Friday, December 30, 2011

The Shallows

   Judul   The Shallows – Internet Mendangkalkan
      Cara Berpikir Kita?
    Pengarang:   Nicholas Carr
    Penerjemah: Rudi Atmoko
    Penerbit:      Mizan
    Tahun  :       2011, Juli
    Tebal   :       278 hal


Sebagaimana kini kehidupan modern tidak dapat berjalan dengan baik dan normal tanpa komputer, demikian pula semakin lama manusia modern semakin tergantung pada internet. Terutama setelah muncul mesin pencari google, banyak yang merasa tidak perlu lagi membaca buku untuk mendapatkan pengetahuan atau mengingat fakta apapun, karena semua informasi telah terdapat di internet.
Benarkah sikap tersebut? Apakah dengan memindahkan memori ke perangkat eksternal (internet) kita tetap dapat berpikir secara mendalam dan berurutan? Apakah hal tersebut tidak akan mengubah cara kita berpikir, menulis, bertindak, dan akhirnya kebudayaan? Dapatkah mesin menggantikan memori dan kebijaksanaan manusia untuk memutuskan hal-hal penting?

Merujuk pada hasil penelitian neurosains, bahwa syaraf otak bersifat lentur dan dapat berubah atau menyesuaikan diri, bergantung pada apa yang dialami atau dipelajari, maka penulis berpendapat bahwa penggunaan internet dan ketergantungan kepadanya akan mengubah kemampuan syaraf otak, dan dapat mengarah pada berkurangnya kemampuan berpikir mendalam dan melakukan perenungan..

Selama ratusan tahun, manusia menggunakan buku untuk memperoleh pengetahuan. Buku bersifat linier, terfokus dan mendalam, sehingga pembaca memiliki kesempatan untuk merenung dan mengendapkan pengetahuan yang didapatnya. Hal ini selanjutnya mempengaruhi pengetahuan yang diperoleh, pemikiran dan tulisan yang dihasilkan, yang tercermin dalam budaya. Sebaliknya, pengetahuan atau informasi yang didapat dari internet berupa potongan-potongan, dan link-link yang ada dalam suatu artikel atau buku memecah fokus pembaca sehingga tulisan tersebut tidak dapat diserap dengan baik bahkan sulit diselesaikan. Hal ini karena selain link, terdapat sms, email, rss dan lain sebagainya yang setiap saat muncul untuk memecah perhatian seseorang saat membaca.  Semua ini menyebabkan mereka akhirnya hanya bersedia membaca sedikit-sedikit karena terus berpindah-pindah situs, sehingga informasi yang diperoleh bersifat permukaan.

Selanjutnya kebiasaan ini akan membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk membaca buku secara mendalam dan melakukan perenungan, sehingga tulisan yang dihasilkan pun pendek-pendek dan tidak mendalam atau dangkal. Dan karena syaraf otak bersifat lentur atau plastis, maka hal itu dalam jangka panjang akan mempengaruhi cara bekerja otak. Ada banyak hal yang akan hilang, yang selama ini dimiliki oleh otak karena cara kita belajar yang terfokus dan mendalam dengan buku-buku. Menurut Carr, mesin akan menumpulkan persepsi halus, pemikiran dan emosi.

Semua hal di atas dijelaskan penulis dengan menceritakan penemuan plastisitas otak dari neurosains, kisah tokoh-tokoh yang hasil tulisannya dipengaruhi oleh alat yang digunakan, pendapat pro kontra yang muncul ketika pertama kali jam, kompas, tulisan dan mesin cetak ditemukan, dan bagaimana hal itu kemudian mengubah kebudayaan dan sejarah, namun memperlebar jarak manusia dengan alam dan mengurangi beberapa kemampuan alaminya.  Ia berpendapat bahwa internet saat in dengan cita-cita akhirnya untuk sampai kepada kecerdasan buatan mungkin sama dengan saat terjadinya penemuan hal-hal di atas pada masa lalu: saat ketika manusia di persimpangan jalan yang akan menentukan arah sejarah di masa depan. 
Namun Carr berpendapat bahwa cara bekerja otak sangat berbeda dengan komputer sehingga ia tidak percaya manusia dapat menciptakan kecerdasan buatan. Mungkin demikian untuk saat ini, namun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan yang jauh.

Buku ini seperti sebuah peringatan agar pembaca tidak mengikuti begitu saja arus teknologi yang ada di sekitarnya – agar tidak diperbudak mesin, dan dapat memilih mana yang bermanfaat dan perlu, karena kita tidak dapat menghindarkan diri sama sekali dari perkembangan teknologi – serta hal-hal baik apa dari masa lalu yang perlu kita pertahankan,  misalnya membaca buku yang dicetak.

Bukankah sudah menjadi pemandangan sehari-hari kita melihat orang-orang di sekeliling kita tidak pernah melepaskan tangannya sedetikpun dari telepon genggam dan setiap beberapa detik pandangan matanya terarah ke telepon genggamnya di manapun dan dalam kesempatan apapun, bahkan ketika sedang membahas hal penting dengan orang lain?  Memang tampaknya sekali kita menggunakan suatu teknologi, kita tak dapat lagi hidup tanpanya.   

Tuesday, December 20, 2011

Adonis


Judul   :        Adonis - Gairah Membunuh Tuhan Cendekiawan Arab Islam
Pengarang:  Zacky Chairul Umam
Penerbit:      Kepik, Depok
Tahun  :       2011, Agustus
Tebal   :       180 hal



Selama ini citra tentang bangsa Arab tidak dapat dilepaskan dari citra masyarakat yang seluruh kehidupannya diatur oleh agama dengan ketaatan tidak jauh berbeda seperti pada zaman awal kedatangannya, sangat jarang terdengar bahwa dalam bangsa Arab terdapat mereka yang memiliki pikiran atau faham berbeda yang bersifat liberal atau sekuler.  Benarkah?

Adonis, penyair Suriah yang bernama asli Ali Ahmad Said Asbar, adalah sedikit dari intelektual Arab yang memiliki pandangan sekuler. Sebagai penyair, melalui puisi ia melakukan kritik terhadap sastra dan seluruh budaya Arab yang menurutnya terlalu terikat pada agama sehingga membekukan dan melumpuhkan daya kreativitas dan pemikiran masyarakat Arab.

Berbeda dengan Edward Said, yang dalam bukunya Orientalism menilai bangsa Barat tidak adil, rasis dan imperialistis karena selalu menilai bangsa Arab khususnya sebagai bangsa yang statis, irasional, anti modernitas, kejam dan hal itu antara lain karena kolonialisme, Adonis justru melakukan kritik agar bangsa Arab mau berubah, dengan mengakui semua kelemahan tersebut sebagai kesalahan dan tanggung jawab sendiri, karena penyebabnya adalah konservatisme agama dan penindasan keragaman berpendapat selama berabad-abad oleh penguasa yang selama ini selalu beraliran konservatif.

Uraian Chaerul Umam dalam buku ini merupakan pengantar untuk memahami pokok pikiran Adonis, yang memiliki pengaruh besar terhadap pemikiran liberal  di Arab, sehingga dapat membantu kita memahami gerakan yang terjadi disana akhir-akhir ini.

Adonis berpendapat bahwa bangsa Arab mengalami kemunduran karena agama menguasai seluruh kehidupan dan waktu  Kehidupan sosial, politik, budaya dan pengetahuan yang harus selalu meneguhkan kebenaran Quran dan hadits, membuat bangsa Arab tidak kreatif dan hanya melakukan peniruan, yaitu selalu merefer ke masa lalu, sehingga setiap tindakan di masa kini selalu meniru tindakan Nabi di masa lalu, dan masa kini serta masa depan selalu dianggap lebih buruk dari masa lalu (zaman nabi). Kitab suci juga dianggap telah berisi semua pengetahuan, sehingga ilmu pengetahuan harus selalu sesuai dengan yang tertulis dan yang tidak sesuai harus ditolak. Dengan demikian pencarian pengetahuan tidak terbuka kepada penemuan-penemuan baru, karena segala hal sudah diketahui dan tertulis di kitab suci. Masa lalu melingkupi masa kini dan masa depan.
Sebagaimana ditulis oleh Umam,”wahyu diletakkan oleh bangsa Arab-muslim sebagai dasar bagi pergerakan waktu dan sejarah. Wahyu…sebagai gambaran zaman secara keseluruhan: kemarin, sekarang, dan esok. …Masa depan tidak bisa menjadi titik perubahan, melainkan sesuatu yang telah tertata secara absolute menurut wahyu,” sehingga “manusia tidak menyingkapkan apapun, tetapi mempelajari penyingkapan ketuhanan.” (hal 41).

Hal ini mengakibatkan bangsa Arab statis, tertutup, ditambah perasaan superioritas suku tertentu yang bersifat rasis terhadap suku lain di Arab, membuat pemerintahan negara-negara di kawasan tersebut bersifat despotik.
Untuk mengubah kondisi tersebut, penyair dapat berperan besar, dengan melakukan perubahan atau pembebasan puisi, yang akan mempengaruhi bahasa dan cara berpikir.   

Selama ratusan tahun puisi dan sastra hanya ditujukan untuk menegaskan kebenaran agama, dan aliran-aliran lain yang berbeda ditindas oleh penguasa. Padahal, cara pandang sastra dengan agama berbeda, misalnya tentang waktu. Agama telah meramalkan dan mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan, sementara dalam sastra masa depan adalah “semesta kemungkinan”, sesuatu yang baru.
Oleh karena itu untuk membebaskan bangsa Arab dari penindasan agama dan penguasa despotik, puisi harus diubah dahulu, karena bahasa mempengaruhi cara berpikir dan pikiran akan mempengaruhi tindakan. Perubahan dalam puisi dan bahasa selanjutnya akan mengubah bidang-bidang lainnya.

Oleh karena wahyu melingkupi segalanya, maka menurut Adonis bentuk modernitas yang pertama dalam Islam adalah kritisisme terhadap wahyu, dengan mengeliminasi agama dari masyarakat dan mengokohkan akal. Modernitas sama dengan sekularisme dan rasionalisme absolut, yaitu satu-satunya jalan mewujudkan keadilan sosial, persamaan dan kemajuan. Ia menunjuk pada pemikiran rasionalis Ibnu ar-Rawandi dan ar-Razi, yang menolak wahyu dan kenabian, serta menggantinya  dengan akal, rasionalisme dan menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran.   

Mengenai kebudayaan Arab, menurut Adonis tadinya terdiri dari yang mapan dan yang berubah, namun sejak abad ke sebelas, Al Ghazali membuat masyarakat Arab meninggalkan rasionalisme dengan pandangannya yang sangat konservatif, dan Islam menjadi absolut sebagai awal peradaban sekaligus peradaban final (hal.78) sehingga sejak saat itu agama menentukan dan mengatur seluruh bidang kehidupan dengan ketat, yang berlangsung hingga kini.
Penulis juga menguraikan ciri-ciri mazhab konservatif ini yang bersifat fundamentalis dan dapat kita temukan persamaannya dengan aliran-aliran sejenis yang kini marak di Indonesia.

Bagi pihak Barat, Adonis menjadi sumber informasi penting untuk memahami bangsa Arab dan Islam, karena dia dianggap lebih memahami jiwa bangsanya. Dalam suatu wawancara dengan Asia Time Online pada tahun 2007 ia menyatakan,

Islam destroys the creative capacity of the Arabs, who in turn do not have the capacity to become modern. .. Nothing less than the transformation of Islam from a state religion to a personal religion is required for the Arabs to enter the modern world. … the preconditions for democracy do not exist in Arab society, and cannot exist unless religion is re-examined in a new and accurate way, and unless religion becomes a personal and spiritual experience, which must be respected.The trouble, is that Arabs do not want to be free.…because being free is a great burden.“
Bagi Indonesia, kritik Adonis terhadap bangsa Arab seharusnya menjadi bahan untuk bersikap kritis terhadap segala sesuatu yang berasal dari sana, karena banyak pihak yang tidak lagi dapat  membedakan antara agama Islam dan karakter serta budaya Arab, atau menyamakan agama Islam dengan konservatisme ala Arab di atas, sehingga menerima seluruh doktrin yang berasal dari sana begitu saja dengan mengabaikan karakter dan budaya sendiri bahkan rasionalitas.

Beberapa karya Adonis, yang kini berusia 81 tahun, telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, antara lain buku puisi “Nyanyian Mihyar di Damaskus”. Ia mendapat  Goethe award dari Jerman pada tahun 2011 sebagai pembawa modernitas Eropa ke lingkaran Arab dan disebut sebagai penyair Arab terpenting saat ini, ia juga sempat disebut-sebut  sebagai calon pemenang Nobel sastra tahun 2011, namun belum terpilih.
Dari kritik Adonis terlihat bahwa konservatisme agamalah yang menjadi penyebab utama kemunduran bangsa Arab. Namun, hal inilah yang kini tampaknya justru hendak diikuti oleh penganut Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia

Escape From Evil

Judul : Escape from Evil
Pengarang: Ernest Becker
Penerbit: Free Press
Tahun : 1976
Tebal : 170 hal



Melanjutkan dua buku sebelumnya, Escape from Evil dengan berdasarkan antropologi dan psikoanalisa, berupaya untuk menjelaskan bahwa segala aktivitas manusia dimotivasi oleh penyangkalan akan kematian, dan hal tersebut mempengaruhi cara manusia memaknai hidupnya.

Buku dibagi dalam beberapa bagian.Bagian pertama tentang dunia primitif, berikutnya tentang asal mula dan evolusi ketidak-samaan derajat dalam masyarakat (inequality), kemudian kekuatan dan ideologi imortalitas. Bab selanjutnya tentang asal mula kejahatan (evil), yang dibahas dalam dua bab yaitu dinamika dasar dan sifat kejahatan sosial, ditutup dengan pembahasan mengenai teori sosial.

Berdasarkan analisis terhadap karya Otto Rank dan Brown, penulis menguraikan bahwa masyarakat primitif menggunakan ritual sebagai alat untuk mengendalikan dunia dan kehidupan. Dengan upacara dan ritual yang dilakukan bersama-sama, setiap individu merasa memiliki arti dan andil dalam mengendalikan kehidupan. Upacara dan ritual bagi masyarakat primitif adalah seperti teknologi bagi manusia modern. Oleh karena itu orang yang berperan dalam upacara yaitu shaman, dukun atau pendeta memiliki kedudukan tinggi. Dalam perkembangannya kemudian, shaman atau pendeta yang bekerja sama dengan pemimpin suku atau raja dapat memiliki kekuasaan terhadap lainnya, karena memiliki kekuatan tersebut.
Penulis mencoba untuk menelusuri asal mula adanya perbedaan kelas dalam masyarakat. Apakah perbedaan tersebut muncul sejak adanya pengakuan atas kepemilikan pribadi, khususnya properti (tanah)? Apakah hanya kepemilikan pribadi yang menyebabkan munculnya inequality? Berdasarkan penelitian, bahkan pada masyarakat pemburu pengumpul telah terdapat inequality, yang disebabkan perbedaan kemampuan pribadi, antara lain pemburu atau prajurit yang lebih baik dari lainnya mendapat status lebih tinggi, sehingga mereka dapat lebih leluasa memilih istri yang dikehendaki. Demikian pula ketika shaman/ pendeta dapat meyakinkan lainnya bahwa ia memiliki kemampuan menjaga kelangsungan kehidupan, misalnya dengan melakukan upacara untuk menolak bala, memenangkan perang, menghitung waktu tanam, meramalkan gerhana, maka ia mendapat kepercayaan yang tinggi sehingga statusnya meningkat dan masyarakat bersedia memberikan persembahan agar kehidupan dan kemakmuran mereka juga terpelihara.

Pemberian mereka kemudian digunakan untuk upacara atau didistribusikan kembali untuk kepentingan bersama. Namun dalam perkembangannya, pendeta bersama ketua suku atau raja dapat mengambil lebih banyak daripada yang mereka berikan kembali dan semakin berkuasa, sehingga dapat memaksa rakyat melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Demikianlah asal mulanya perbedaan kelas dalam masyarakat dan kekuasaan memaksa yang muncul dari raja bersama pendeta atau negara.
Mengapa rakyat bersedia menyerahkan diri kepada penguasa? Menurut penulis, hal ini karena pada dasarnya manusia mendambakan imortalitas, atau keabadian. Agama berhasil menarik minat manusia karena menjanjikan imortalitas. Namun bagi sebagian pihak, dewa atau tuhan yang tak tampak kurang menarik. Bagi mereka, imortalitas dapat dicapai melalui karya yang abadi, anak, monumen, atau akumulasi kekayaan yang ditinggalkan kepada penerus. Dengan demikian uang menjadi dewa baru, karena menjanjikan imortalitas dalam bentuk lain. Dalam masyarakat primitif ritual dan upacara kolektif yang dilakukan seluruh anggota suku merupakan upaya menjaga kelangsungan hidup suku tersebut: agar binatang buruan atau hasil panen tetap banyak, keberadaan anggota suku tetap eksis, perang dapat dimenangkan. Namun ketika upacara dan ritual tidak menjamin hal-hal tersebut dan hal tersebut dapat dijamin dengan adanya uang, maka suku primitif pun akan beralih menjadi mengutamakan uang.

Nilai uang pertama-tama adalah sebagai pemberi kehidupan, oleh karena itu maka pada mulanya yang digunakan sebagai uang adalah kerang cowrie dari Laut Merah, yang dianggap jimat pencegah bahaya kematian. Kemudian orang Mesir menggunakan kerang ini untuk pola membuat uang dari bahan-bahan lainnya, sampai mereka menemukan bahwa emas merupakan bahan yang paling baik, dan bentuk koin yang bulat melambangkan matahari, pemberi kehidupan.

Masyarakat primitif dengan ritual dan persembahan rutinnya kepada alam merasa memperbaharui dunia dan dengan demikian terbebaskan dari rasa bersalah, namun manusia modern hanya menumpuk hasil, sehingga timbul rasa bersalah, yang ditekan ke bawah sadar.

Menurut Becker, semakin tinggi kesadaran manusia akan kefanaannya, semakin tinggi hasratnya untuk mengingkarinya. Kefanaan dekat dengan sisi alami, kebinatangannya, oleh karena itu semakin besar kekuasaannya, semakin jauh ia mengambil jarak terhadap binatang.

Selanjutnya penulis menjelaskan bahwa pemujaan terhadap pahlawan merupakan katarsis akan ketakutan kita sendiri.
Becker menegaskan bahwa, kejahatan (evil) muncul dari keinginan manusia untuk menang secara heroik dari kejahatan, namun kejahatan terbesar adalah, ia tak dapat menjamin arti hidupnya sesungguhnya, artinya bagi alam semesta.
Imortalitas sebagai motif utama manusia merupakan asal mula segala kejahatan. Kemegahan, persaingan ketat para raja, kekayaan, yang merupakan asal mula peperangan, perbudakan dan kesengsaraan manusia dapat ditelusur dari motif dasar ini: keinginan untuk menjauhkan diri dan menyangkal kefanaan tubuh serta mendapatkan imortalitas.

Becker, yang berusaha membangun ilmu tentang manusia, berpendapat bahwa pemahaman akan masyarakat dan manusia hanya bisa dicapai apabila kita memahami motif dasar ini dan menyeimbangkannya.

Meskipun ditulis lebih seperempat abad lalu, buku ini masih memberikan banyak hal untuk memahami kondisi masyarakat di masa kini serta menyenangkan untuk dibaca; setiap kalimat mengungkapkan hal yang baru dan ditulis dengan jelas dan jernih. Namun untuk memahami tulisannya, lebih baik apabila pembaca telah memiliki dasar-dasar ilmu sosial dan filsafat.
Ernest Becker (1924-1974) adalah antropolog dan psikolog sosial pemenang Pulitzer Prize untuk buku The Denial of Death.