Wednesday, January 30, 2013

The World Until Yesterday


Judul : The World Until Yesterday: What Can We Learn from Traditional Societies?
Pengarang: Jared Diamond
Penerbit: Viking
Tahun : 2012, Desember
Tebal : 498 hal



Sepanjang sejarah manusia yang bermula sejak enam juta tahun lalu, kehidupan modern sebagaimana kita alami saat ini adalah sangat baru, karena selama sebagian besar sejarahnya manusia hidup seperti masyarakat tradisional yaitu sebagai pemburu peramu, atau pemburu peramu yang juga berladang, yang sebagian diantaranya masih dapat kita lihat misalnya pada suku-suku asli di Papua, suku Aborigin di Australia, Yamonamo di Amazon, Inuit di Alaska atau Pygmi dan !Kung di Afrika.

Kehidupan sebagai pemburu peramu dilakukan manusia sampai munculnya pertanian pada 11.000 tahun yang lalu, selanjutnya peralatan metal muncul 7.000 tahun yang lalu, dan tulisan serta negara pada 5.400 tahun yang lalu. Sedangkan bentuk masyarakat bermula dari band (beberapa puluh), suku (beberapa ratus), chiefdom (beberapa ribu), dan negara.

Mengingat kehidupan masyarakat tradisional tersebut bisa dikatakan baru saja terjadi kemarin, maka Jared Diamond mencoba melihat, adakah hal-hal baik dari masyarakat tersebut yang masih bisa kita ambil dan terapkan dalam kehidupan modern. Untuk itu ia mengambil terutama dari pengalamannya sendiri selama bertahun-tahun ketika di Papua Barat (Indonesia) maupun Papua New Guinea sebagai ornithologist (peneliti burung) yang bergaul dengan masyarakat asli, selain hasil penelitian para antropolog atas kehidupan 39 suku asli, 10 diantaranya di Papua, 7 di Australia, 6 di Afrika dan 12 di Amerika.

Beberapa aspek kehidupan masyarakat tradisional yang dibahas adalah:

1. Pembagian Wilayah, Perdagangan
Masyarakat tradisional tampaknya jauh berbeda dengan masyarakat modern.. Meskipun demikian, apabila diteliti lebih dalam, sebenarnya terdapat beberapa persamaan dengan masyarakat modern. Sebagai contoh pengarang menguraikan bahwa setiap suku memiliki batas wilayah yang jelas, melakukan perdagangan atau barter dengan beragam motif, dan melakukan tindakan yang tampak irasional, misalnya membeli barang-barang yang hanya berfungsi untuk menunjukkan status sosial, seperti kerang, gading, babi. Bahkan terdapat satu suku yang tidak memiliki cukup sumber daya alam di pulaunya namun dapat hidup makmur karena sepanjang tahun mereka berdagang dari pulau ke pulau sehingga memperoleh keuntungan besar, sehingga tak ubahnya dengan kota dagang modern atau orang modern yang bekerja keras untuk kemudian menunjukkannya statusnya melalui barang-barang yang dimiliki.

2. Perang dan Damai
Masyarakat tradisional memiliki sistem tersendiri untuk menghukum kesalahan seseorang dan meniadakan pembalasan dendam tidak berkesudahan, antara lain karena mereka biasanya akan menetap di tempat yang sama seumur hidup mereka, sehingga harus terdapat rekonsiliasi agar kedua belah pihak dapat tetap hidup berdampingan dengan baik, dan karena peran penegak hukum formal (polisi dan pengadilan) lemah atau tidak ada. Rekonsiliasi ini antara lain berupa pemberian ganti rugi, pertemuan dengan korban yang disertai permintaan maaf dan rasa simpati dari pelaku, serta adanya pihak yang menjembatani proses tersebut. Hal ini berbeda dengan masyarakat modern, dimana kedua belah pihak mungkin tidak saling mengenal dan tinggal berjauhan atau mudah berpindah, sehingga tidak akan bertemu lagi dan pertikaian diselesaikan murni oleh penegak hukum dan pengacara. Menurut pengarang, penerapan sistem tradisional sebagai tambahan sistem hukum formal akan mengurangi beban emosional masing-masing pihak karena dapat menimbulkan saling pengertian diantara keduanya.

3. Perlakuan terhadap Anak-anak dan Orang Tua
Keterbatasan makanan dan keharusan untuk selalu berpindah tempat membuat masyarakat tradisional melakukan pembunuhan bayi secara selektif karena ketidakmampuan memelihara lebih dari satu bayi pada saat bersamaan, selain itu tingkat kematian anak tinggi, dan anak dibiarkan mengeksplorasi alam sekitarnya sampai pada tingkat membahayakan. Namun demikian,  terdapat hal-hal positif dalam cara pengasuhan yang tampaknya membentuk anak-anak tersebut sehingga mereka pada umumnya setelah dewasa menjadi pribadi yang penuh percaya diri, memiliki rasa aman pribadi, rasa ingin tahu dan otonomi, yang memungkinkan mereka mampu menikmati hidup di tengah bahaya dan tantangan sebagai masyarakat tradisional, yaitu: perhatian dan kedekatan fisik terus menerus dengan ibu ketika bayi dan balita, pemberian kebebasan yang cukup besar dalam mengeksplorasi alam sekitarnya, dan perhatian yang besar dari keluarga selain keluarga inti, misalnya para paman, bibi, dan kakek nenek.

Sementara itu dalam perlakuan terhadap orang tua, masyarakat tradisional pada umumnya lebih kejam, antara lain meninggalkannya begitu saja ketika berpindah, atau membunuhnya. Namun terdapat pula masyarakat tradisional yang menghargai orang tua, antara lain karena mereka turut membantu pengasuhan cucu dan memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki orang-orang yang lebih muda.
Sebagaimana kita lihat, pola pengasuhan anak maupun peran orang tua yang terdapat pada masyarakat tradisional yang positif dan ditawarkan oleh pengarang untuk diterapkan ternyata tidak berbeda jauh dengan peran yang dilakukan satu dua generasi lalu di masyarakat kita, bahkan sebagian juga masih dilakukan. Masalahnya adalah, dalam masyarakat modern, tidak mudah melakukannya. Misalnya, keluarga di luar inti telah tersebar di berbagai kota atau jika di satu kota tidak mudah menemukan waktu untuk bertemu, kedua orang tua harus bekerja, sehingga sulit untuk melakukan hal-hal sebagaimana di atas.

4. Sikap terhadap Bahaya
Masyarakat tradisional memiliki sikap terhadap bahaya yang dapat dianggap berlebihan jika diukur dengan standar modern, atau paranoia. Mereka mengukur bahaya tidak saja dari probabilita terjadinya, tapi juga dari frekuensi dalam menghadapi kemungkinan tersebut. Misalnya, kemungkinan tewas karena tertimpa pohon mati adalah kecil, namun karena mereka sering berada di hutan, sedapat mungkin mereka menghindari tidur di bawah pohon mati. Kehidupan masyarakat tradisional penuh bahaya yang dapat berakibat fatal jika kurang berhati-hati, karena itu sikap mereka, yang oleh pengarang disebut paranoia konstruktif, memang diperlukan. Hal ini karena tanpa sengaja melewati wilayah suku tak dikenal – misalnya pada suku Inuit, ketika berburu tiba-tiba dataran es yang dipijak terpecah lalu membawa pemburu ke wilayah suku yang tak dikenalnya – berarti kematian, karena setiap pelanggaran wilayah oleh suku tak dikenal sanksinya adalah kematian. Bagi orang modern, sikap yang sangat berhati-hati ini perlu juga, misalnya dalam hal mengendarai mobil ke tempat kerja setiap hari, agar kita terhindar dari kecelakaan atau hubungan personal yang dapat berakibat fatal.

5. Agama
Semua masyarakat tradisional memiliki mitos penciptaan, seperti halnya agama yang dianut mayoritas masyarakat modern, tetapi dalam aspek lainnya keyakinan mereka berbeda. Mereka tidak terlalu menekankan agen supernatural, penyelamatan, kehidupan sesudah mati, dan tidak berperang atau membunuh untuk membela keyakinannya.
Agama besar, yang muncul sekitar 3.000 sampai 1.400 tahun lalu, sampai saat ini masih bertahan, hal itu berarti agama memiliki fungsi atau manfaat sehingga masih dipertahankan manusia modern.Bagaimana asal mula agama?
Menurut pengarang, agama memiliki 5 atribut, yaitu: kepercayaan kepada agen super natural yang tak dapat dilihat, gerakan sosial sejumlah orang yang berbagi kepercayaan sama, sejumlah pengikut yang melakukan pengorbanan yang berarti (mahal atau penuh penderitaan) untuk menunjukkan komitmennya kepada kelompok, adanya konsekuensi praktis seperti hukum, moral, kewajiban, dan agen supernatural yang selain dapat memberi ganjaran dan hukuman juga dapat mengabulkan doa.

Asal mula agama dapat dilihat dari pendekatan fungsi, yaitu untuk menjaga ketertiban sosial, memberikan ketenteraman dan penghiburan, dan memelihara kepatuhan masyarakat. Pendekatan lainnya dari psikologi evolusioner yaitu agama sebagai by product (produk sampingan) dari kemampuan lain yang dimiliki leluhur manusia, yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya dan karena mendatangkan manfaat kemudian secara bertahap memperoleh fungsi baru.

Sebagai analogi pengarang memberi contoh kemampuan belut berlistrik yang dapat menyetrum mangsanya dengan sengatan 600 volt. Kemampuan ini tidak muncul tiba-tiba, melainkan produk sampingan dari kemampuan mendeteksi medan listrik dan listrik yang dihasilkan ikan, yang dimiliki kebanyakan ikan normal.
Ikan memiliki organ sensitif pendeteksi listrik untuk mengenali mangsa dan untuk navigasi – khususnya di air berlumpur atau malam hari dimana penglihatan tidak berfungsi – karena mangsa memiliki konduktivitas elektrik yang lebih tinggi dari air. Namun terdapat spesies ikan yang memiliki kemampuan ketiga, yaitu dapat menghasilkan medan listrik sendiri bervoltage rendah, yang memungkinkn mereka mendeteksi mangsa lebih aktif karena tidak tergantung besaran listrik yang dihasilkan mangsanya.
Kemampuan ke empat yaitu dapat memberi informasi kepada ikan lain sejenis, sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan batas wilayahnya, dan membunuh mangsa kecil. Kemampuan ini terus berkembang, sehingga dapat menyengat mangsa yang semakin besar sehingga mencapai 600 volt. Ikan bervoltage tinggi juga dapat menggunakannya untuk alat pertahanan diri dari predator, dan berburu mangsa dengan memancing secara elektris, sebagaimana dilakukan para nelayan yang menggunakan listrik dengan baterai atau generator.

Pendapat pengarang pengarang mengenai agama cukup menarik. Ia sependapat denga para evolusionis lain bahwa agama adalah by product dari semakin meningkatnya kemampuan otak manusia dalam mencari penjelasan mengenai sebab segala sesuatu dan membuat perkiraan. Namun agama manusia modern berbeda dari agama masyarakat tradisional, karena menekankan penolakan terhadap dunia, penyelamatan, dan kehidupan sesudah mati.

Hal ini disebabkan tiga hal, yaitu meningkatnya perbedaan antar kelas ketika masyarakat semakin kompleks, sehingga mereka yang hidup menderita semakin merasakan penderitaannya; kehidupan setelah masyarakat menjadi petani semakin berat; dan penilaian moral menjadi semakin hitam putih dan formal. Semua hal ini membuat agama modern semakin menarik sebagai penenang atau penghibur, karena dalam masyarakat yang kompleks, ketidakadilan, kemiskinan dan kesengsaraan semakin terasa sebagai penderitaan.

Berdasarkan penelitian pada sejumlah negara di dunia, pada negara dengan GDP di bawah $10 ribu, penduduk yang menyatakan bahwa agama adalah bagian penting dari kehidupan harian mereka tercatat 80-99% sedang pada negara dengan GDP di atas 30 ribu hanya 17%-43%, kecuali AS. (hal.354)
Melihat data di atas dan fungsi agama yang bagi banyak orang merupakan pemberi arti paling penting, sementara sains tidak dapat mengatakan bahwa hidup manusia memiliki arti, maka tampaknya agama masih akan bertahan cukup lama. 

6. Bahasa
Saat ini terdapat 7.000 bahasa di dunia, yang sebagian besar diantaranya setiap hari menuju kepunahan, sedangkan di Papua New Guniea sendiri terdapat 1.000 bahasa.
Masyarakat suku asli terlatih menguasai beberapa bahasa, karena setiap suku memiliki bahasa masing-masing. Sebagai contoh, masyarakat asli Papua rata-rata menguasai 5 bahasa yang berlainan, yang dipelajari secara lisan ketika mereka bertemu dengan suku-suku lainnya.  Sementara itu, masyarakat modern, khususnya Amerika cenderung hanya menguasai satu bahasa, dan kurang menyetujui pengajaran lebih dari satu bahasa sejak kanak-kanak dengan alasan akan menghambat penguasaan bahasa utama dengan baik. Perdebatan ini mungkin mirip dengan di Indonesia, dimana sebagian tidak setuju penggunaan bahasa Inggris di sekolah dasar dengan alasan akan mengurangi kemampuan bahasa Indonesia.

Berdasarkan penelitian, kemampuan berbahasa lebih dari satu (bilingual atau multilingual) bermanfaat untuk memberi kemampuan dalam melakukan tugas yang aturannya berubah dengan cepat atau tidak mudah diprediksi. Selain itu, tidak terdapat perbedaan kemampuan dalam berbahasa utama antara mereka yang hanya mempelajari bahasa tersebut dengan yang sekaligus mempelajari dua bahasa sejak kecil.
Manfaat lain dari kemampuan bilingual adalah memperkaya kehidupan seseorang dan memberi identitas budaya, karena setiap bahasa merupakan gambaran budaya asal bahasa tersebut. Hal ini juga yang mendasari pentingnya pelestarian kepunahan ribuan bahasa di dunia saat ini. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, menggunakan dua bahasa sekaligus kepada anak sejak kecil tidak mengurangi kemampuannya berbahasa Indonesia, selama ia juga banyak membaca buku bahasa Indonesia.

7. Makanan
Masyarakat tradisional selalu berada dalam kesulitan makanan atau kelaparan setiap waktu tertentu. Makanan bukanlah sesuatu yang dapat dipastikan adanya, dan gula serta garam merupakan komoditi yang sulit diperoleh. Namun hal ini menjadikan mereka bebas dari penyakit orang modern seperti diabetes, hipertensi, jantung dan kanker. Sebaliknya mereka rentan terhadap penyakit infeksi. Orang modern dapat belajar dari mereka dengan membatasi makanan yang mengandung garam, gula, terlalu banyak olahan dan banyak melakukan latihan jasmani, meskipun melakukan hal tersebut tidak mudah, karena sebagian besar makanan yang dijual adalah berasal dari produsen atau pabrik yang biasa menambahkan garam atau gula dalam jumlah besar untuk menambah rasa dan menekan harga. 

Buku ini cukup menarik karena memberi pembaca pengetahuan mengenai kehidupan masyarakat tradisional tahap pemburu peramu/ peladang yang masih ada sampai abad 20 dari seluruh belahan dunia secara singkat dan hal-hal apa saja yang masih dapat kita pelajari dan ambil untuk diterapkan dari kehidupan mereka yang keras dan sulit. Mengetahui kehidupan mereka akan membuat pembaca bersyukur hidup sebagai manusia modern sekaligus meneliti kembali cara hidupnya.

Namun demikian tentu saja setiap jenis gaya hidup memiliki plus minusnya. Sabine Kuegler, putri seorang misionaris Jerman yang dibesarkan di tengah suku Fayu di Papua, ketika kembali ke Jerman dan harus hidup sebagai orang modern, dalam memoirnya The Jungle Child: Rinduku pada Rimba Papua menulis, betapa kosongnya hidup orang modern yang harus bekerja terus menerus puluhan jam seminggu sekedar untuk dapat mencukupi hidup dan dapat berlibur selama beberapa minggu dalam setahun, dibandingkan dengan kehidupan masyarakat tradisional yang memiliki kebebasan dan keleluasaan waktu dan kerja serta hubungan yang erat dengan keluarga, tetangga serta alam sekitar. Di sisi lain, masyarakat tradisional berpendapat, betapa jauh lebih mudah hidup orang modern karena jauh dari bahaya yang berasal dari alam dan adanya perawatan kesehatan, sehingga mereka memilih kehidupan menetap dan meninggalkan kehidupan sebagai pemburu peramu/peladang.
Memang, tidak ada kehidupan yang sempurna, kecuali mungkin bagi segelintir orang yang sangat beruntung.

Saran yang disampaikan Diamond dalam bukunya mungkin tidak banyak berbeda dengan yang telah kita ketahui, karena kehidupan tradisional tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan kehidupan satu dua generasi di atas kita di desa atau kota-kota kecil. Masalahnya hanyalah, dengan perubahan kondisi kota-kota dan teknologi yang demikian cepat saat ini, tidak mudah untuk melaksanakan hal-hal tersebut.

Jared Diamond adalah professor geografi di UCLA, penulis buku The Third Chimpanzee (1992), Why Is Sex Fun? (1997, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia), Guns, Germs and Steel yang mendapatkan Pulitzer Prize (1997, diterjemahkan pada Januari 2013), dan Collapse (2005).

Monday, January 28, 2013

In Cold Blood



Judul : In Cold Blood\
Pengarang: Truman Capote
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2011
Tebal : 367 hal



Saya masih ingat, salah satu hobi saya sewaktu kecil adalah membaca cerita kriminal (pembunuhan) di majalah Intisari, kemudian membaca buku cerita detektif. Kini, semua itu sudah berlalu. Selain bosan, juga sudah tidak ada waktu. Namun membaca In Cold Blood ternyata sangat menarik.
Sebagai karya klasik modern, In Cold Blood mengisahkan pembunuhan satu keluarga di sebuah kota kecil di Amerika pada tahun 1959 dengan bentuk baru, yaitu seperti novel. Menurut pengarang, dengan bentuk ini ia hendak mengungkapkan tidak saja sebuah peristiwa, tetapi juga cerita tentang sebuah kota, dan latar belakang kehidupan korban maupun pembunuhnya secara rinci.
Keluarga Clutter – yang menjadi korban pembunuhan - adalah pemilik tanah pertanian yang cukup berada dan aktivis gereja. Clutter dikenal sebagai orang yang saleh, pekerja keras, dan murah hati. Kedua anak mereka yang berusia tujuh belas dan empat belas tahun merupakan anak-anak yang ramah, berprestasi, dan tidak segan membantu orang lain.

Sebagai keluarga teladan yang terpandang, pembunuhan keempatnya secara kejam pada suatu malam menimbulkan shock berat bagi penduduk di kota kecil tersebut. Tidak saja hal tersebut menumbuhkan rasa takut dan ketidak-percayaan diantara warga, karena mereka berpikir bahwa pembunuhnya adalah salah satu diantara mereka sendiri, namun juga depresi, sebagaimana diungkapkan salah satu warga kota tersebut, “…well. it’s like being told there is no God. It make life seem pointless. I don’t think people are so much frightened as they are deeply depressed.”
Memang, kekejaman dan penderitaan yang sangat atau bencana dahsyat yang membuat usaha dan hidup manusia tampak jelas kesia-siannya selalu mengundang pertanyaan akan ada tidaknya eksistensi Tuhan. Benarkah Ia ada?

Penyelidikan terhadap kasus tersebut akhirnya menemukan bahwa pembunuhnya adalah dua orang pemuda miskin yang memiliki masa kecil yang suram. Penulis mencurahkan banyak perhatian pada kehidupan kedua pembunuh ini, khususnya Perry, yang melakukan semua pembuhunah tersebut. Membaca kisah Perry, yang berasal dari keluarga miskin dan berantakan, mengalami kekerasan di panti penitipan anak, dan memendam marah karena ayahnya tidak mengizinkannya bersekolah, pembaca akan merasakan simpati penulis terhadapnya, dan memikirkan, mungkinkah jika ia memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut? Pembunuhan tersebut sangat kejam, dan pelaku tidak menampakkan penyesalan, namun uraian mengenai masa kecil Perry sangat menyentuh dan mampu membuat pembaca merasa sedih pula.

Kisah ini ditulis seperti novel detektif, dengan uraian yang berganti-ganti antara kegiatan warga kota maupun upaya para detektif dengan kisah masa lalu serta kegiatan kedua pembunuh selama melakukan kejahatan dan sesudahnya. Suasana tanah pertanian, keadaan kota kecil, dan karakter semua yang terlibat di dalamnya digambarkan dengan rinci agar pembaca mendapatkan suasana kota tersebut.
Diuraikan pula, bahwa setelah berita pembunuhan ini, terdapat beberapa pembunuhan lain terhadap satu keluarga, namun para pelakunya tidak pernah terungkap. Tampaknya sejak dulu berita kejahatan seperti menjadi contoh untuk melakukan hal yang sama.

Jika penulis ingin membuat kisah nyata ini seperti sebuah novel, maka hal itu telah tercapai, karena membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang bagus.

Buku ini telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia.oleh penerrbit Bentang pada tahun 2007.Truman Capote adalah juga penulis buku Breakfast at Tiffany, dan penulisan buku ini dibantu oleh Harper Lee, pengarang To Kill a Mockingbird.