Monday, January 28, 2013

In Cold Blood



Judul : In Cold Blood\
Pengarang: Truman Capote
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2011
Tebal : 367 hal



Saya masih ingat, salah satu hobi saya sewaktu kecil adalah membaca cerita kriminal (pembunuhan) di majalah Intisari, kemudian membaca buku cerita detektif. Kini, semua itu sudah berlalu. Selain bosan, juga sudah tidak ada waktu. Namun membaca In Cold Blood ternyata sangat menarik.
Sebagai karya klasik modern, In Cold Blood mengisahkan pembunuhan satu keluarga di sebuah kota kecil di Amerika pada tahun 1959 dengan bentuk baru, yaitu seperti novel. Menurut pengarang, dengan bentuk ini ia hendak mengungkapkan tidak saja sebuah peristiwa, tetapi juga cerita tentang sebuah kota, dan latar belakang kehidupan korban maupun pembunuhnya secara rinci.
Keluarga Clutter – yang menjadi korban pembunuhan - adalah pemilik tanah pertanian yang cukup berada dan aktivis gereja. Clutter dikenal sebagai orang yang saleh, pekerja keras, dan murah hati. Kedua anak mereka yang berusia tujuh belas dan empat belas tahun merupakan anak-anak yang ramah, berprestasi, dan tidak segan membantu orang lain.

Sebagai keluarga teladan yang terpandang, pembunuhan keempatnya secara kejam pada suatu malam menimbulkan shock berat bagi penduduk di kota kecil tersebut. Tidak saja hal tersebut menumbuhkan rasa takut dan ketidak-percayaan diantara warga, karena mereka berpikir bahwa pembunuhnya adalah salah satu diantara mereka sendiri, namun juga depresi, sebagaimana diungkapkan salah satu warga kota tersebut, “…well. it’s like being told there is no God. It make life seem pointless. I don’t think people are so much frightened as they are deeply depressed.”
Memang, kekejaman dan penderitaan yang sangat atau bencana dahsyat yang membuat usaha dan hidup manusia tampak jelas kesia-siannya selalu mengundang pertanyaan akan ada tidaknya eksistensi Tuhan. Benarkah Ia ada?

Penyelidikan terhadap kasus tersebut akhirnya menemukan bahwa pembunuhnya adalah dua orang pemuda miskin yang memiliki masa kecil yang suram. Penulis mencurahkan banyak perhatian pada kehidupan kedua pembunuh ini, khususnya Perry, yang melakukan semua pembuhunah tersebut. Membaca kisah Perry, yang berasal dari keluarga miskin dan berantakan, mengalami kekerasan di panti penitipan anak, dan memendam marah karena ayahnya tidak mengizinkannya bersekolah, pembaca akan merasakan simpati penulis terhadapnya, dan memikirkan, mungkinkah jika ia memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut? Pembunuhan tersebut sangat kejam, dan pelaku tidak menampakkan penyesalan, namun uraian mengenai masa kecil Perry sangat menyentuh dan mampu membuat pembaca merasa sedih pula.

Kisah ini ditulis seperti novel detektif, dengan uraian yang berganti-ganti antara kegiatan warga kota maupun upaya para detektif dengan kisah masa lalu serta kegiatan kedua pembunuh selama melakukan kejahatan dan sesudahnya. Suasana tanah pertanian, keadaan kota kecil, dan karakter semua yang terlibat di dalamnya digambarkan dengan rinci agar pembaca mendapatkan suasana kota tersebut.
Diuraikan pula, bahwa setelah berita pembunuhan ini, terdapat beberapa pembunuhan lain terhadap satu keluarga, namun para pelakunya tidak pernah terungkap. Tampaknya sejak dulu berita kejahatan seperti menjadi contoh untuk melakukan hal yang sama.

Jika penulis ingin membuat kisah nyata ini seperti sebuah novel, maka hal itu telah tercapai, karena membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang bagus.

Buku ini telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia.oleh penerrbit Bentang pada tahun 2007.Truman Capote adalah juga penulis buku Breakfast at Tiffany, dan penulisan buku ini dibantu oleh Harper Lee, pengarang To Kill a Mockingbird.

2 comments:

Ibrahim sukman said...

wah menarik nih? saya suka cerita detektif. Selalu ingin cepat tau endingnya. Salam kenal ya mbak?

Rati said...

Salam kenal kembali.