Wednesday, July 17, 2013

Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya


Judul : Surat Panjang Tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun
            Cahaya
Pengarang: Dewi Kharisma Michellia
Penerbit: GPU
Tahun : 2013, Juni
Tebal : 236 hal

Kisah cinta yang tak sampai selalu menarik untuk ditulis, apalagi jika berakhir dengan kematian tokohnya, karena dapat membangkitkan keharuan pembaca.

Surat Panjang Tentang Jarak Kita…tidak hanya menggambarkan tentang cinta yang tak sampai, namun juga kesepian dan kekerasan hidup yang dialami seorang perempuan setengah baya yang hidup di sebuah kota besar.

Tokoh utama, yaitu aku adalah seorang reporter sebuah media di Jakarta. Suatu hari, ia menerima undangan perkawinan teman masa kecilnya selama bertahun-tahun, seorang laki-laki yang dia cintai dan diharapkan suatu waktu akan mendampingi hidupnya. Namun adanya undangan tersebut menghancurkan harapannya dan membangkitkan kesadarannya akan hidupnya yang sepi, keras dan tampak sia-sia. Untuk mengungkapkan kesedihannya, ia memutuskan untuk menulis surat kepada laki-laki tersebut tentang perasaan dan hal-hal yang selama ini terjadi pada dirinya. Ia selalu menulis surat, hingga beberapa tahun telah lewat, karena pada akhirnya ia tidak pernah mengirimkan surat-surat tersebut. Seseorang akhirnya menemukannya dan mengirimkannya.. Dengan demikian isi novel ini adalah kumpulan surat-surat seorang perempuan yang tidak bahagia.

Membaca novel ini kita akan mendapatkan gambaran tentang kerasnya kehidupan pekerja di Jakarta, dan mungkin juga mengingatkan pada kehidupan sendiri,
“Aku bilang kepadanya hidupku sangat menyedihkan. Hal-hal yang kuurus dalam keseharianku hanyalah hal-hal yang menyangkut kepentingan orang lain…Meski begitu, ada miliaran orang lain di dunia ini yang juga lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri, jawab pemilik toko….Kubilang kepadanya betapa aku tak pernah sempat menyiapkan sarapan, walau paling telat pun aku sudah harus bangun pukul lima pagi. Aku tak punya waktu merawat diri…aku hanya mengambil cuti-cuti singkat karena takut disangka tak becus bekerja….Setiap sampai di apartemen - aku ibarat pekerja komuter yang menempuh waktu dua jam untuk pulang dari kantor – tubuhku rasanya remuk. Yang bisa kulakukan hanyalah tidur, atau berbaring-baring dan sekedar menonton televisi. ….Sering kali aku merasa kehilangan kendali atas hidupku sendiri dan kerap membayangkan apa yang dapat kulakukan bila tak terjebak kemacetan….Aku sering membawa pulang pekerjaanku yang tak selesai dan mengerjakannya di apartemen…”

Sementara itu kesedihannya akan kehidupan tanpa cinta digambarkan sebagai berikut,”Akupun ingin memiliki kehidupan seperti orang-orang lain yang sering kutemui di jalan. Mereka tak pernah pergi ke bioskop seorang diri. ……Namun, bagaimana caranya aku memiliki kehidupan seperti itu? Dengan pertama-tama melupakanmu, atau dengan memulainya saja sementara masih mengenangmu?”

Membaca hal-hal di atas mungkin akan mengingatkan pembaca yang senasib akan keadaannya sendiri, entah sebagai pekerja di kota besar atau perempuan pekerja yang tidak beruntung mendapatkan cinta sejati. Meskipun demikian, mungkin tidak banyak orang seperti tokoh dalam novel ini, karena ia tidak mempunyai teman dekat seorang pun kecuali seorang pemilik toko buku, dan tidak memiliki kedekatan dengan satu orang saudara atau kerabat pun – sesuatu yang tidak lazim untuk orang Indonesia. Maka aku dalam novel ini jatuh dalam jurang kesedihan dan keputus-asaan.
Sayangnya penulis mengakhiri hidup sang tokoh dengan penyakit yang sama seperti pada novel-novel atau film drama pada umumnya, padahal tanpa hal itu pun kisahnya sudah cukup dramatis. Selain itu, gambaran bahwa ‘aku’ masih sempat menerjemahkan buku untuk sahabatnya yaitu pemilik toko buku tidak sesuai dengan uraian bahwa ia demikian sibuk dengan pekerjaan kantor dan perjalanan pulang pergi kantor yang melelahkan setiap harinya.

Hubungannya yang jauh dengan keluarga digambarkan pengarang dengan menguraikan latar belakang sang tokoh dari keluarga Bali, yang di dalamnya tersirat kritik terhadap adat Bali yang tidak menghargai perempuan yang tidak dapat melahirkan anak laki-laki, disamping penyesalan akan Indonesia masa kini yang semakin konservatif sehingga tidak lagi dapat memberi toleransi pada perkawinan beda agama, meskipun pada masa lalu hal tersebut cukup umum dan dapat berjalan baik, sebagaimana terjadi dalam keluarga orang tua sang tokoh.

Sementara itu kesendiriannya digambarkan dengan tidak adanya pria yang sungguh-sungguh setia dan mencintainya, meskipun ia telah bersikap sangat baik terhadap mereka, sehingga ia hanya merasakan pengkhianatan.

Sepanjang hidup kita selalu diajarkan untuk bersyukur dan hanya menghitung keberuntungan yang kita dapatkan serta melupakan hal-hal yang tidak dapat kita peroleh, dengan melakukan hal-hal lain untuk mengganti apa yang tidak dapat kita miliki, agar tidak jatuh dalam kekecewaan, depresi atau kesedihan yang dalam. Apakah itu selalu berhasil? Surat Panjang mencoba untuk jujur, tidak hanya menerima dan bersyukur atas apa yang bisa diperoleh, namun juga untuk merasakan kekurangan, kehilangan dan kesedihan karena tidak dapat memperoleh hal-hal yang sebenarnya kita inginkan dalam hidup, meskipun risiko dari hal tersebut adalah hilangnya kebahagiaan.

Jika ukuran sebuah novel yang baik adalah kejujuran, meskipun hal itu berarti mengakui bahwa hidup kadang tampak seperti hanya sebuah kesia-siaan, kegagalan atau ketidakbahagiaan, maka novel ini memenuhi syarat tersebut. Karena tidak semua orang di dunia ini mendapat keberhasilan atau kebahagiaan, bahkan meskipun seumur hidup ia berusaha keras untuk mencapainya.
Novel ini menjadi pemenang unggulan Dewan Kesenian Jakarta tahun 2012, sedangkan pemenangnya adalah novel Semusim dan Semusim Lagi..

2 comments:

Helvry Sinaga said...

Nice review :)

Sepertinya aku bertemu penulisnya di Art Jog 2013 kemarin :)

Rati said...

Thanks.. :D