Monday, March 05, 2012

Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia


Judul : Teosofi, Nasionalisme dan Elite Modern Indonesia
Pengarang: Iskandar P. Nugraha
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun : 2011, Nov. (Cetakan II)
Tebal : 210 hal

Sejarah nasionalisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peranan gerakan teosofi, demikian pula azas pluralisme yang menjadi dasar masyarakat plural Indonesia modern.
Demikian inti dari buku ini, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 2001.

Teosofi adalah aliran pemikiran yang berusaha menggabungkan budaya Barat dan Timur. Gerakan ini didirikan oleh Helen Petrovina Bavatsky di New York pada tahun 1875, sebagai reaksi atas materialism dan ateisme. Tujuan gerakan ini adalah untuk memperbaiki rakyat melalui cara batin, dengan membentuk persaudaraan universal tanpa membedakan ras, agama, jenis kelamin, kasta maupun warna kulit dan mempelajari perbandingan agama, filsafat, serta menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan.

Selanjutnya di bawah kepemimpinan Annie Besant pada tahun 1895, gerakan teosofi mulai berkembang ke seluruh dunia termasuk Hindia Belanda dan dibentuk pula organisasi lainnya untuk mendukung gerakan ini, antara lain Perkumpulan Freemansory, Moeslim Bond dan Gereja Katolik Bebas.

Di Indonesia gerakan ini mulai berdiri pada tahun 1883 di Pekalongan, dipimpin seorang bangsawan Eropa, kemudian menyebar ke Surabaya (1903), Yogyakarta (1904) dan Surakarta (1905), dengan anggota terdiri dari orang Belanda, bumiputra terutama Jawa, dan Tionghoa. Jumlah anggota paling banyak terjadi pada tahun 1928, yaitu 1.589 orang.

Gerakan teosofi di Indonesia berkembang saat Belanda baru menjalankan Politik Etis, yaitu usaha membayar “hutang” kepada bangsa yang dijajah dengan menyelenggarakan perbaikan ekonomi dan sosial budaya. Banyak diantara mereka yang mendukung perbaikan sosial budaya atau Politik Asosiasi merupakan anggota teosofi, sehingga gerakan tersebut cenderung menjadi tempat mewujudkan cita-cita asosiasi mereka.

Di lain pihak, sifat gerakan teosofi yang menjunjung persamaan meskipun berbeda bangsa atau keyakinan dan menghargai budaya bangsa yang dijajah menarik minat kaum bumiputra yang saat itu sedang belajar di sekolah kedokteran dan hukum untuk menjadi anggota. Kelak pendidikan dan gagasan-gagasan yang diperoleh selama bergabung dalam gerakan ini akan mempengaruhi pemikiran mereka, yang di kemudian hari menjadi pendiri Budi Utomo, Indische Partij, konseptor BPUPKI, dan sastrawan Pujangga Baru.

Selain melakukan kegiatan kebudayaan dalam bentuk ceramah-ceramah, gerakan teosofi juga mengumpulkan dan menerbitkan terjemahan buku sejarah dan budaya asli Jawa, mendirikan perpustakaan, sekolah-sekolah, dan kursus membaca.

Perpustakaan teosofi juga menyumbang munculnya gagasan nasionalisme dalam diri presiden pertama RI Sukarno,” Bapakku seorang teosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tak ada batasnya buat seorang yang miskin.Aku menyelam lama sekali ke dalam dunia kebatinan ini. Disana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku.Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku…” (hal. 79)

Menurut penulis, para tokoh intelektual Indonesia di awal pergerakan ini memiliki ciri gerakan teosofi, yaitu menghargai nilai-nilai asli Jawa, toleransi tinggi terhadap masyarakat majemuk, dan kecenderungan pemikiran yang sekuler.
Setelah gerakan teosofi meredup, yaitu pada tahun 1930-an, para anggotanya berkecimpung dalam gerakan nasionalis untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun pengaruh teosofi yang bersifat pluralisme dan sekuler tampaknya terus melekat.
Buku ini menarik, karena selama ini hampir tidak ada yang membahas bahwa gerakan teosofi memiliki andil dalam membentuk pemikiran para tokoh pergerakan nasional Indonesia. Kita hanya mengetahui bahwa para tokoh pergerakan Indonesia bersifat nasionalis, toleran dan cenderung sekuler, namun tidak mengetahui bahwa sebelumnya terdapat gerakan lain yang memperngaruhi pengalaman dan pemikiran mereka.

No comments: