Monday, October 10, 2011

MERABA INDONESIA

Judul : Meraba Indonesia – Ekspedisi Gila Keliling Nusantara
Pengarang : Ahmad Yunus
Penerbit : Serambi
Tahun : 2011, Juli
Tebal : 370 hal



Jika membaca surat kabar dan berlibur ke daerah-daerah di luar Jakarta belum cukup untuk membuat anda prihatin dengan kondisi Indonesia, bacalah buku ini, yang nyaris seluruhnya hanya laporan mengenai meratanya kemiskinan akut, korupsi, transportasi laut dan darat yang menyedihkan, kerusakan alam, perampokan kekayaan alam, pengabaian kepentingan rakyat oleh penyelenggara negara, keputus-asaan rakyat yang akhirnya berjuang sendiri untuk mengatasi kesulitan hidup, dan gugatan akan peristiwa tahun 1965.

Membaca buku ini mengingatkan saya pada kisah Redmond O’Hanlon menembus pedalaman Republik Kongo belasan tahun silam: tentang kapal rakyat yang tidak memenuhi syarat keselamatan dan kebersihan, korupsi yang tertanam demikian dalam, penyelenggara negara yang tidak peduli dengan rakyatnya, sumber daya alam yang dirusak dan dijual murah untuk kepentingan segelintir orang. Tidak heran jika ada yang menyamakan Indonesia dengan negara-negara Afrika.

Berbeda dengan buku Tepian Tanah Air yang menceritakan kondisi pulau-pulau terluar Indonesia dengan nada optimis dan gambar-gambar indah, penulis Meraba Indonesia lebih menekankan pada permasalahan yang dihadapi di tiap-tiap daerah yang dikunjunginya. Selain itu, disamping pulau-pulau terluar, penulis, yaitu Ahmad Yunus dan rekannya sesama wartawan Farid Gaban juga menyusuri pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, baik dengan motor maupun mobil. Perjalanan dilakukan berdua pada tahun 2009 selama hampir setahun dengan menggunakan motor bekas.

Buku ini seperti penegasan akan hal-hal buruk yang selama ini telah kita lihat atau rasakan di Indonesia. Misalnya, jika anda sering berlibur ke pulau atau pantai, tentu sering mengalami bahwa tidak ada kapal yang bisa disewa selain kapal nelayan, bahwa liburan selalu membawa sedikit aura kesedihan karena dimana-mana kita akan menemukan rakyat miskin yang hidupnya seperti tersia-sia, bahwa kadang tempat ibadah dibangun terlalu megah dibandingkan kondisi penduduk sekitarnya, atau bahwa alam yang dulu indah kini telah rusak atau direncanakan akan dibuat pertambangan. Uraian Ahmad Yunus naik kapal perintis yang tidak layak dan tidak tentu jadwalnya menegaskan pengalaman kita akan sulitnya menemukan kapal yang layak di Indonesia. Demikian pula pengalamannya bertemu dengan rakyat yang harus bersusah payah mencari nafkah dengan merusak alam atau tubuh mereka sendiri seolah tidak ada penyelenggara negara menegaskan apa yang selama ini telah kita lihat dan rasakan.

Kelemahan dari buku ini ialah tidak adanya peta rinci perjalanan mereka dan foto-foto yang minim serta tidak menarik. CD yang merupakan lampiran dari buku juga tidak menolong, karena sama tidak menariknya; keduanya terlalu sering muncul (dengan latar belakang sebuah ruangan) untuk menguraikan apa yang sudah tertulis di buku, sedangkan pulau-pulau atau wilayah yang mereka kunjungi hanya ditampilkan sekilas dengan sudut pengambilan yang buruk dan tidak lengkap.

Memandang Indonesia memang bisa dari berbagai sisi, tergantung mana yang lebih disukai. Tepian Tanah Air cenderung melihat sisi positif sehingga bernada optimis, Meraba Indonesia cenderung melihat hanya sisi negatif, sampai-sampai pengarang menulis,”Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme khayalan. Dan khayalan bisa saja kabur dan kemudian menghilang dengan khayalan lain. Seperti sayup-sayup dan kemudian senyap ditelan angin dari tepi samudera Pasifik yang bergemuruh.”
Mungkin harus ditulis buku lain yang bisa melihat kedua sisi secara seimbang?

No comments: