dari Beijing, melintasi Asia, Timur Tengah, Afrika Timur.

Sebagaimana biasa, perjalanannya dikisahkan dengan cukup menarik. Pembaca mendapat gambaran tentang Tibet yang telah menjadi sangat komersial seperti kota-kota Cina lainnya, Nepal yang telah menjadi daerah wisata obralan, India yang masih belum dapat menghilangkan kemiskinan, sifat curang, dan perilaku tidak sopan para prianya, Pakistan yang penduduknya dalam membahas masalah apapun selalu dikaitkan dengan agama. Selain bersifat lebih sentimental karena ada riwayat pribadi, ada pula sebagian kisah perjalanan dikisahkan dengan nada humor.

Membaca pengalaman pengarang di Tibet dan Nepal, yang wilayahnya sudah diobral untuk turisme mengingatkan pembaca bahwa sebaiknya Indonesia tidak perlu terlalu giat menjual semua obyek wisatanya, karena turisme massal dapat bersifat sangat destruktif dan hanya dapat ditanggung oleh beberapa wilayah saja.

Sementara itu membaca pengalamannya di India, pembaca yang pernah kesana tentu akan menyetujui bahwa kejujuran sangatlah susah dicari dalam transaksi di tempat-tempat umum dan kemiskinan serta kesederhanaan sangatlah terasa.

Pengalaman pengarang di Pakistan hampir seperti di Afghanistan: tidak ada perempuan di tempat umum, dan jika mereka keluar rumah harus tertutup rapat dari kepala sampai kaki. Memang, dalam bahasa Urdu, kata perempuan berarti aurat, sesuatu yang memalukan. Tidak heran jika seluruh tubuh perempuan, bahkan matanya sekalipun, harus ditutup. Anehnya, para perempuan disana tidak ada yang merasa terhina disamakan dengan sesuatu yang memalukan dan harus ditutup rapat seluruhnya. Mereka justru merasa beruntung tidak perlu bekerja atau ke luar rumah karena kehidupannya dijamin oleh suami atau kerabat laki-laki, meskipun tidak boleh ke luar dari rumah dan jika terpaksa keluar rumah dan berada di tempat umum harus menutup seluruh tubuh dan wajah, karena jika tidak, akan dianggap rendah oleh laki-laki yang bagi mereka merupakan makhluk menakutkan. Kehidupan yang menyedihkan sebenarnya, namun tidak mereka sadari karena mereka tidak pernah melihat kehidupan lain yang dapat dijalani perempuan di belahan dunia lainnya, sehingga mereka malah bersyukur. Sementara itu, akibat pengekangan dan pemisahan gender yang berlebihan, para prianya terobsesi akan seks.

Setelah sampai di Afghanistan, pengarang kembali ke tanah air karena ibunya meninggal. Kembali ke rumah, pulang. Kembali ke titik nol. Pengarang menutup buku ini dengan tulisan untuk ibunya yang telah tiada.

Setelah menyatakan bahwa destinasi tidak lagi sesuatu yang penting, kita tidak tahu apakah pengarang masih akan meneruskan perjalanannya hingga ke Afrika Selatan, atau ke tempat-tempat lain dan menulis kisah perjalanannya. Namun kisah-kisahnya selama ini telah membuat kita lebih memahami kondisi dan pikiran rakyat di berbagai belahan dunia yang kondisinya lebih buruk atau lebih miskin dari Indonesia, wilayah-wilayah yang tidak ingin atau tidak mungkin kita kunjungi karena kondisinya yang sulit atau tidak menyenangkan. Dengan buku-bukunya, Agustinus telah menghubungkan kita dengan rakyat negara-negara tersebut.