Monday, July 25, 2011

Candik Ala 1965



Judul : Candik Ala 1965 – sebuah novel
Pengarang : Tinuk R. Yampolsky
Penerbit : Katakita
Tahun : Juni 2011
Tebal : 222 hal

Banyak sudah ditulis tentang peristiwa pemberontakan di tahun 1965, baik berupa sejarah, novel, cerita pendek, puisi hingga kisah nyata. Diantara kita sendiri mungkin ada yang pernah merasakan dampak peristiwa tersebut, misalnya mendengar ada sanak saudara atau kenalan orang tua yang sempat dikucilkan dari pergaulan, dipenjara atau hilang, mendapat bantuan tenaga kerja dari ”tapol”, atau dahulu ketika melamar kerja di lembaga negara harus menjalani screening dan menjawab pertanyaan mengenai sikap terhadap peristiwa tersebut.

Sebagaimana terlihat dari judulnya, maka Candik Ala adalah kisah tentang trauma sebuah keluarga Jawa di Solo terhadap peristiwa 1965, yang kemudian berlanjut menjadi trauma terhadap segala hal yang bersifat politis. Namun meskipun disebutkan sebagai novel, sebenarnya buku ini lebih mirip kenangan penulisnya akan peristiwa-peristiwa di masa kecil hingga dewasa, yang diawali pada pertengahan 1960-an. Nik, tokoh utama dalam novel ini, digambarkan masih kecil ketika peristiwa pemberontakan 1965 terjadi, namun turut merasakan ketegangan zaman itu karena salah seorang kakaknya menjadi aktivis gerakan kiri, sehingga untuk menyembunyikan diri sang kakak pulang ke rumah orang tua, meskipun akhirnya juga harus pergi lebih jauh lagi ke Sumatera. Tidak hanya itu, ia juga melihat para tetangganya menghilang karena ditangkap, dan ibunya yang kepala sekolah membawa salah seorang muridnya untuk tinggal di rumah karena kedua orangtuanya juga ditangkap.
Peristiwa yang dialami orang tua Nik dengan kakaknya membuat mereka melarang Nik mengikuti kegiatan menari Jawa yang diminta suatu partai untuk menarik massa, meskipun hal itu terjadi bertahun-tahun kemudian, yaitu ketika Nik telah remaja, dan komunis tidak ada lagi. Larangan ini diberikan ayahnya tanpa penjelasan cukup, dan hingga remaja Nik pun tidak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965. Nik sendiri pada zaman orde baru kemudian aktif di sebuah sanggar, dan sempat bertemu dengan penulis puisi yang kemudian menjadi aktivis buruh yang hilang (Wiji Tukul). Akhir cerita ditutup dengan surat dari sahabat Nik di Amerika, yang menceritakan tentang perkenalannya yang sekejap dengan korban gerakan komunis di Kambodia, dan kunjungan Nik ke rumah salah seorang mantan aktivis Gerwani untuk menelusuri nasib tetangga yang menjadi teman ibunya, yang keduanya hanya berisikan kepedihan.

Sebenarnya apa yang diungkapkan pengarang telah banyak dilakukan penulis lain. Umar Kayam misalnya, pernah menulis cerita yang hampir sama dalam cerpen Bawuk, yaitu kisah sebuah keluarga Jawa yang salah seorang anaknya terlibat gerakan komunis sehingga harus pergi dan bersembunyi jauh dari rumah. Namun demikian, novel ini masih menarik karena ditulis dengan gaya halus seorang perempuan Jawa, sehingga menjadi novel yang lembut namun dapat memunculkan suasana sebuah keluarga Jawa. Berisi kepingan kenangan-kenangan masa 1965, 1970-an dan 1980-an, dan diakhiri dengan kenangan akan masa 1965 kembali: betapa kehancuran bisa menimpa hidup seseorang hanya karena berada pada zaman yang salah.

TERROR AND LIBERALISM





Judul : Terror and Liberalism
Pengarang : Paul Berman
Penerbit : W.W. Norton & Company
Tahun : 2003
Tebal : 214 hal

Ledakan bom yang baru-baru ini terjadi di Norwegia cukup mengejutkan banyak pihak, karena terjadi di sebuah negara penuh kedamaian yang selama ini jauh dari peristiwa teror. Hal ini bahkan sempat membuat harian Kompas (24 Juli 2011) menulis,”Apa yang terjadi di ... menunjukkan, terorisme sama sekali tak terkait dengan ajaran manapun atau tradisi bangsa tertentu di dunia ini. Terorisme adalah ajaran untuk menjadi buta dan tersesat, membunuh siapapun, termasuk akal sehat dan hati nurani, demi mencapai satu tujuan: menebar rasa takut dan kerusakan di muka bumi.”

Benarkah tujuan terorisme hanya menebar rasa takut dan kerusakan? Seolah-olah terorisme hanya sebuah kejahatan tanpa tujuan, tanpa ada ideologi yang mendasarinya. Bukankah penebaran rasa takut tersebut untuk mencapai suatu tujuan? Terorisme merupakan alat untuk mencapai tujuan, karena tujuan yang diinginkan sulit dicapai, sedangkan pelaku ingin tujuannya segera terwujud.

Dalam Terror and Liberalism, Paul Berman mengemukakan bahwa terorisme tidak terjadi baru-baru ini saja, tapi telah menjadi bagian dari sejarah Eropa sejak sebelum perang dunia pertama. Ideologi yang mendasari terorisme adalah semua ideologi yang bersifat totaliter, yaitu fasisme, ekstrim kanan, komunisme, dan terakhir Islamisme. Merujuk pada fasisme dan komunisme tahun 1930 dan 1940-an, gerakan ini bersifat irasional, otoriter, bersifat membunuh dan memobilisasi massa untuk mencapai tujuan yang tidak dapat tercapai. Dengan demikian, terorisme sebenarnya berakar di Eropa, bersumber dari filsafat Jerman dan penyair Romantik. Pemikir dan pelaku terorisme dari gerakan Islam radikal mendapatkan gagasannya dari pertemuannya dengan filsafat dan kehidupan Barat.

Semua ideologi totaliter memiliki ritus dan simbol yang sama, yaitu: crowd chanting en masse, arsitektur monumental, kepercayaan tak tergoyahkan akan suatu doktrin, seragam identik, impuls anti liberal yang terdalam yaitu pemberontakan melawan rasionalitas, pembenaran dengan dalih ’kuasa sejarah’, ’kuasa Tuhan’, atau ’kuasa ras’, dan berdasarkan pada mitos-ur.


Mitos ini menyatakan, terdapat suatu masyarakat yang tadinya baik, yang disebutnya ”people of God”, namun kemudian mendapat pengaruh buruk yang berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, yang merusak masyarakat tersebut. Oleh karena itu masyarakat perlu dibersihkan dari unsur-unsur perusak tersebut dengan membentuk suatu masyarakat baru. Namun sebelum hal itu tercapai, akan terjadi suatu armagedon, yaitu pemusnahan atau pembersihan dari unsur-unsur yang merusak atau pemurnian. Setelah itu akan muncul masyarakat ideal yang murni, yang bebas dari semua kelemahan atau kerusakan sebelumnya dan gagasan-gagasan lain yang akan mengubah tatanan masyarakat tersebut. Maka struktur masyarakat tersebut akan berupa negara satu partai, tanpa oposisi, dan satu pemimpin yang kekuasaannya sangat besar dan dipuja bagaikan dewa. Untuk dapat mencapai hal ini maka diperlukan kepatuhan massa tanpa batas dan penerimaan doktrin secara mutlak. Dengan demikian maka ideologi tersebut bersifat totaliter.

Bagi komunis, people of God adalah kaum proletar di Rusia, bagi fasisme di Italia dan Jerman adalah anak-anak Romawi dan ras Aria, dan bagi ekstrim kanan di Spanyol adalah prajurit Chris the King. Sedangkan yang menjadi perusak di Rusia adalah kaum borjuis dan kulak, di Italia dan Spanyol kaum Freemason dan kosmopolitan, dan di Jerman adalah bangsa Yahudi.
Tujuan dari gerakan komunis adalah Zaman Proletariat dengan masyarakat tanpa buruh yang tereksploitasi, bagi fasisme Italia kebesaran Roma dengan bangkitnya kembali kekaisaran Roma, bagi ekstrim kanan Spanyol bertahtanya Kris Raja dengan nilai-nilai Katolik, dan bagi fasisme Jerman kemurnian biologis ras Aria.
Gerakan totaliter lainnya adalah fasisme Irak dengan gerakan sosialis Baath yang merupakan cabang Pan Arab. Pan Arab sendiri didirikan oleh Satia l Husri berdasarkan studi filosofis yang bersumber pada Fichte dan Romantik Jerman, dan pada tahun 1930-1940 berhubungan dengan axis fasis. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk mengembalikan kejayaan bangsa Arab seperti pada zaman Nabi dan kekhalifahan yang pertama. Setelah berkuasa, Baath melakukan penggantungan orang Yahudi, pembasmian suku Kurdi, perang dengan Iran, dan pembuatan patung Saddam.

Sementara itu tujuan dari gerakan Islam radikal adalah pemurnian masyarakat Muslim di seluruh dunia sebagaimana pada zaman Nabi dan khalifah awal, dengan penerapan hukum sharia dan sistem kekhalifahan, dan dalam jangka panjang pemelukan agama Islam murni oleh seluruh umat manusia.

Untuk membuktikan bahwa gerakan Islam radikal memiliki sifat yang sama dengan gerakan totaliter lainnya, Berman menguraikan pemikiran Sayyid Qutb – pemikir Islam radikal paling berpengaruh – khususnya yang terdapat dalam buku In the Shade of the Quran. Buku ini sebenarnya tafsir Quran, namun ditulis sedemikian rupa sehingga mengarahkan pembacanya untuk meIakukan kekerasan. Membandingkan tulisan Qutb dengan tulisan para pemimpin atau pemikir gerakan totaliter lainnya, penulis menemukan kesamaan diantara mereka: bahwa pemaksaan dengan kekerasan adalah perlu jika ingin mencapai tujuan, dan mengorbankan nyawa sendiri untuk perjuangan gerakan merupakan suatu kehormatan.

Bahwa ekstrim kiri dan kanan memiliki kesamaan yaitu menarik semua orang yang kehilangan harapan atau mengharapkan perubahan besar dengan segera, dijelaskan dalam uraiannya mengenai tingginya daya tarik komunisme di masa lalu di negara-negara yang kini menjadi tempat gerakan Islam radikal, seperti Irak, Mesir, Afghanistan, Yaman Selatan dan Indonesia. Berman tidak menyebut Iran, yang dahulu juga memiliki banyak pengikut gerakan kiri. Sebagaimana ditulis V.S. Naipul dalam Among the Believers, an Islamic Journey ketika menceritakan perjuangan pemuda beraliran komunis yang menjadi pemandunya selama di Teheran saat dilindas oleh revolusi Islam, ”Such emotion, such bravery; and avoidably in Iran, his cause was as simple as his enemy’s. Both sides depended on revealed truth and special readings of historical events; both required absolute faith. And both were fed by the same passion: justice, union, vengeance.”


Namun kita tahu, baik ekstrim kiri maupun kanan bersifat utopis dan lebih sering menimbulkan kesengsaraan dan pertumpahan darah, karena bertentangan dengan sifat dasar manusia (human nature). Hal ini karena gerakan totaliter menghendaki keseragaman berpikir dan berperilaku, memberikan kekuasaan absolut kepada satu atau sekelompok kecil orang, dan berfantasi bahwa pikiran dan perilaku manusia dapat diubah tanpa batas sesuai kehendak penguasa.

Pertanyaannya, mengapa dari masyarakat liberal bisa muncul gerakan totaliter? Masyarakat liberal tidak sepenuhnya sempurna, adanya kelemahan dalam peradaban liberalisme dapat menimbulkan ketidakpuasan pada sejumlah orang yang ingin melakukan perubahan atau perbaikan secara drastis dalam masyarakat dengan cara cepat dan mudah. Sebagaimana ditulis Berman, ”The totalitarian movements arise because of failures in liberal civilization, but they fluorish because of still other failures in liberal civilization, and if they go on fluorishing, it is because of still more failures – one liberal failures after another.”

Meskipun kekerasan sudah sering muncul, bahaya gerakan yang bersifat totaliter seringkali terlewat dari pengamatan, khususnya dari mereka yang sangat liberal, yang berpendapat bahwa setiap tindakan manusia dapat dijelaskan secara rasional. Menunjuk Noam Chomsky yang berpendapat bahwa tindakan terorisme dapat dijelaskan oleh dua hal, yaitu keserakahan akan kekayaan dan kekuasaan dari sejumlah perusahaan raksasa disatu pihak, dan pemberontakan masyarakat yang tidak dapat menerima keserakahan tersebut karena memiliki insting untuk kebebasan - tanpa menyadari bahwa terdapat tujuan yang hendak dicapai dengan tindakan tersebut yang didasari suatu ideologi tertentu - penulis menguraikan bagaimana perang dunia I dan II yang merupakan hasil dari ideologi yang bersifat totaliter kala itu juga tidak banyak disadari bahayanya oleh kaum liberal sebelum peristiwa tersebut terjadi.


Bahkan saat ini, ketika gerakan Islam radikal mengobarkan perang di Sudan, Afganistan, Algeria, Somalia dan Irak (ketika perang Iran-Irak) telah merenggut nyawa jutaan jiwa, dunia seperti belum menyadari bahayanya dan masih menganggap bahwa terorisme memiliki sejumlah alasan yang dapat diterima, atau bukan didasari suatu ideologi tertentu yang bersifat totaliter. Apabila kaum liberal tidak segera menyadari hal ini, bukan tidak mungkin bahaya yang lebih besar akan terjadi dan mereka terlambat menyadarinya seperti ketika perang dunia dahulu.

Inti dari apa yang diuraikan Paul Berman adalah, kita harus mengakui bahwa memerangi terorisme berarti memerangi ideologi yang mendasarinya dan kita harus mempertahankan liberalisme (semangat solidaritas dan pemerintahan sendiri) hingga titik terakhir jika tidak ingin jatuh dalam totalitarianisme. Jalan terakhir adalah seperti peperangan, namun sebelumnya adalah perbaikan kondisi masyarakat: penanaman rasionalisme, toleransi, penegakan hukum, pemahaman sains, perbaikan ekonomi.

Dalam konteks Indonesia, peringatan akan bahaya gerakan ekstrim kiri selama ini telah cukup dinyatakan terutama pada zaman orde baru, antara lain karena ada unsur ateisme, namun tidak untuk sebaliknya. Sebagai contoh, pengetahuan tentang kekejaman komunis di Indonesia dapat ditemukan dengan mudah dari pelajaran sekolah maupun buku-buku, namun hampir tidak ada informasi mengenai teror dan pembunuhan yang dilakukan kaum Padri ketika hendak memurnikan Islam di Sumatera Barat dengan faham Wahabinya.
Adakah yang berani menyatakan perang terhadap bahaya ekstrim kanan seperti yang dilakukan terhadap komunisme? Nyaris tidak ada, karena mengandung unsur agama. Padahal, meskipun tampak bertentangan, keduanya ibarat dua sisi dari mata uang yang sama: bertujuan meniadakan kebebasan manusia untuk suatu utopia dengan menguasai dunia melalui kekerasan.