Thursday, August 30, 2012

Keep the Aspidistra Flying


Judul : Keep the Aspidistra Flying
Pengarang: George Orwell
Penerbit: Folio Society
Tahun : 2001
Tebal : 272 hal


Dapatkah seseorang mempertahankan prinsip atau cita-cita jika hal itu membuatnya harus hidup miskin? Apakah pilihan tersebut bersifat mutlak ataukah dapat diambil jalan tengah?
Gordon Comstock,seorang laki-laki muda berumur tiga puluh tahun, bercita-cita menjadi penulis besar dan membenci pekerjaan yang hanya mengejar uang. Ia tidak mau bekerja di bank atau perusahaan periklanan, karena keduanya mendukung pemujaan terhadap uang, dunia Money-God. Sayangnya, ia miskin, dan keluarganya telah berkorban banyak untuk membiayai sekolahnya, sehingga Gordon terpaksa menerima tawaran bekerja di perusahaan periklanan. Namun setelah ibunya meninggal, ia bertekad meninggalkan dunia tersebut, sehingga menjadi penjaga toko buku kecil dan menulis puisi, meskipun akhirnya menjadi sangat miskin.
Buku puisi pertama Gordon berhasil terbit berkat bantuan Ravelston, sahabatnya yang kaya dan beraliran sosialis, dan kekasihnya, Rosemary tetap setia meskipun Gordon tidak mampu mengajaknya bepergian atau makan malam. Untuk mengajak Rosemary bepergian ia harus meminjam uang kepada kakak perempuannya yang juga pekerja miskin, untuk mentraktir Ravelston minuman murahan ia mengorbankan makan malamnya.



aspidistra

Gordon terus menerus berpikir bahwa ketiadaan uang tidak saja membuatnya kelaparan, namun juga tidak memungkinkan adanya cinta, persahabatan, kemampuan menulis, dan kehidupan sosial yang wajar.. Tanaman aspidistra, yang dapat ditemui di semua rumah kelas menengah, termasuk kamar kosnya, menjadi sasaran kebenciannya.

Namun Gordon tetap tidak mau bekerja di bidang yang menurutnya bersifat Money God, bahkan setelah jatuh lebih miskin lagi karena hanya menjadi penjaga penyewaan buku-buku picisan, sehingga Rosemary membujuknya untuk kembali bekerja di perusahaan periklanan. Berhasilkah upayanya membujuk Gordon?


Membaca novel ini tidak membosankan, meskipun tindakan dan pikiran tokoh utama ditulis dengan rinci,karena membuat pembaca mengetahui bagaimana rasanya hidup miskin membela suatu prinsip, selain suasana tahun tiga puluhan, dimana perang dunia pertama masih terasa dan bayang-bayang perang dunia kedua tengah menggantung. Bagian akhir novel juga akan membuat pembaca berpikir, apakah uang memang segala-galanya? Bagi yang telah lama bekerja, bagian ini mungkin akan mengingatkan akan masa lalunya: apakah pekerjaan yang dipilihnya memang benar-benar sesuai cita-cita atau minat ataukah karena bersifat realistis – artinya lebih mempertimbangkan sisi keuangan, atau tercapai keduanya?

Tidak mengherankan bahwa pengarang dapat menggambarkan tokohnya dengan baik, karena pengarang sendiri pernah mengalami kemiskinan parah ketika menjadi penulis lepas, yaitu setelah berhenti menjadi pegawai Indian Imperial Police selama 5 tahun di Burma (1922-1927), sehingga terpaksa menjadi pencuci piring di Paris dan tuna wisma di London, sebagaimana dikisahkan dalam Down and Out in Paris and London (1933). Dalam buku tersebut ia menceritakan, betapa rumit dan membosankannya menjadi orang miskin. Misalnya ketika di jalan mendadak bertemu seorang teman yang berada, ia terpaksa menghindar dengan memasuki sebuah kafe dan mengorbankan uang makannya untuk membeli kopi yang tidak dapat diminum karena dimasuki lalat, dan kejadian-kejadian kecil sejenis yang berakibat fatal jika seseorang miskin. Semua itu tampaknya menjadi dasar dari kejadian-kejadian yang terdapat dalam novel ini serta pikiran tokoh utama, yang kebencian sekaligus kebutuhannya akan uang diungkapkan secara berlebihan sehingga kadang terasa komikal.

Menceritakan pengalamannya, ia menulis,  You thought it (poverty) would be quite simple;it is extraordinary complicated. You thought it would be terrible; it is merely squalid and boring. It is the peculiar lowness of poverty that you discover first; the shifts that it puts to you, the complicated meanness, the crust-wiping.”    Pengalaman tersebut membuatnya lebih besimpati kepada para pekerja miskin dan tuna wisma. Orwell sendiri adalah seorang sosialis, mungkin itu sebabnya satu tokoh dalam novel ini juga seorang sosialis. Namun tidak seperti Gordon, ia menjadi penulis yang sukses.

Tampaknya empat novel yang ditulis sebelum dua novelnya yang terkenal semua berdasarkan pengalaman pribadinya, dimulai dari Burmese Days, yang ditulis berdasarkan pengalamannya sewaktu bekerja di Burma, kemudian Keep the Aspidistra Flying dan Coming Up for Air, yang keduanya tentang hidup dalam kesulitan keuangan, serta A Clergyman’s Daughter. Diantara keempat novel tersebut, yang terbaik adalah Burmese Days.
 




Sunday, August 12, 2012

The Geography of Bliss


Judul : The Geography of Bliss
Pengarang: Eric Weiner
Penerjemah: Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita
Tahun : 2012, Maret (Cet 2)
Tebal : 512 hal

Apakah yang membuat seseorang bahagia? Apakah kebahagiaan itu hanya tergantung pada cara seseorang menghadapi kehidupan saja ataukah juga tergantung kepada lingkungan atau budaya tempat ia tinggal?

Eric Weiner percaya bahwa lingkungan juga mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Oleh karena itu ia ingin mengetahui apa yang menyebabkan penduduk suatu negara lebih bahagia dibanding tempat lain dan sebaliknya. Untuk itu ia mengunjungi sepuluh negara, yaitu Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia, Moldova, Thailand, Inggris, India, dan negerinya sendiri, AS.

Berdasarkan indeks kebahagiaan yang disusun oleh peneliti Belanda Ruut Veenhoven, dari sepuluh negara di atas, Islandia adalah yang negara yang penduduknya paling bahagia, dengan nilai 8.3, sedangkan Moldova adalah yang paling tidak bahagia, dengan nilai 4.9, disusul India (5.5).

Kebahagiaan rakyat Islandia agak mengherankan Weiner, karena negara tersebut bersuhu dingin yang langitnya hampir selalu gelap. Namun di Islandia orang tidak terlalu ditekan untuk selalu sukses, karena apabila kurang berhasil di satu bidang, mereka dapat berpindah ke bidang lainnya dengan mudah. Spesialisasi belum sepenuhnya berlaku disini. Selain itu, hubungan antar masyarakat cukup dekat karena negaranya sangat kecil.

Rakyat Moldova tidak bahagia karena mereka sangat miskin sepeninggal Soviet, tidak memiliki identitas dan budaya tersendiri yang jelas, dan memiliki sifat iri hati yang negatif. Qatar meskipun kaya raya namun kurang bahagia dibanding Singapura karena susunan masyarakatnya masih tradisional, yaitu sukuisme, hampir tidak memiliki kebebasan, tidak memiliki kebudayaan, dan hampir seluruh kegiatan kerja dilakukan orang asing. Sedangkan Thailand lumayan berbahagia karena bersikap santai dan tidak pernah berpikir berat.

Sepanjang buku Eric menulis dengan nada humor yang mengalir dengan lancar, sehingga tulisannya menyenangkan untuk dibaca. Di setiap negara Ia bertemu dan bertanya pada banyak orang untuk meminta pendapat mereka tentang arti kebahagiaan dan merasakan kehidupan di negara tersebut.

Indeks kebahagiaan yang dibuat Ruut Veenhoven disusun melalui survey dengan menanyakan kepada responden tingkat kebahagiaan mereka secara keseluruhan dalam nilai 0-10, sehingga memang jawaban menjadi bersifat subyektif dan tergantung keadaan responden pada saat survey. Namun demikian, data yang dihasilkan survey ini menunjukkan adanya korelasi positif antara kemakmuran, kebebasan dan kestabilan suatu negara dengan tingkat kebahagiaan penduduknya.

Berdasarkan hasil survey, negara-negara Afrika dan eks Soviet adalah yang paling tidak bahagia, disusul oleh negara-negara Timur Tengah dan Asia Selatan. Negara ASEAN berada di urutan selanjutnya dengan nilai 5.9 (Filipina) sampai 6.9 (Singapore), sedang Indonesia hanya 6.3. Yang paling bahagia adalah penduduk negara-negara Skandinavia – negara yang juga paling stabil dan sekuler – dan Amerika Latin, baru kemudian Eropa Barat, Kanada, Australia dan AS.

Melihat nilai indeks tersebut, disayangkan mengapa penulis tidak ke Amerika Latin, karena muncul pertanyaan, mengapa negara-negara tersebut lebih bahagia dibandingkan Eropa Barat, meskipun tidak semakmur Eropa. Selain itu, negara-negara bersuhu dingin tampaknya juga lebih bahagia.

Eric Weiner sendiri menulis bahwa untuk bahagia, suatu masyarakat perlu rasa saling percaya. Hal ini tentunya hanya bisa dimiliki oleh masyarakat di negara maju, bukan di negara-negara miskin yang pemerintahannya korup, seperti di Afrika atau sebagian Asia, misalnya.

Membaca buku ini seperti melakukan perjalanan yang menarik ke berbagai negara, sekaligus membuat kita menanyakan kembali arti kebahagiaan.

Perempuan Berbicara Kretek



    Judul:   Perempuan Berbicara Kretek
    Pengarang: Abmi Handayani dkk
    Penerbit: Indonesia Berdikari
    Tahun : 2012
    Tebal : 320 hal





Melengkapi novel Gadis Kretek, ada baiknya membaca Perempuan Berbicara Kretek dan Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek, sekaligus merayakan hari kemerdekaan yang sebentar lagi tiba, karena kedua buku ini akan mengingatkan kita tentang arti penjajahan, yang bisa dalam beragam bentuk tanpa sungguh-sungguh kita sadari.

Kampanye anti merokok dengan alasan kesehatan sudah menjadi hal sehari-hari, dan kini perokok, apalagi perokok kretek, telah menjadi kaum paria. Apalagi jika yang merokok adalah perempuan, maka semakin lengkaplah pandangan rendah itu. Tapi benarkah merokok sedemikian buruknya? Adakah sesuatu dibalik kampanye anti rokok yang demikian gencar? Diluar semua itu, mengapa masih ada diskrimasi terhadap perempuan – yang terlihat jelas kala perempuan merokok di tempat umum.
Ada dimensi feminisme, pembelaan terhadap budaya, ekonomi dan kemandirian bangsa disini.
Bagian pertama berisi argumen bahwa bahaya rokok terlalu dibesar-besarkan. Saya setuju bahwa merokok satu pak atau lebih setiap hari tidak baik. Namun apakah orang juga harus dilarang jika hanya merokok sedikit-sedikit atau sesekali - misalnya ketika bertemu teman-teman di tempat umum - sehingga semua tempat umum harus dibebaskan dari rokok? Hal ini tengah diupayakan oleh banyak pihak pendukung anti rokok untuk menjadi kenyataan dalam waktu dekat.

Bagian kedua membahas tentang pandangan rendah terhadap perempuan perokok. Mungkin kedengarannya seperti pembelaan. Namun saya setuju dengan para penulis dalam buku ini bahwa perempuan perokok adalah perempuan pemberani atau pemberontak, karena ia harus mengatasi stigma buruk yang melekat pada perempuan perokok, yaitu perempuan nakal dan sejenisnya. Saya memiliki teman-teman dekat (perempuan) yang perokok, bos perempuan saya dulu di kantor (di bidang yang bersifat sangat konservatif) juga perokok. Dan mereka adalah orang-orang baik yang paling menyenangkan, kompeten dalam pekerjaan, dan memiliki anak-anak yang sehat. Merokok atau tidak adalah pilihan. Dan perempuan memiliki hak yang sama untuk memilih apa yang ingin ia lakukan dalam hidupnya.

Bagian ketiga, dan ke empat tentang budaya dan kemandirian bangsa. Kretek adalah ciptaan asli bangsa Indonesia, ia telah menjadi bagian dari budaya. Kretek juga menjadi penopang hidup jutaan pekerja perempuan dan petani tembakau serta cengkeh dan penyumbang pajak yang sangat berarti. .

Mengenai hal yang terakhir ini, dibahas lebih baik dalam buku Membunuh Indonesia, karena disusun secara sistematis disertai data-data, sedangkan buku pertama berupa kumpulan 45 artikel yang seluruhnya ditulis oleh perempuan.

Membunuh Indonesia selain menguraikan sejarah kretek, juga menguraikan sejarah tersingkirnya produk-produk lokal Indonesia yang sebagian diantaranya dilakukan dengan menggunakan dalih kesehatan. Pertama yaitu minyak kelapa, yang wajib dilabeli “kaya akan lemak yang menyebabkan sumbatan pembuluh darah,” dan persyaratan menurunkan kadarnya lemaknya, kemudian industri garam, dengan alasan kurang yodium. Semua ini terjadi berdasarkan tekanan asing, yang langsung dituruti oleh pemerintah tanpa berusaha memperbaiki industri kecil dalam negeri, sehingga industri minyak kelapa mati dan kini 70% kebutuhan garam diimpor. Pelopor kampanye di atas adalah pemerintah asing dan perusahaan garam multinasional.

Kini yang menjadi sasaran adalah kretek. Dengan menggunakan isu kesehatan, pabrik-pabrik kretek diminta untuk menurunkan kadar nikotinnya hingga pada titik yang sulit dilakukan oleh pabrik kecil, kemudian peningkatan cukai, pembatasan ruang bagi perokok, dan kampanye anti rokok terus menerus. Namun itu hanyalah alasan, karena tujuan utamanya adalah penguasaan industri kretek oleh asing. Perusahaan asing yang telah mengakuisisi dua perusahaan kretek besar Indonesia, misalnya, juga telah mengakuisisi perusahaan-perusahaan rokok besar di negara-negara lain, dengan tujuan untuk menguasai pasar di seluruh negara tersebut. Sedangkan sponsor utama dari kampanye anti rokok adalah perusahaan farmasi asing. Nah, apakah pemerintah dan rakyat Indonesia sadar akan hal tersebut? Bersediakah kita dijajah kembali dengan cara yang lebih halus? Setelah seluruh kekayaan alam Indonesia dikeruk asing dengan murah, akankah industri kretek (dan tembakau) juga direlakan untuk dikuasai asing?

Saya suka kedua buku ini. Mungkin nadanya seperti propaganda, tetapi apa yang disampaikan penting untuk kita sadari. Setelah sekian puluh tahun merdeka, dan banyak hal tampak tidak berjalan baik, para penulis kedua buku ini membantu mengingatkan hal-hal tersebut.