Wednesday, May 30, 2012

Menerawang Indonesia


Judul    :       Menerawang Indonesia – pada dasawarsa ketiga abad ke 21
Pengarang:  Dorodjatun Kuntjoro Jakti
Penerbit:      Alvabet
Tahun   :       2012, Maret
Tebal    :       274  hal



Menurut Prof. Jakti, buku ini ditulis berdasarkan permintaan sekelompok orang muda berumur 40-an yang memintanya membuat buku berisi pemikiran untuk Indonesia abad ke 21. Namun mengingat penerawangan secara kuantitatif sulit dan mahal, maka penerawangan dilakukan secara kualitatif, untuk melihat kondisi Indonesia pada tahun 2030. Mengapa tahun 2030, karena pada saat itu Indonesia berada di tengah-tengah demographic bonus, yaitu saat tingkat kebergantungan (dependency ratio) pada titik terendah.   
Penerawangan secara kualitatif dilakukan dengan melihat dari tiga unsur yaitu geografi, demografi dan histori. Dengan demikian pada bagian pertama dibahas kondisi dunia berdasarkan ketiga hal tersebut. Selanjutnya dibahas mengenai kondisi dunia pada paruh pertama abad ke 21, yang masih akan dipimpin oleh Amerika Serikat sebagai kekuatan dunia dan globalisasi yang didominasi oleh iptek, sehingga jurang antara negara maju di utara dan negara berkembang di selatan akan semakin lebar. Selain itu penulis juga mengingatkan kemungkinan terjadinya kembali error dalam pengambilan keputusan oleh para pemimpin dunia, yang di masa lalu turut menyeret Indonesia dan menjadi titik balik untuk perubahan.

Bagian kedua membahas kondisi Indonesia dengan melihat sejarah masa lalu, dari saat sumpah pemuda, perjuangan menuju kemerdekaan, masa pencarian sistem politik, sistem ekonomi, hingga reformasi 1998 yang merupakan point of no return. Pada bagian ini penulis mengingatkan bahwa tegaknya negara Indonesia adalah karena berhasilnya negara menumpas gerakan ekstrim kiri dan kanan, dan bahwa gerakan ekstrim kanan jauh lebih sulit diberantas. Hal ini perlu menjadi perhatian, karena pemerintahan Indonesia hingga saat ini masih sarat KKN, yang seringkali disertai SARA. Oleh karena itu perlu diupayakan pemerintahan yang bersih agar tidak terjadi pembalikan terhadap proses reformasi, demokratisasi dan desentralisasi oleh aliran-aliran di atas.

Penerawangan untuk melihat Indonesia delapan belas tahun ke depan menghasilkan dua skenario atau lakon. Yang pertama adalah Indonesia sebagai raksasa ASEAN yang tidak berdaya, sedang yang kedua Indonesia sebagai pusat kebangkitan masyarakat ASEAN.
Pak Jakti mengingatkan bahwa kondisi Indonesia sampai saat ini tidak begitu baik, sehingga perlu diupayakan agar tidak jatuh menjadi failed state atau negara gagal. Berdasarkan data tahun 2011, Indonesia berada pada urutan ke 64 dari failed states index (urutan 1 sampai 60 merupakan failed states).  Jika mengikuti ekonom Paul Collier (lihat The Bottom Billion),yang tergolong failed states adalah 58 negara termiskin, sehingga posisi Indonesia memang sangat rawan untuk jatuh dari failing state menjadi failed state jika tak dikelola dengan baik. Penulis mengingatkan bahwa kekayaan alam Indonesia di wilayah perbatasan utara dan timur baik berupa hasil gas, tambang, perkebunan maupun perikanan dapat menjadi sumber KKN melalui kolusi pemerintah dengan asing, sebagaimana telah terjadi pada negara-negara gagal dengan pemerintahannya yang otoriter. Juga perlu diperhatikan adalah masalah food, fuel dan finance, yang terutama akan menjadi masalah bagi negara besar seperti Indonesia, sehingga dapat menimbulkan potensi ketidakpuasan yang mengarah pada anarki dan mengundang intervensi asing.  
Berdasarkan beberapa indikator failed states, antara lain tingkat kebebasan, efektivitas pemerintahan, kemampuan negara menyediakan infrastruktur, tingkat pertumbuhan penduduk, dan kondisi lingkungan hidup, maka kondisi Indonesia memang cukup mengkhawatirkan, sebagaimana dapat kita rasakan sendiri selama beberapa tahun terakhir.

Skenario kedua, sebagai pusat kebangkitan masyarakat ASEAN didasari pada kemampuan Indonesia sampai saat ini yang masih berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang pernah dihadapinya. Untuk mencapai hal tersebut, pemerintah Indonesia ke depan harus mampu memberantas KKN, meningkatkan peranan daerah sebagai pendorong ekonomi, menjaga pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, dan menangani berbagai gejolak sosial dan ekonomi termasuk menjaga persatuan dan kesatuan. Masalah SARA akan semakin meningkat, sehingga yang memerintah Indonesia harus memperhatikan potensi masalah yang berkaitan dengan separatisme dan fundamentalisme serta mempertahankan pluralisme.

Hasil penerawangan terhadap Indonesia ke depan menunjukkan,bahwa banyak masalah yang masih harus dihadapi, dan mereka yang memerintah Indonesia harus bersih, memiliki visi, mampu merumuskan dan menjalankan strategi yang sesuai, serta dapat mempertahankan pluralisme di tengah rongrongan bersifat SARA, jika Indonesia tidak ingin jatuh lebih dalam. Melihat kondisi negara kita saat ini dan beberapa dekade ke belakang, maka penerawangan penulis tampak cukup realistis. Tidak ada alasan untuk terlalu optimis, karena tampaknya tidak banyak persyaratan yang kita miliki saat ini untuk menjadikan skenario kedua suatu kenyataan.  

Friday, May 18, 2012

The Bottom Billion


Judul  The Bottom Billion - Why The Poorest Countries Are Failing and What Can be Done About It
Pengarang : Paul Collier         
Penerbit:      Oxford Univ Press
Tahun   :       2008
Tebal    :       209  hal



Saat ini, sebagian besar negara-negara berkembang di Asia dan Amerika Latin selalu mengalami pertumbuhan ekonomi, yang telah berlangsung sejak tiga dekade terakhir, sehingga “untuk pertama kalinya, sejak tahun 80-an dunia mengalami penurunan kemiskinan.”
Sebaliknya, 58 negara-negara termiskin di Afrika, Asia Tengah, Haiti, dan beberapa lainnya yang meliputi satu miliar jiwa (80% diantaranya di Afrika), tidak hanya tidak bertumbuh, tetapi juga mengalami pertumbuhan negatif, bahkan kondisinya berantakan (failing apart). Sehingga menurut Collier, di dunia yang terdiri dari enam miliar jiwa dengan satu miliar penduduk negara maju dan empat miliar penduduk negara berkembang (yang bertumbuh ekonominya),”The countries at the bottom coexist with the twenty first century, but their reality is the fourteenth century: civil war,plague, ignorance,”  Dengan adanya globalisasi, hal ini semakin rentan, karena perang saudara dan ketidakpuasan penduduk negara-negara termiskin tersebut akan mendorong migrasi ke negara-negara maju dan menimbulkan masalah di negara maju dalam bentuk epidemi, terorisme dan obat-obatan terlarang. Hal ini telah terjadi di Inggris.
Pertanyaannya, mengapa perang saudara terus terjadi di negara-negara Afrika dan bantuan internasional seperti tidak ada hasilnya? Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaikinya?

Menurut penulis, terdapat beberapa hal yang menyebabkan ekonomi negara-negara termiskin tersebut stagnan atau bahkan negatif, yaitu:
1.   Jebakan konflik
Perang saudara pernah dialami oleh 73% penduduk negara-negara termiskin. Konflik tergolong perang saudara jika korban pertempuran minimal 1000 orang. Namun apa yang menyebabkan suatu negara terjebak perang saudara? Pendapatan rendah, pertumbuhan rendah, dan ketergantungan pada komoditi primer.  Pendapatan rendah atau kemiskinan membuat banyak laki-laki muda kehilangan harapan sehingga bergabung dengan laskar pemberontak dengan harapan memperoleh kekayaan dan nyawa terasa murah, lemahnya ekonomi membuat pemerintahan lemah pula, dan adanya sumberdaya primer membuat pihak asing bersedia membayar konsesi kepada pemberontak asalkan usahanya dapat berjalan dengan aman. Selanjutnya negara yang pernah mengalami perang saudara mudah jatuh kembali dalam konflik. Mengapa? Perang menimbulkan saling ketidakpercayaan, sehingga setelah perang biasanya terjadi tingkat pembunuhan yang tinggi; ditambah dengan pendapatan yang rendah, maka perang dan kudeta rentan untuk muncul kembali, sehingga negara terjebak dalam perang atau kudeta yang tak pernah berakhir. Hal ini sesuai dengan data, yang menunjukkan bahwa perang saudara paling banyak terjadi di negara-negara termiskin, sedangkan di negara maju tidak pernah terjadi dan di negara berkembang lain sangat jarang.

2.   Jebakan sumberdaya alam
Sumberdaya alam yang melimpah menyebabkan suatu negara melupakan investasi di bidang-bidang lain yang  akan dapat meningkatkan kemampuan dan pendapatannya di masa datang, selain itu, banyaknya pendapatan mengakibatkan pemerintah merasa kuat sehingga bersifat autokratis, dan kurangnya kontrol mengakibatkan dana dari sumberdaya alam tidak digunakan secara efektif, misalnya banyak digunakan untuk proyek-proyek pemborosan yang penuh korupsi. Namun harga komoditi primer tidak stabil, sehingga ketika harga minyak turun, misalnya, negara mudah mengalami krisis dan ketika krisis justru pengeluaran untuk investasi yang dikurangi. Namun demokrasi tidak berarti lebih baik, karena pemerintah lebih memikirkan untuk memenangkan pemilihan berikutnya, maka kurang memperhatikan investasi, yang hasilnya bersifat jangka panjang, sehingga tingkat investasi rendah.
    Jebakan sumberdaya alam juga terjadi pada negara berpenghasilan menengah, seperti Rusia,Venezuela dan TImur Tengah. Sumberdaya alam membuat mereka tidak melakukan investasi pada bidang manufaktur dan jasa, yang berguna untuk pertumbuhan.

3.   Terkurung daratan dengan tetangga yang buruk
Penduduk Asia Tengah dan 38% penduduk Afrika tinggal di negara yang terkurung daratan, 30% diantaranya bahkan langka sumberdaya alam. Negara seperti ini tidak mudah melakukan ekspor, karena jarak ke pelabuhan jauh, dan jika negara tetangga pertumbuhan ekonominya juga stagnan atau negatif, tidak memiliki jalan raya yang baik, atau sedang mengalami perang, maka semakin sulitlah melakukan perdagangan untuk meningkatkan pendapatannya.

4.   Tata kelola pemerintahan buruk (bad governance) di negara kecil
Banyak dari negara-negara ini memiliki pemimpin, politisi dan pejabat publik yang luar biasa korup dan bersifat jahat, serta kekurangan atau tidak memiliki tenaga ahli yang diperlukan. Sementara ekonomi stagnan dan pertumbuhan penduduk tinggi. Negara-negara ini tergolong negara gagal, misalnya Angola, Republik Afrika Tengah, Haiti, Sudan, Somalia, Zimbabwe

Upaya meningkatkan kondisi negara-negara ini tergolong sulit, meskipun globalisasi menguntungkan negara berkembang lainnya. karena mereka telah ketinggalan kereta. Ada tiga unsur globalisasi, yaitu perdagangan barang, aliran modal, dan migrasi manusia. Apakah globalisasi dapat mendorong kemajuan negara-negara termiskin? .


Collier menyebut “economies of agglomeration”, yaitu keadaan dimana relokasi produksi dari negara maju ke negara berkembang yang berupah rendah telah dilakukan oleh banyak perusahaan; hal tersebut menimbulkan skala ekonomi, karena banyaknya tenaga kerja dan industri pendukung yang menunjang di lokasi yang sama akan meningkatkan efisiensi, sehingga negara berkembang dapat bersaing di pasar dunia, dan upah perlahan-lahan meningkat, sehingga mengarah pada konvergensi dengan negara maju.. Namun hal ini tidak terjadi di Afrika, karena dua pertiga penduduk tinggal di daerah yang terkurung daratan, sedangkan sisanya yang berada di daerah pantai tergolong negara gagal, sehingga tidak dipilih investor. Selanjutnya, karena proses relokasi telah berlangsung sejak 1980-an, maka ketika ada negara Afrika yang masuk pada tahun 1990-an, waktunya telah terlambat.

Aliran modal juga tidak masuk ke negara-negara ini karena bad governance, yang meningkatkan risiko investasi dan skala ekonomi per negara kecil. Kedua hal ini juga mengakibatkan pelarian modal oleh penduduk negara itu sendiri. Keadaan negara yang tanpa harapan selanjutnya mendorong emigrasi kaum terdidik ke negara-negara yang lebih maju. Dengan demikian globalisasi tidak memberi manfaat bagi negara-negara termiskin.
Untuk mengatasi masalah di atas, Collier mengusulkan beberapa hal, antara lain pemberian bantuan dengan menekankan pada peningkatan kemampuan masyarakat sendiri daripada pemerintah, meningkatkan tekanan untuk transparansi pemerintahan, intervensi militer selama beberapa tahun untuk meredakan konflik dan menjaga kestabilan keamanan, peningkatan penegakan hukum, dan kebijakan perdagangan internasional yang berpihak pada negara tersebut untuk pertumbuhan ekonomi.
Selain menjelaskan keadaan di Afrika, uraiannya mengenai jebakan sumberdaya alam dapat menerangkan keadaan yang terjadi di negara-negara lain yang memiliki sumberdaya alam berlimpah, seperti Indonesia misalnya. Usulan yang diajukan untuk pemecahan masalah juga dapat dipahamii, meskipun mungkin tidak seluruhnya dapat diterapkan. Intervensi militer, misalnya, mungkin tidak akan mudah jika konflik lokal yang terjadi terlalu rumit, seperti keadaan di Sudan dan Somalia.
Pendekatan penulis dalam mengatasi masalah kemiskinan memang berdasarkan pada pertumbuhan.. Baginya tidak ada gunanya pemberian bantuan kesehatan, pendidikan atau lainnya selama perekonomian stagnan atau negatif, karena hal tersebut tidak dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara-negara termiskin dalam jangka panjang. Sebaliknya good governance, investasi, perluasan lapangan kerja, ketrampilan, dan akses jalan atau pelabuhan untuk ekspor disertai dengan peningkatan pelatihan dan pendidikan secara otomatis akan mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kemiskinan,
Uraian Paul Collier ditulis dengan ringkas, padat dan sederhana, namun memberi banyak informasi bagi pembaca untuk memahami kondisi perbedaan ekonomi antar bangsa dan sebab kekerasan saat ini. Bahwa terdapat seperenam penduduk dunia termiskin yang jika terus diabaikan dapat (dan telah) mengancam keamanan kita semua, bahwa meningkatkan kesejahteraan mereka tidak mudah dan memerlukan kemauan serta koordinasi dari seluruh lembaga terkait negara maju yang selama ini menjadi donor, dan bahwa hal itu harus dilakukan segera. Uraiannya juga dapat membuat kita lebih memahami kondisi yang terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, khususnya kekurangan yang masih terjadi. Dibandingkan buku sejenis, seperti The White Man’s Burden oleh William Easterly, The Bottom Billion lebih informatif dan terarah dengan data kuantitatif yang memadai, baik dalam menguraikan mengenai penyebab maupun penyelesaiannya.
Penulis buku ini, Paul Collier adalah profesor ekonomi dan Direktur Pusat Studi Ekonomi Afrika di Universitas Oxford, yang juga pernah bertugas di Bank Dunia. Buku ini memenangkan The Lionel Gelber Prize 2008 dan co-winner The Estoril Global Issues Distinguished Book Prize 2009.