Tuesday, December 20, 2011

Escape From Evil

Judul : Escape from Evil
Pengarang: Ernest Becker
Penerbit: Free Press
Tahun : 1976
Tebal : 170 hal



Melanjutkan dua buku sebelumnya, Escape from Evil dengan berdasarkan antropologi dan psikoanalisa, berupaya untuk menjelaskan bahwa segala aktivitas manusia dimotivasi oleh penyangkalan akan kematian, dan hal tersebut mempengaruhi cara manusia memaknai hidupnya.

Buku dibagi dalam beberapa bagian.Bagian pertama tentang dunia primitif, berikutnya tentang asal mula dan evolusi ketidak-samaan derajat dalam masyarakat (inequality), kemudian kekuatan dan ideologi imortalitas. Bab selanjutnya tentang asal mula kejahatan (evil), yang dibahas dalam dua bab yaitu dinamika dasar dan sifat kejahatan sosial, ditutup dengan pembahasan mengenai teori sosial.

Berdasarkan analisis terhadap karya Otto Rank dan Brown, penulis menguraikan bahwa masyarakat primitif menggunakan ritual sebagai alat untuk mengendalikan dunia dan kehidupan. Dengan upacara dan ritual yang dilakukan bersama-sama, setiap individu merasa memiliki arti dan andil dalam mengendalikan kehidupan. Upacara dan ritual bagi masyarakat primitif adalah seperti teknologi bagi manusia modern. Oleh karena itu orang yang berperan dalam upacara yaitu shaman, dukun atau pendeta memiliki kedudukan tinggi. Dalam perkembangannya kemudian, shaman atau pendeta yang bekerja sama dengan pemimpin suku atau raja dapat memiliki kekuasaan terhadap lainnya, karena memiliki kekuatan tersebut.
Penulis mencoba untuk menelusuri asal mula adanya perbedaan kelas dalam masyarakat. Apakah perbedaan tersebut muncul sejak adanya pengakuan atas kepemilikan pribadi, khususnya properti (tanah)? Apakah hanya kepemilikan pribadi yang menyebabkan munculnya inequality? Berdasarkan penelitian, bahkan pada masyarakat pemburu pengumpul telah terdapat inequality, yang disebabkan perbedaan kemampuan pribadi, antara lain pemburu atau prajurit yang lebih baik dari lainnya mendapat status lebih tinggi, sehingga mereka dapat lebih leluasa memilih istri yang dikehendaki. Demikian pula ketika shaman/ pendeta dapat meyakinkan lainnya bahwa ia memiliki kemampuan menjaga kelangsungan kehidupan, misalnya dengan melakukan upacara untuk menolak bala, memenangkan perang, menghitung waktu tanam, meramalkan gerhana, maka ia mendapat kepercayaan yang tinggi sehingga statusnya meningkat dan masyarakat bersedia memberikan persembahan agar kehidupan dan kemakmuran mereka juga terpelihara.

Pemberian mereka kemudian digunakan untuk upacara atau didistribusikan kembali untuk kepentingan bersama. Namun dalam perkembangannya, pendeta bersama ketua suku atau raja dapat mengambil lebih banyak daripada yang mereka berikan kembali dan semakin berkuasa, sehingga dapat memaksa rakyat melakukan hal-hal yang mereka inginkan. Demikianlah asal mulanya perbedaan kelas dalam masyarakat dan kekuasaan memaksa yang muncul dari raja bersama pendeta atau negara.
Mengapa rakyat bersedia menyerahkan diri kepada penguasa? Menurut penulis, hal ini karena pada dasarnya manusia mendambakan imortalitas, atau keabadian. Agama berhasil menarik minat manusia karena menjanjikan imortalitas. Namun bagi sebagian pihak, dewa atau tuhan yang tak tampak kurang menarik. Bagi mereka, imortalitas dapat dicapai melalui karya yang abadi, anak, monumen, atau akumulasi kekayaan yang ditinggalkan kepada penerus. Dengan demikian uang menjadi dewa baru, karena menjanjikan imortalitas dalam bentuk lain. Dalam masyarakat primitif ritual dan upacara kolektif yang dilakukan seluruh anggota suku merupakan upaya menjaga kelangsungan hidup suku tersebut: agar binatang buruan atau hasil panen tetap banyak, keberadaan anggota suku tetap eksis, perang dapat dimenangkan. Namun ketika upacara dan ritual tidak menjamin hal-hal tersebut dan hal tersebut dapat dijamin dengan adanya uang, maka suku primitif pun akan beralih menjadi mengutamakan uang.

Nilai uang pertama-tama adalah sebagai pemberi kehidupan, oleh karena itu maka pada mulanya yang digunakan sebagai uang adalah kerang cowrie dari Laut Merah, yang dianggap jimat pencegah bahaya kematian. Kemudian orang Mesir menggunakan kerang ini untuk pola membuat uang dari bahan-bahan lainnya, sampai mereka menemukan bahwa emas merupakan bahan yang paling baik, dan bentuk koin yang bulat melambangkan matahari, pemberi kehidupan.

Masyarakat primitif dengan ritual dan persembahan rutinnya kepada alam merasa memperbaharui dunia dan dengan demikian terbebaskan dari rasa bersalah, namun manusia modern hanya menumpuk hasil, sehingga timbul rasa bersalah, yang ditekan ke bawah sadar.

Menurut Becker, semakin tinggi kesadaran manusia akan kefanaannya, semakin tinggi hasratnya untuk mengingkarinya. Kefanaan dekat dengan sisi alami, kebinatangannya, oleh karena itu semakin besar kekuasaannya, semakin jauh ia mengambil jarak terhadap binatang.

Selanjutnya penulis menjelaskan bahwa pemujaan terhadap pahlawan merupakan katarsis akan ketakutan kita sendiri.
Becker menegaskan bahwa, kejahatan (evil) muncul dari keinginan manusia untuk menang secara heroik dari kejahatan, namun kejahatan terbesar adalah, ia tak dapat menjamin arti hidupnya sesungguhnya, artinya bagi alam semesta.
Imortalitas sebagai motif utama manusia merupakan asal mula segala kejahatan. Kemegahan, persaingan ketat para raja, kekayaan, yang merupakan asal mula peperangan, perbudakan dan kesengsaraan manusia dapat ditelusur dari motif dasar ini: keinginan untuk menjauhkan diri dan menyangkal kefanaan tubuh serta mendapatkan imortalitas.

Becker, yang berusaha membangun ilmu tentang manusia, berpendapat bahwa pemahaman akan masyarakat dan manusia hanya bisa dicapai apabila kita memahami motif dasar ini dan menyeimbangkannya.

Meskipun ditulis lebih seperempat abad lalu, buku ini masih memberikan banyak hal untuk memahami kondisi masyarakat di masa kini serta menyenangkan untuk dibaca; setiap kalimat mengungkapkan hal yang baru dan ditulis dengan jelas dan jernih. Namun untuk memahami tulisannya, lebih baik apabila pembaca telah memiliki dasar-dasar ilmu sosial dan filsafat.
Ernest Becker (1924-1974) adalah antropolog dan psikolog sosial pemenang Pulitzer Prize untuk buku The Denial of Death.

No comments: