Tuesday, October 30, 2012

The Prospector



Judul : The Prospector
Pengarang: J.M.G. Le Clezio
Penerjemah: Carol Marks
Penerbit: David R. Godine, Publisher
Tahun : 1993
Tebal : 338 hal




Kenangan masa kecil yang tak terlupakan, keindahan dan kecintaan pada laut, kesetiaan pada keluarga, kemurnian cinta, kekerasan hidup, pencarian harta karun, kekuatan takdir, yang seringkali diluar kekuasaan siapapun, dan realitas yang berbaur dengan mitologi Yunani, adalah yang kita dapat dari buku ini.

Alexis selalu terkenang akan rumah masa kecilnya, ketika ayahnya belum bangkrut dan masih hidup, ketika badai siklon belum menghancurkan rumah mereka beserta seluruh usaha ayahnya,dan ibunya masih dapat memberi pelajaran kepada ia dan Laure, adik perempuannya setiap sore. Bersama Laure ia akan berlari melintasi ladang tebu, memandangi laut, menembus hutan, dan menatap bintang-bintang di malam hari. Khususnya laut. Laut adalah bagian dari dirinya,

As far back as I can remember I have listened to the sea: to the sound of it mingling with the wind in the filao needles, the wind that never stopped blowing…It is the sound that cradled my childhood…it will come with me wherever I go: the tireless lingering sound of waves breaking in the distance of coral reef… Every day I went to the beach…Here, the sound of the sea was like a beautiful music…I will never forget that day when I went to sea for the first time, a day that seemed to last months, or years. I wanted it never end, I wanted it to go on forever…”

Setelah ayahnya meninggal dan mereka jatuh miskin mereka harus tinggal di kota, dan Alexis harus bekerja di perusahaan milik pamannya, yang mengambil alih tanah dan rumah masa kecilnya untuk memperluas perkebunan dan pabrik gula, yang dikerjakan oleh para bekas budak dan pendatang dari India. Namun kenangan indah masa kecil dan ketakpedulian pamannya membuat ia berusaha meneruskan usaha terakhir ayahnya: mencoba menemukan harta karun yang tersimpan di pulau Rodriguez, untuk mengembalikan kejayaan keluarganya, untuk menyenangkan hati Laure dan ibunya.

Alexis meninggalkan semuanya, berteman dengan kapten Bradmer dalam kapal yang membawanya ke Rodriguez. Ia tidak menemukan harta karun, namun bertemu Ouma, gadis yang akan dicintainya, namun kemudian harus ia tinggalkan untuk pergi ke medan perang dunia pertama.

Ketika ia pulang kembali, semua sudah berubah. Pamannya semakin kejam, terdapat pemberontakan pekerja pabrik. Bagaimana dengan Laure, Ouma dan ibunya? Karena nasib akhirnya memisahkannya dengan mereka semua, juga dengan kapten Bradmer, yang tidak ditemukan setelah kapalnya tenggelam.

Akhir kisah memang terasa sedih, karena akhirnya ia sendiri dan tidak memiliki apa-apa, namun
I’ll go to the port to choose my ship. It is called the Argo….Soon it will be sailing under the stars, following its destiny written in the sky. I am on the deck…enveloped in wind, listening to the waves slapping against the hull and the wind cracking in the sails…We are the only ones on the sea, the only living beings. Ouma is with me again…to the place where we need fear neither signs in the sky nor the wars of men…Now night has fallen. To the depths of my being I hear the living sound of the rising sea.”

Pengarang seolah ingin mengatakan, kenangan masa kecil selalu mengikuti seseorang, dan keluarga, serta kekasih yang baik akan membuat seseorang berusaha melakukan apapun untuk mereka, namun kadang nasib tidak mengizinkan hal-hal baik terwujud, antara lain karena kejahatan, keserakahan berada di sekitar kita, bahkan sangat dekat, demikian pula kejadian buruk dapat datang tanpa diduga, sehingga nasib kadang begitu absurd. Namun alam yang masih terjaga keasliannya adalah sesuatu yang berarti.

Mungkin benar, bahwa kenangan masa kecil selalu mengikuti kita. Saya suka buku ini, yang hampir tiap halamannya ada gambaran mengenai pantai, laut, angin, langit, yang ditulis hampir seperti puisi, karena mengingatkan pada masa kecil saya sendiri yang pernah tinggal di tepi laut. Mungkin tidak mudah dimengerti orang lain, tetapi sampai sekarang bagi saya tempat yang paling menyenangkan adalah rumah di tepi laut.

The Prospector berlokasi di Mauritius pada tahun 1892 s.d. 1922. Mauritius, kepulauan yang terletak di dekat Madagaskar, Afrika Timur. pernah menjadi koloni Belanda pada tahun 1630-1710, kemudian diambil-alih Prancis pada tahun 1710-1810, sebelum akhirnya menjadi koloni Inggris s.d. tahun 1968. Belanda, yang juga membawa kepunahan burung dodo, membawa tanaman tebu dari Jawa. Prancis kemudian membawa budak untuk dipekerjakan di perkebunan. Pada tahun 1835 Inggris menghapus perbudakan di Mauritius dan pekerja diisi oleh para imigran, terbanyak dari India.

Tentang Penulis

Jean Marie Gustave Le Clezio yang berdarah Inggris dan Prancis adalah pengarang kelahiran Prancis tahun 1940. Ia mendapat hadiah Nobel pada tahun 2008 untuk “new departure, poetic adventure and sensual ecstasy, explorer of a humanity beyond and below the reigning of civilization.”
Bukunya yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris antara lain The Interrogation (1963), pemenang Prix Renaudot, War (1973), Desert (1980), dengan tema konflik kultural masyarakat asli  Afrika dengan peradaban Eropa, dan mendapat penghargaan dari Akademi Prancis, Onitsha (1992), The Wandering Star, dan karya non fiksi Mexican Dream. Karya-karya awalnya menunjukkan ia pengarang yang memperhatikan lingkungan hidup, jauh sebelum hal tersebut menjadi kesadaran umum.
Le Clezio merupakan pengarang terkemuka di Prancis dan telah menulis sekitar 40 buku, juga menjadi pengajar pada Universitas di New Mexico. Ia pernah tinggal di Prancis, Mauritius, Thailand, Meksiko dan Panama. Le Clezio disebut juga sebagai Steve McQueen sastra karena parasnya.

The Prospector adalah buku pertama karya Le Clezio yang saya baca. Dengan novel lirisnya yang halus dan mengharukan, tampaknya buku-bukunya yang lain cukup menarik untuk menjadi bacaan berikutnya.

Posting ini adalah untuk posting bersama Blogger Buku Indonesia, dengan tema buku karya pemenang Nobel.

Sunday, October 21, 2012

Amba - Sebuah Novel


Judul : Amba
Pengarang: Laksmi Pamuntjak
Penerbit: GPU
Tahun : 2012
Tebal : 486 hal




Novel ini adalah kisah cinta sedih dengan latar belakang peristiwa 30 September 1965.
Amba adalah anak sulung seorang kepala sekolah di Kadipuro, sebuah kota kecil di Jawa, yang berbeda dari kedua saudara perempuannya karena banyak berpikir dan mendambakan kebebasan. Ayahnya yang sederhana dan menginginkan masa depan yang baik untuknya kemudian menperkenalkannya dengan Salwa, seorang pemuda dengan masa depan cerah yang menjadi dosen di Yogya. Amba yang cerdas kemudian kuliah sastra di Yogya pula, dan selanjutnya bertunangan dengan Salwa, karena ia seorang pemuda Jawa yang sopan, rajin dan penuh perhatian padanya.
Suatu ketika, Amba yang ingin mencari pengalaman baru melamar menjadi penerjemah di sebuah rumah sakit di Kediri. Tugasnya adalah merjemahkan jurnal kedokteran dari bahasa Inggris untuk Bhisma, seorang dokter tampan berdarah Sumatera lulusan Jerman Timur. Mereka saling jatuh cinta dan Amba melupakan Salwa, serta menuruti hasratnya mengikuti kehendak dan kehidupan Bhisma yang penuh bahaya sebagai seorang simpatisan gerakan kiri. Namun peristiwa 30 September 1965 memisahkan mereka.
Empat puluh satu tahun kemudian Amba mencari Bhisma ke Pulau Buru. Apakah yang ditemukannya?

Sebagai novel dengan latar belakang budaya Jawa, pengarang menggambarkan kejawaan keluarga Amba melalui keakraban ayah Amba dengan kisah Mahabarata, Centhini, keharusan belajar menari, dan bagaimana Amba selalu mengaitkan namanya serta kedua laki-laki dalam hidupnya – yang kebetulan sama dengan yang terdapat dalam kisah Mahabarata - dengan tokoh dalam kisah tersebut. Hal ini dapat dilukiskan pengarang dengan baik,
Namun sebagaimana novel lainnya yang ditulis perempuan, tokoh ayah selalu digambarkan lebih cerdas dan dekat dengan anak perempuannya, dan tokoh utama perempuan selalu bertemu dengan laki-laki yang bersedia mencintainya apapun yang terjadi.
Selain itu,seperlima bagian terakhir dari buku tampak terlalu panjang, dan sebenarnya dapat lebih ringkas. Novel ini juga mengingatkan pada novel Sang Penerjemah, yang tokoh utamanya juga jatuh cinta pada laki-laki yang menggunakan jasa terjemahannya. Perbedaannya, dalam Amba sang tokoh lebih berani menuruti perasannya.  

Diluar hal di atas, Amba adalah novel yang menarik dan indah, karena pembaca akan memperoleh sedikit pengetahuan mengenai kejadian-kejadian bersejarah pada masa itu, sekelumit kisah wayang, sifat keluarga Jawa, keadaan di pulau Buru, dan perasaan serta hasrat seorang perempuan yang jatuh cinta, yang semuanya ditulis secara lembut dan puitis.

Laksmi Pamuntjak sebelumnya telah menulis beberapa buku, antara lainJakarta Good Food Guide, telaah filosofis Perang, Langit dan Dua Perempuan (2006), dan dua kumpulan puisi yaitu Ellipsis (2005) dan The Anagram (2007).

Monday, October 08, 2012

When We Were Orphans


Judul : When We Were Orphans  (Masa-masa  Ketika Kita Yatim Piatu)
Pengarang: Kazuo Ishiguro
Alih bahasa:Linda Boentaram
Penerbit: Elex Media Komputindo
Tahun : 2012
Tebal : 414 hal



Christopher Banks, anak seorang pegawai perusahaan dagang Inggris di Shanghai tiba-tiba menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya diculik. Ia kemudian dikirim ke rumah bibinya di Inggris untuk melanjutkan sekolah. Selama itu ia merasa bangga kepada kedua orang tuanya, khususnya ibunya, yang memperjuangkan kebaikan bagi penduduk asli. Namun peristiwa itu juga mendorongnya untuk menjadi detektif, agar dapat membasmi kejahatan, termasuk menemukan kembali kedua orang tuanya. Setelah berhasil menjadi detektif terkenal - dan berkenalan dengan Sarah, seorang wanita ambisius yang juga yatim piatu - ia kembali ke Shanghai untuk menyelamatkan kedua orang tuanya. Namun perang sudah dimulai disana. Berhasilkah Banks menemukan orang tuanya? Bagaimana keadaan mereka? Apakah cita-cita Sarah juga tercapai?

Tidak seperti novel-novelnya yang lain, When We Were Orphans ditulis seperti buku detektif populer, yaitu banyak melukiskan tindakan tokoh-tokohnya namun kurang menampilkan pikiran atau perasaannya. Cara penulisan seperti ini membuatnya lebih mudah dibaca, namun membuat karakter tokohnya menjadi agak kurang jelas. Misalnya, pembaca tidak mengetahui bagaimana sebenarnya perasaan Banks terhadap Sarah,terhadap ibunya, hidupnya.
Apakah ia menyukai Sarah hanya karena sama-sama yatim piatu? Apakah ia dapat menerima pengorbanan ibunya tanpa merasa bersalah? Mengapa ia memutuskan hidup sendiri?

Bagian akhir tidak mudah ditebak bagi pembaca, karena tokohnya tidak seperti tokoh detektif dalam novel-novel biasa yang selalu mendapatkan keberhasilan. Seperti novel-novelnya yang lain, terasa ada kehampaan disana. Setelah menjalani kehidupan yang penuh semangat dan cita-cita di masa muda, atau misi - menurut pengarang, di usia senja hal itu tidak tampak lagi. Namun pembaca tidak tahu persis apa yang menyebabkannya. Sedikit petunjuk, mungkin karena latar belakangnya sebagai yatim piatu. “… bagi kami, takdir kami adalah menghadapi dunia sebagai yatim piatu, bertahun-tahun mengejar bayangan orang tua kami yang hilang. Tidak ada jalan lain bagi kami kecuali berusaha menjalani misi kami hingga akhir, sebaik mungkin, karena sampai kita melakukannya, kita tidak akan pernah tenang.”


Novel ini berlatar belakang tahun tiga puluhan, sehingga pembaca bisa mengetahui bagaimana kehidupan di Inggris dan Shanghai pada masa tersebut, yang berada di tengah perjuangan kaum nasionalis Cina, tentara Merah, dan serangan Jepang.