Wednesday, March 28, 2012

Karamel


                                                                                                             
Judul:  Karamel – Kumpulan Puisi Cinta dan Ilustrasi
Pengarang:  Ping Homeric
Penerbit:      KosaKataKita, Jakarta
Tahun    :       2010, Oktober
Tebal      :       viii+ 42 hal

Salah satu buku kumpulan puisi favorit saya adalah Only Companion, Japanese Poems of Love and Longing, yaitu kumpulan  tanka yang terentang selama seribu tahun dari para penyair Jepang sejak abad 9 hingga abad 20. Puisi-puisinya sederhana, ringkas, namun indah. Melalui pengamatan terhadap berbagai keadaan alam, seperti angin, hujan, musim, bulan, tumbuhan dan isi hutan, para penyair tersebut menggambarkan cinta, kesendirian dan kefanaan hidup manusia.
Karamel – terdiri dari 28 puisi -  bukan tanka, tapi memiliki kesederhanaan dan keindahan yang hampir sama, seperti puisi berikut ini,
kujala setiap senyummu
kuawetkan satu demi satu dengan teliti
lalu kuselipkan ke dalam buku hati
jadilah penunjuk halaman jiwa ini

Puisi lain tentang cinta dan kesendirian, misalnya:
I slice open that tranquil sky
to see if I can find your smile
hidden behind the span of pale clouds
instead, I find this massive silence
pouring down as the afternoon rain
soaking into my loneliness

Mengingatkan saya pada tanka berikut,
              At daybreak mist
              continues to falls, constant
as my faling tears.
And now this grieving wind
Sings through all that’s left behind
              (Lady Sagami)

              Carried by breezes,
The blossoms all drift away.
I can’t know where they go,
only that my heart remains
alone here deep inside me
    (Saigyo)

Puisi lainnya yang berkaitan dengan alam misalnya,
kuberdiri di bawah dinginnya mentari
di atas hamparan kelabu sabana yang menutupi wajah
ilalang kering tumbuh di padang ingatan tua
akankah angin musim menghembus mu kembali?
Terdapat juga puisi yang bernada humor,
matamu sampan
bulan terlelap di dalam
lentik bulu matamu, menari ilalang
             di tepian, aku datang
            mengail di jernihnya hatimu


Yang menarik dari buku ini, selain berbentuk hardcover juga setiap puisi disertai dengan ilustrasi  yang dibuat sendiri oleh pengarangnya, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap puisi. Hal ini membuat kumpulan puisi ini menyenangkan untuk dilihat.

Sunday, March 18, 2012

Sebutir Peluru dalam Buku


Judul    :        Sebutir Peluru dalam Buku – Kumpulan Cerpen
Pengarang:  Olyrinson
Penerbit:      Palagan Press, Pekanbaru
Tahun   :       2011, April
Tebal    :       108 hal


Tidak banyak kumpulan cerpen yang cerpen-cerpen di dalamnya memiliki kualitas setara. Seperti album lagu, pada umumnya hanya terdapat beberapa cerpen yang bagus, sebagian besar lainnya kurang, sehingga sering membuat kecewa.

Tidak demikian halnya dengan Sebutir Peluru. Selain temanya sejenis, kualitasnya juga merata, sehingga membaca empat belas cerpen dalam buku ini tidak mengecewakan. Tidak mengherankan juga, karena ternyata sebagian besar diantaranya pernah memenangkan lomba sayembara.

Tema dari seluruh cerpen yang terdapat dalam buku ini adalah penderitaan rakyat akibat kesewenang-wenangan penguasa dalam menjual tanah air, dengan menyingkirkan rakyat dari tanah adat mereka untuk perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan minyak, khususnya di wilayah Riau.

Kisah-kisah kemiskinan dan penderitaan yang terdapat dalam kumpulan ini mungkin tampak ekstrim, namun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan realitas yang tampil dalam acara “Jika Aku Menjadi” yang dihadirkan setiap hari melalui televisi. Disamping itu, dalam pengantarnya, pengarang menulis, “Kumpulan cerpen ini, adalah hampir seluruhnya realita. ….Karena begitu banyak kesusahan, kesengsaraan, air mata yang tumpah di negeri yang sangat saya cintai ini.”

Hampir semua cerpen mengambil sudut pandang seorang anak. Cerpen pertama tentang kegugupan seorang anak yang  berburu rusa sendirian untuk mencari nafkah karena ayahnya harus melawan pabrik gula yang merampas tanahnya. Cerpen berikut tentang seorang anak yang berusaha mencari nafkah dengan memperbaiki jalan karena ayahnya ditahan akibat mencuri kayu, disebabkan tanah mereka telah dirampas. Dua cerpen lainnya adalah kisah tentang perjuangan para wanita miskin berjuang hidup. Kisah-kisah lainnya adalah tentang penderitaan seorang anak yang ayahnya ditembak mati karena mencuri kelapa sawit, pipa bekas milik perusahaan minyak, kawat listrik, aluminium. Kisah paling mengharukan adalah tentang seorang anak yang terpaksa hendak menjual trenggiling kesayangan adiknya karena ayahnya ditangkap, namun tak berhasil karena adiknya melepas hewan tersebut, dan kisah tertembaknya seorang anak yang berusaha menyelamatkan gajah yang hendak dibunuh sebuah perusahaan minyak.

Meskipun semua kisahnya berakhir tragis, namun penulis tidak menyampaikannya secara berlebihan, meskipun ada beberapa yang seperti didramatisir, misalnya gambaran keluarga sangat miskin yang memiliki banyak anak, termasuk bayi (jumlah anak memang hanya akan menurun jika ekonomi membaik, lagipula tidak ada program pengendalian kelahiran lagi).  Cerita berjalan cepat dan cukup ringkas, namun menyisakan kesedihan yang dalam bagi pembacanya. Mungkin itulah kelebihan sastra dari berita: dapat membuat kita merasakan penderitaan orang lain, kehidupan orang lain.

Namun benarkah permasalahan perampasan tanah dan penderitaan rakyat demikian parah di Riau? Saya mencoba mencari datanya.
Menurut Jikalahari dan Kelompok Advokasi Masyarakat Riau, sampai dengan tahun 2007 jumlah hutan alam yang tersisa tinggal 2.254.188 hektar atau 25 % dari luas daratan Riau, dengan laju kerusakan hutan akibat perluasan perkebunan  sawit dan HTI secara massif mencapai 160 ribu hektar per tahun. Penyebabnya antara lain adalah target 6 juta hektar kebun sawit pada tahun 2015 oleh Presiden SBY. Sedangkan luas kebun sawit saja di Riau pada tahun 2010 telah mencapai 2,7 juta hektar.
Sementara itu pada tahun 2007 terdapat  35 sengketa lahan antara petani dan perusahaan sawit, yang meningkat menjadi 52  kasus pada tahun berikutnya. Sengketa tanah ini seringkali menimbulkan korban jiwa maupun harta benda rakyat di sekitar perkebunan. Misalnya konflik  di desa Batang Kumu, yang berlangsung sejak beberapa tahun terakhir, sengketa tanah antara penduduk dengan perusahaan sawit di daerah tersebut mengakibatkan penembakan, penangkapan dan pembakaran puluhan rumah rakyat. Dapat dibayangkan bahwa  penanganan puluhan kasus lainnya tidak jauh berbeda pula.
Berdasarkan data-data di atas, maka cerpen-cerpen Olyrinson merupakan gambaran dari kondisi masyarakat asli Riau yang terpinggirkan dan termiskinkan akibat dirampasnya tanah-tanah mereka oleh pengusaha perkebunan atau sumberdaya alam lainnya yang didukung oleh aparat negara.
Sebuah realitas menyedihkan yang harus dihadapi rakyat negara kita, dan bukan saja di Riau, tetapi juga di wilayah lain Indonesia yang sumberdaya alamnya dieksploitasi habis-habisan. Kumpulan cerpen ini adalah suara rakyat yang tertindas.

Maryam


Judul         
P   
 Pengarang: Okky Madasari
Penerbit:      GPU
Tahun  :       2012, Februari
Tebal   :       275 hal


Intoleransi, kekerasan karena agama, ketidakadilan, itulah tema novel ini. 
Kisahnya sederhana. Maryam, pengikut aliran Ahmadiyah yang telah turun temurun merasa heran ketika pulang ke kampungnya di Lombok, karena para tetangganya bersikap memusuhinya. Lebih mengejutkan lagi, ternyata keluarganya telah diusir dari rumah mereka karena menjadi pengikut Ahmadiyah. Ia sendiri baru bercerai, karena keluarga suaminya terus menerus menganggapnya sesat dan suaminya tak berani membela dirinya. Kesedihan akhirnya membuat Maryam tidak ingin bekerja di Jakarta lagi dan memutuskan untuk menetap di Lombok bersama orang tuanya dan menuruti nasihat mereka untuk menikah lagi dengan sesama pengikut Ahmadiyah. Sementara itu, orang tuanya membangun kembali hidup mereka dengan memulai usaha baru, sedangkan pengikut lainnya membangun hidup mereka di perumahan baru hasil sumbangan sesama pengikut Ahmadiyah. Namun rupanya semua itu belum berakhir. Perumahan baru tersebut diserang, dan mereka harus memilih: meninggalkan keyakinan mereka dan kembali ke rumah, atau kembali ke rumah namun tidak seorangpun dapat menjamin keselamatan mereka, termasuk pemerintah. Manakah yang mereka pilih?  
Fanatisme, kekerasan, intoleransi, seolah dilegalkan negara, yang tidak berani dan tidak bersedia melindungi warganya yang sedikit berbeda keyakinan.

Novel ini ditulis dengan bahasa yang ringan layaknya novel pop pada umumnya, meski kisahnya adalah tentang penderitaan yang dialami para pengikut Ahmadiyah dan ketidakpedulian negara. Dilihat dari temanya, merupakan sesuatu yang jarang ditulis pengarang lainnya, sehingga patut dihargai. Namun dari sisi lainnya seperti alur, gaya tulisan dan bahasa, tidak istimewa atau biasa saja bahkan cenderung klise, sehingga di beberapa bagian membuat saya ingin cepat-cepat melewatinya saja, khususnya di bagian cerita yang mengisahkan kehidupan pribadi Maryam. Meskipun demikian, pada bagian tertentu, misalnya saat menggambarkan kemarahan tokoh novel yang mempertanyakan keadilan atau ketidakpedulian negara, penulis berhasil menggambarkannya dengan baik. Sayangnya, cover buku ini seperti dibuat oleh orang yang baru belajar menggambar: sangat buruk.

Meningkatnya gerakan radikalisme di Indonesia (sehingga masyarakat menjadi semakin fanatik) merupakan salah satu hal yang membuat masyarakat tampak tidak peduli bahkan ketika terdapat pembunuhan keji terhadap pengikut Ahmadiyah tahun lalu. Suatu hal yang sangat disayangkan dapat terjadi di negeri ini, yang selama berpuluh tahun dikenal toleran dan bukan merupakan negara Islam. Apakah Indonesia telah mengikuti jejak negara-negara Islam seperti Arab Saudi, Pakistan dan sejenisnya?

Hal ini mengingatkan saya pada riwayat Abdus Salam dari Pakistan, ilmuwan muslim pertama (dan satu2nya?) yang menerima Nobel  fisika pada tahun 1979 bersama Steven Weinberg dan Paul Matthews. Abdus Salam adalah seorang pengikut Ahmadiyah, sehingga ketika Pakistan pada tahun 1974 menyatakan bahwa pengikut Ahmadi adalah bukan muslim dan terjadi banyak pembunuhan terhadap pengikut Ahmadi, ia juga harus mengungsi dari rumahnya.  Meskipun demikian, dengan reputasi yang dimilikinya, sepanjang karirnya ia berusaha keras meningkatkan status sains di negara-negara Islam agar dapat mengejar ketertinggalan dari Barat, bangga akan kontribusi sains Islam di masa lalu, dan sepanjang hidupnya merupakan seorang pemeluk Islam yang taat, yang tidak pernah melewatkan berdoa dan mendengarkan Quran. Ia juga membantu pengembangan sains di Pakistan, meskipun tidak tinggal di negara tersebut, dan tidak pernah melepas kewarganegaraannya. Walaupun demikian, di negerinya ia tidak dihargai, hanya karena ia pengikut Ahmadi. Demikian pula usahanya untuk negara-negara Islam yang dicintainya, kurang berhasil karena sebagai pengikut  Ahmadi, dianggap bukan Islam, sehingga tidak dihargai. Tidak hanya ketika masih hidup, bahkan batu nisannya pun, yang bertuliskan, “…..,The First Muslim Nobel Laureate,” dirusak sehingga menjadi,”..The First…..Nobel Laureate.”

Demikianlah, agama, fanatisme, begitu dalam kekerasan dan kebencian yang bisa dibawanya…..

Monday, March 05, 2012

A Universe from Nothing



Judul : A Universe from Nothing – Why there is
something rather than nothing
Pengarang: Lawrence M. Krauss
Penerbit: Free Press
Tahun : 2012, Jan.
Tebal : 202 hal



Pertanyaan mengenai asal mula alam semesta telah muncul sejak ribuan tahun lalu, sejak manusia dapat berpikir, dan menimbulkan banyak mitologi, filsafat dan dasar bagi agama: yaitu bahwa alam semesta diciptakan, karena sesuatu tidak mungkin tercipta dengan sendirinya dari ketiadaan.

Namun menurut L. Krauss, jawaban atas pertanyaan mengenai alam semesta hanya dapat diperoleh dengan menyelidiki alam tersebut berdasarkan fakta empiris, dengan teori yang dapat diuji melalui eksperimen, tidak dengan renungan filsafat atau wahyu. Dan perkembangan kosmologi selama dua dekade terakhir sangat pesat sehingga dapat menjawab pertanyaan yang selama ini dianggap merupakan wilayah filsafat atau agama.

Uraian penulis dimulai dengan sejarah penemuan mengembangnya alam semesta pada awal abad 20, yang kemudian mengarahkan pada munculnya teori Big Bang.

Uraian selanjutnya adalah penjelasan mengenai tiga bentuk alam semesta, yaitu closed (suatu ketika akan mengalami big crunch), open (terus mengembang tak terbatas) dan flat (terus mengembang namun dengan kecepatan yang semakin menurun), serta penelitian-penelitian yang telah dilakukan sehingga menghasilkan penemuan bahwa alam semesta kita flat.

Penulis juga menguraikan bagaimana pengetahuan akan fisika partikel dan selanjutnya teori inflationary universe, mekanika kuantum dan relativitas umum menghasilkan kesimpulan bahwa alam semesta dapat muncul dari ketiadaan. Data bahwa rata-rata energy gravitasional Newton adalah 0 dan alam semesta flat juga merupakan indikator bahwa alam semesta berasal dari ketiadaan.
Yang dimaksud dengan ketiadaan adalah adanya ruang tanpa apapun di dalamnya, dan dalam ruang tersebut hukum fisika berlaku.

Diuraikan pula masa depan alam semesta, dimana kelak (dua triliun tahun lagi) alam semesta demikian mengembang sehingga seluruh galaksi lain tidak akan terlihat kecuali Bima Sakti, dan seluruh jejak Big Bang telah terhapus, sehingga jika manusia masih ada, mereka tidak dapat memiliki pengetahuan seperti yang kita peroleh saat ini.
Penjelasan dalam buku ini dilengkapi dengan gambar yang cukup membantu dan tanpa persamaan matematika, namun juga tidak mudah bagi pembaca biasa tanpa latar belakang fisika. Membaca buku lain yang berkaitan, seperti buku Inflationary Universe oleh pencetusnya yaitu Alan Guth akan banyak membantu.

Meskipun demikian, banyak hal menarik yang dikemukakan oleh penulis, juga Richard Dawkins, yang menulis afterword. Keduanya menekankan perlunya kesiapan menghadapi fakta baru yang akan terus datang dari penemuan sains terakhir: apakah manusia sanggup menghadapi kenyataan jika sains akhirnya mengungkapkan bahwa alam semesta dapat tercipta dengan sendirinya, abadi, dan manusia hanya sesuatu yang tercipta secara kebetulan dari proses tersebut?

Tidak ada yang tahu apakah sains akan dapat mencapai tahap tersebut dengan penuh kepastian. Namun sudah waktunya manusia mulai menerima kenyataan bahwa dia bukanlah pusat alam semesta, dan satu-satunya jalan untuk memahami posisinya adalah dengan menyelidiki alam itu sendiri.

Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia


Judul : Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia
Pengarang: Iskandar P. Nugraha
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun : 2011, Nov. (Cetakan II)
Tebal : 210 hal

Sejarah nasionalisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan gerakan teosofi, demikian pula azas pluralisme yang menjadi dasar masyarakat plural Indonesia modern.
Demikian inti dari buku ini, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2001.

Teosofi adalah aliran pemikiran yang berusaha menggabungkan budaya Barat dan Timur. Gerakan ini didirikan oleh Helen Petrovina Bavatsky di New York pada tahun 1875, sebagai reaksi atas materialism dan ateisme. Tujuan gerakan ini adalah untuk memperbaiki rakyat melalui cara batin, dengan membentuk persaudaraan universal tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin, kasta maupun warna kulit dan mempelajari perbandingan agama, filsafat, serta menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan.

Selanjutnya di bawah kepemimpinan Annie Besant pada tahun 1895, gerakan teosofi mulai berkembang ke seluruh dunia termasuk Hindia Belanda dan dibentuk pula organisasi lainnya untuk mendukung gerakan ini, antara lain Perkumpulan Freemansory, Moeslim Bond dan Gereja Katolik Bebas.

Di Indonesia gerakan ini mulai berdiri pada tahun 1883 di Pekalongan, dipimpin seorang bangsawan Eropa, kemudian menyebar ke Surabaya (1903), Yogyakarta (1904) dan Surakarta (1905), dengan anggota terdiri dari orang Belanda, bumiputra terutama Jawa, dan Tionghoa. Jumlah anggota paling banyak terjadi pada tahun 1928, yaitu 1.589 orang.

Gerakan teosofi di Indonesia berkembang saat Belanda baru menjalankan Politik Etis, yaitu usaha membayar “hutang” kepada bangsa yang dijajah dengan menyelenggarakan perbaikan ekonomi dan sosial budaya. Banyak diantara mereka yang mendukung perbaikan sosial budaya atau Politik Asosiasi merupakan anggota teosofi, sehingga gerakan tersebut cenderung menjadi tempat mewujudkan cita-cita asosiasi mereka.

Di lain pihak, sifat gerakan teosofi yang menjunjung persamaan meskipun berbeda bangsa atau keyakinan dan menghargai budaya bangsa yang dijajah menarik minat kaum bumiputra yang saat itu sedang belajar di sekolah kedokteran dan hukum untuk menjadi anggota. Kelak pendidikan dan gagasan-gagasan yang diperoleh selama bergabung dalam gerakan ini akan mempengaruhi pemikiran mereka, yang di kemudian hari menjadi pendiri Budi Utomo, Indische Partij, konseptor BPUPKI, dan sastrawan Pujangga Baru.

Selain melakukan kegiatan kebudayaan dalam bentuk ceramah-ceramah, gerakan teosofi juga mengumpulkan dan menerbitkan terjemahan buku sejarah dan budaya asli Jawa, mendirikan perpustakaan, sekolah-sekolah, dan kursus membaca.

Perpustakaan teosofi juga menyumbang munculnya gagasan nasionalisme dalam diri presiden pertama RI Sukarno,” Bapakku seorang teosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tak ada batasnya buat seorang yang miskin.Aku menyelam lama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Disana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku.Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku…” (hal. 79)

Menurut penulis, para tokoh intelektual Indonesia di awal pergerakan ini memiliki ciri gerakan teosofi, yaitu menghargai nilai-nilai asli Jawa, toleransi tinggi terhadap masyarakat majemuk, dan kecenderungan pemikiran yang sekuler.
Setelah gerakan teosofi meredup, yaitu pada tahun 1930-an, para anggotanya berkecimpung dalam gerakan nasionalis untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun pengaruh teosofi yang bersifat pluralisme dan sekuler tampaknya terus melekat.
Buku ini menarik, karena selama ini hampir tidak ada yang membahas bahwa gerakan teosofi memiliki andil dalam membentuk pemikiran para tokoh pergerakan nasional Indonesia. Kita hanya mengetahui bahwa para tokoh pergerakan Indonesia bersifat nasionalis, toleran dan cenderung sekuler, namun tidak mengetahui bahwa sebelumnya terdapat gerakan lain yang memperngaruhi pengalaman dan pemikiran mereka.

Cerita Cinta Enrico

Judul : Cerita Cinta Enrico
Pengarang: Ayu Utami
Penerbit: KPG
Tahun : 2012, Feb.
Tebal : 241 hal

Buku ini tampaknya adalah riwayat hidup pasangan pengarang, sekaligus mungkin penjelasan kepada para pembacanya selama ini, mengapa ia yang selama ini dikenal anti pernikahan, akhirnya toh menikah juga.

Riwayat hidup Prasetya Riska, yang dalam novel ini disebut Enrico – nama yang semula ingin diberikan sang ibu untuknya – dikisahkan secara urut, dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi di Indonesia di masa lahir dan kecilnya, dan terutama menceritakan konflik batin seorang laki-laki antara cinta dan pemujaan dengan kemarahan dan kekecewaan pada sang ibu.

Seperti menegaskan teori Freud, dikisahkan bagaimana pengaruh ibu Enrico demikian kuat mempengaruhi jiwanya. Enrico memuja ibunya, yang periang, cerdas dan modern – dalam novel digambarkan dengan bekerja di kantor, mengenakan rok dan sepatu pantovel yang gagah, di saat masih jarang terdapat perempuan bekerja - sampai kemudian kakaknya meninggal dan ibunya yang terlalu sedih kemudian berubah, menjadi penganut aliran Yehova yang fanatik, kehilangan kepribadiannya semula yang menyenangkan, dan berubah sikap kepadanya. Perubahan sifat ibunya karena agama, membuat Enrico membenci agama, berusaha mencari kebebasan jauh dari keluarga, dan tidak ingin terikat. Ia tidak mau menikah, memiliki anak, bekerja di suatu lembaga, atau memiliki anak buah, dan memilih menjadi fotografer lepas. Sampai suatu saat, yaitu ketika kedua orang tuanya telah tiada, ia merasakan kebebasan yang dimilikinya tiada artinya lagi, karena tidak ada siapapun yang dimilikinya.. Saat itulah ia bertemu kekasihnya…sang penulis novel - yang mengingatkannya pada ibunya - yang datang kepadanya begitu saja, seolah ada yang mengirimkannya…

Sangat sederhana. Seperti sebuah kebetulan. Seperti sebuah novel. Bagaimana mungkin dua orang yang sama-sama menghindari ikatan tiba-tiba bertemu begitu saja pada saat yang tepat? Apakah hidup umumnya memang seperti sebuah novel, berisi banyak kebetulan, namun tidak kita sadari? Apakah langkanya suatu kebetulan yang menyenangkan, membuat kehidupan sebagian besar dari kita membosankan atau mengecewakan?
Yang membuat saya teringat tulisan Milan Kundera,”Kehidupan sehari-hari kita dipenuhi dengan kebetulan-kebetulan, atau lebih tepatnya, dengan pertemuan tak disengaja dengan orang lain serta peristiwa-peristiwa yang terjadi kebetulan lainnya yang kita sebut coincidence…dipandu oleh rasa keindahannya, seseorang akan mentransformasikan sebuah kejadian kebetulan menjadi sebuah motif, yang kemudian mengambil tempat permanen dalam kehidupannya. ...Tanpa disadari, seseorang akan menyusun hidupnya mengikuti hukum-hukum keindahan walau dalam keadaan yang paling menyusahkan sekalipun.”