Friday, February 12, 2010

SELIMUT DEBU



Judul : Selimut Debu
Pengarang: Agustinus Wibowo
Penerbit: GPU
Tahun : 2010, Januari
Tebal : 468 hal
* * * *

Apa yang membuat seseorang bepergian ke tempat-tempat baru atau membahayakan?
Atau mencintai negeri lain yang alamnya lebih keras atau peradabannya jauh berbeda?
Membaca kisah Agustinus Wibowo menjelajahi Afghanistan dengan berpakaian tradisional Afghan dan menyusuri kota-kota Afghanistan yang sedang dilanda perang selama tiga tahun akan mengingatkan kita pada para penjelajah Barat yang mengunjungi wilayah-wilayah berbahaya yang belum banyak diketahui atau terkenal dengan penduduknya yang tidak ramah dan intoleran, seperti Richard Burton yang menjelajah Arab dan Afrika Utara dengan berpakaian dan berbahasa Arab, atau Thesiger yang menjelajahi Empty Quarter dan merasakan kerasnya hidup suku Badui atau suku Kurdi di Irak.

Agustinus tidak hanya menceritakan kerasnya alam Afghanistan beserta kemiskinan, keterbelakangan dan kefanatikan penduduknya, namun juga sejarah setiap tempat yang dikunjunginya, sehingga menambah pengetahuan pembaca. Kita mendapat banyak pengetahuan mengenai kehidupan di negara yang selama ini hanya kita ketahui sebagai pusat pelatihan teroris, Taliban, perempuan berburqa, dan latar belakang novel The Kite Runner.

Kisah perjalanan Agustinus beserta interaksinya dengan masyarakat Afghanistan yang ditemuinya memberi informasi bagaimana sistem patriarki yang sangat kuat di Afghanistan ditambah dengan kemiskinan dan kebodohan yang merata membuat agama sangat mudah dijadikan pembenaran untuk segala hal, dari penindasan terhadap perempuan sampai penolakan terhadap hal-hal baik yang dapat memajukan kehidupan masyarakat. Hal tersebut ditambah dengan sifat sukuisme yang saling merendahkan satu sama lain dan prinsip kehormatan yang masih kuat dengan unsur balas dendam dan perempuan sebagai barang penentu kehormatan. Di sisi lain, dikurungnya perempuan di rumah membuat hubungan sesama jenis (laki-laki) menjadi lumrah meskipun meraka taat beragama.

Hal yang menggelikan sekaligus menyedihkan adalah ketika Agustinus menceritakan perjalanannya menumpang bus ke Iran dengan berpakaian Afghanistan. Di luar dugaannya, Iran sangat maju dibandingkan Afghanistan, sehingga untuk pertama kali ia merasa sangat malu berpakaian tradisional Afghanistan – yang menurutnya bagai pakaian Aladin, namun menjadikannya percaya diri ketika di Afghanistan karena ia meyukai Afghanistan - apalagi ketika rakyat Iran mengira ia sungguh-sungguh orang Afghanistan dan memperlakukannya dengan buruk, yang menurut Agustinus, seperti perlakuan salah satu negara di Asia Tenggara terhadap negara tetangganya.

Agak menyedihkan juga perbandingan ini, karena membaca kondisi Afghan dari penuturan Agustinus, Indonesia jauh lebih baik dalam segala hal. Di Afghanistan tidak ada listrik, air bersih, makanan yang pantas, rumah dan jalan yang bagus, hujan dan tanaman hijau, kecuali di satu sudut kota Kabul yang baru dibangun oleh Barat. Yang ada hanya debu, rumah lempung coklat tanpa perabot, keledai atau truk tua, dan debu… (mungkin hampir seperti India, yang selalu seperti berkabut dan berdebu?) Tapi nasib Indonesia seperti Afghanistan dibandingkan negeri tetangganya…
Banyak lagi hal-hal menarik yang ditulis, seperti bantuan Barat yang tampak kurang menyentuh rakyat Afghan, sejarah salah satu suku yang berbeda tampilan fisiknya dari suku lainnya, atau adanya sesama penganut Islam yang merasa tertekan dengan fanatisme mayoritas.