Sunday, April 13, 2008

FOOD IN HISTORY



Judul : Food in History
Pengarang : Reay Tannahil
Penerbit : Folio Socety
Tahun : 2007
Tebal : 381 hal.

Buku ini menguraikan tentang sejarah makanan dalam peradaban manusia, dan bagaimana makanan mempengaruhi pembentukan masyarakat, pertumbuhan penduduk dan ekspansi urban, menentukan teori ekonomi dan politik, memperluas wawasan perdagangan, mengilhami perang dan dominion dan mempercepat penemuan dunia baru.
Makanan juga memainkan peranan dalam agama, untuk menentukan keterpisahan antara satu aliran dengan lainnya dalam bentuk tabu makanan; dalam sains, dimana observasi koki prasejarah memberikan dasar terhadap awal mula kimia; dalam teknologi, dimana water milling kincir air kemudian menjadi alat revolusi industri; dalam kesehatan, dimana sebagian besar berdasarkan prinsip pengaturan makanan sampai dengan abad 18, dalam perang, dimana pertempuran ditunda sampai masa penen, dalam pembedaan kelas, yang terlihat dari makanan yang disajikan, dan hubungan antar manusia, antara vegetarian dan pemakan daging..

Uraian dibagi dalam enam bagian, yaitu:
1. Zaman prasejarah
2. Asia, Mesir dan Eropa 3000 SM s.d. 1000M
3. Asia sampai dengan Zaman Pertengahan dan Dunia Arab
4. Eropa 1000 – 1492 M
5. Dunia yang Meluas 1492 – 1789
6. Dunia Modern 1789 sampai Saat Ini

Banyak hal-hal menarik dalam buku ini. Misalnya, mengapa orang India pantang memakan sapi bahkan memujanya? Dilihat dari sejarahnya, pada masa kebudayaan Indus, mereka memakan segala jenis binatang termasuk kerbau. Namun dari peninggalan arkeologi, banyak terdapat gambar sapi pada lempeng yang mungkin digunakan untuk perdagangan, sehingga kemungkinan besar sapi adalah lambang kelompok pendatang yang dalam proses asimilasi dengan kebudayaan India; mungkin pedagang atau gelombang awal bangsa Indo Eropa. Oleh karena tidak semua sapi tidak tahan dengan iklim India, maka sapi harus dilindungi. Selanjutnya kedatangan bangsa Arya yang gemar mengkonsumi daging sapi dan susu membuat perlindungan terhadap sapi semakin diperlukan, sehingga akhirnya dilarang sama sekali atas nama agama.

Lalu darimana muncul prinsip vegetarian? Vegetarian banyak terdapat di India karena berkaitan dengan kepercayaan Budha dan Jain yang mempercayai reinkarnasi, yaitu setiap orang setelah mati akan hidup kembali dalam bentuk bermacam binatang, tergantung karmanya. Dengan demikian binatang dihindari sebagai makanan. Sedangkan agama Hindu membuat penganutnya percaya bahwa memakan makanan yang disiapkan oleh kasta yang lebih rendah akan membuat kasta mereka menurun menjadi sama rendah.
Selanjutnya, mengapa ada tabu memakan babi? Berdasarkan bukti sejarah, sampai dengan tahun 1800 S.M, babi belum merupakan tabu. Namun kemudian datang suku pengembara yang menyapu wilayah Eropa Timur dan Asia Barat sejak tahun 200 S.M. Suku ini terbiasa dengan domba, dan membenci babi karena sulit digembalakan, berstamina rendah dan tidak mampu berada di rumput. Bangsa Indo Eropa ini beserta budayanya turut mempengaruhi penolakan terhadap babi. Selain itu, tabu makanan juga dibuat lebih untuk kepentingan doktrin daripada pola makan, yaitu sebagai lambang ekslusivitas, untuk membedakan diri dari pihak yang tidak sefaham. Termasuk disini larangan akan binatang amfibi, darah dan burung yang tidak bisa terbang.

Tekanan populasi pada sekitar abad ke 5 M menyebabkan bangsa-bangsa barbar (Goth, Vandal.Frank) berusaha mencari wilayah baru untuk ternak mereka, sehingga mereka terus menerus menyerbu wilayah Romawi hingga akhirnya menyerbu Roma. Penyerbuan terhadap kota mengakibatkan meningkatnya populasi yang kembali ke desa, karena ternyata kota menarik penyerbu. Namun penurunan populasi kota turut menurunkan peradaban - karena kota dibentuk oleh penduduknya – hingga akhirnya perekonomian kembali ke sistem barter.

Berdasarkan sejarah juga diketahui bahwa sejak zaman Yunani, ketika terjadi perang Pelopponesian, mereka yang tinggal di kota Athena dapat memperoleh makanan yang memadai, namun di pedesaan petani yang ladangnya hancur mengalami kelangkaan pangan sehingga hanya memakan sayuran, lobak, yang mengakibatkan mereka pergi ke kota mengadu nasib, karena perbaikan pertanian memerlukan waktu tiga empat tahun utnuk mendapatkan hasil memadai. Untuk membantu kaum miskin, maka pemerintah membuat usaha sporadis. Usaha ini terus berlanjut sampai di zaman Romawi.
Sejak 6000 S.M Roma mengalami kekurangan pangan dan kelaparan, namun baru pada tahun 123 S.M, ketika biaya hidup meningkat pada tingkat yang membahayakan, Kaisar Gaius membuat kebijakan bahwa semua penduduk dapat membeli padi dari lumbung/cadangan pemerintah dengan harga lebih rendah dari pasar.
Pada tahun 72 S.M. grain gratis dibagikan kepada empat puluh ribu laki-laki di Roma dan pada dekade-dekade berikutnya jumlah orang yang menerima meningkat, sehingga Julius Caesar merasa hebat ketika bisa memotong jumlahnya hingga menjadi hanya 150 ribu orang. Namun lima puluh tahun kemudian jumlahnya meningkat lagi menjadi 320 ribu atau sepertiga jumlah penduduk dalam sedekah Roma. Makanan ini diimpor dari Mesir, Sisilia dan Afrika Utara.
Di lain pihak, kegemaran akan rempah, yang ketika itu dimonopoli pedagang Arab sampai dengan tahun 100 M – yang menyembunyikan asal-usul daerah penghasil rempah - membuat bangsa Romawi kemudian berlayar sampai ke Malabar, India untuk membeli rempah-rempah. Kelak hal ini juga akan mendorong bangsa Eropa lainnya berlayar jauh ke Asia dan selanjutnya melakukan kolonisasi.

Zaman dahulu menyiapkan makanan sendiri bukanlah hal yang mudah, karena peralatan masih primitif, bahan bakar sulit dan tempat tinggal sempit sehingga tidak ada tempat memadai untuk membuat makanan. Oleh karena itu di zaman Romawi telah ada pihak yang khusus mengolah grain menjadi tepung dan selanjutnya roti, juga toko yang menjual makanan seperti babi panggang, ikan asin, keju, olive, dll. .
Keterbatasan teknologi juga membuat penyediaan makanan bagi pelaut yang harus berlayar berbulan-bulan cukup sulit, yang baru mengalami kemajuan cukup pesat setelah muncul teknologi pengalengan makanan dan pendingin.

Abad 8 dan 9 merupakan masa gelap. Kelangkaan pangan membuat bangsa Skandinavia menyerbu Eropa, menghancurkan gereja,biara,dan merampas hasil panen dan ternak. Sementara di lembah Rhine jamur beracun pada rye (sejenis gandum) mengakibatkan kelaparan selama beberapa tahun, dan di selatan, kedatangan bangsa Arab membawa tanaman yang menghancurkan pertanian. Pada zaman itu, banyaknya kelaparan memunculkan kanibalisme.
Sementara itu, sepanjang sebagian besar sejarah, minuman yang diolah dari tumbuh-tumbuhan merupakan minuman pokok, karena sebelum teknologi cukup maju, air putih rentan terhadap adanya kuman, terutama jika populasi cukup padat.

Selanjutnya perkembangan teknologi membuat kini setiap orang dapat memperoleh makanan apapun pada saat musimnya, dimanapun ia berada. Namun demikian, sebagaimana kita lihat pada masa kini, betapapun majunya teknologi, penyediaan makanan masih merupakan masalah penting dan pokok bagi banyak negara. Masih banyak bangsa yang miskin dan penduduknya sulit memperoleh makanan, harga pangan terasa mahal, pemerintah masih harus memberikan subsidi, dan mengolah makanan merupakan hal sulit karena bahan bakar tidak mudah diperoleh. Ternyata, masalah makanan di zaman kini - bagi negara miskin terutama – masih tidak jauh berbeda dengan di zaman Romawi. Lebih mengerikan lagi, jika diingat bahwa pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia akan menjadi 7,5 miliar, 90%nya akan berada di negara dunia ketiga (negara miskin), dan lebih dari 50% tinggal di kota, yang berarti tuntutan konsumsinya lebih tinggi, sementara lahan pertanian terus menyusut dan terdapat perubahan iklim yang cukup drastis. Maka pangan masih akan terus menjadi masalah utama bagi manusia.

Buku ini cukup menarik, memberikan banyak pengetahuan baru tentang makanan sepanjang sejarah, di berbagai tempat di dunia, termasuk gambaran bagaimana cara memasak dan menu di zaman dulu serta perkembangan tata cara makan.

Terbenamnya Iman - Agama, Teror dan Masa Depan Nalar



Judul : Terbenamnya Iman – Agama, Teror dan Masa Depan Nalar
terjemahan dari The End of Faith
Pengarang : Sam Harris
Penerbit : Abdi Tandur
Tahun : 2007
Tebal : 310 hal


Ini adalah terjemahan buku The End of Faith tahun 2005 yang cukup terkenal itu. Cukup mengejutkan bahwa ada penerbit yang berani menerjemahkan buku ini di Indonesia, meski saya tidak menemukannya di toko-toko buku besar.

Seperti buku The God Delusion dari Richard Dawkins dan God Is Not Great dari Christopher Hitchins, Harris juga mengkritik agama.
Di bagian awal, Harris menguraikan mengapa agama Kristen harus ditolak, dengan menguraikan rincian kejahatan inkuisisi yang berlangsung pada zaman pertengahan sampai awal abad 19 hingga pembantaian kaum Yahudi oleh Nazi, serta teks Injil yang mendukung semua kejahatan tersebut.
Pada bagian berikutnya, dengan mengutip teks Qur’an sebanyak 3 halaman Harris menguraikan mengapa agama Islam tidak dapat ditolerir karena mendukung kekerasan, anti toleransi dan mempunyai tujuan akhir menaklukkan dan menguasai dunia – jika perlu dengan kekerasan.
Berdasarkan hal di atas, dan perkembangan teknologi senjata masa kini, Harris berkesimpulan bahwa sudah waktunya kita menghentikan sekat-sekat berdasarkan agama atau penghormatan yang berlebihan terhadap agama, karena jika teknologi senjata mutakhir dikuasai oleh kaum fundamentalis yang ingin menguasai dunia, maka hancurlah dunia ini, tidak hanya secara fisik, tapi juga budaya – sains dan demokrasi – karena kaum fundamentalis (Islam) adalah seperti agamawan Kristen pada abad kegelapan (zaman pertengahan).
Bagi Harris, tidak ada yang namanya penganut agama moderat. Yang ada adalah mereka yang patuh pada agamanya (berarti fundamentalis), atau mereka yang tidak konsisten karena hanya mengambil sebagian saja dari perintah (yang tertulis dalam kitab suci) agamanya (kaum moderat) dan tidak mempedulikan/mengabaikan hal-hal yang mengerikan yang sesungguhnya ada dalam setiap agama. Baginya tidak ada jalan tengah.

Memang, sejak peristiwa 9 September 2001, timbul kesadaran baru akan bahaya fundamentalisme agama sehingga memunculkan buku-buku yang mencoba menyadarkan masyarakat dunia akan bahaya tersebut, dan menolak semua agama. Buku ini salah satunya. Namun jika sasaran buku Dawkins adalah penyadaran kepada individu untuk bersikap kritis dan menolak semua hal yang tidak rasional dengan penekanan kepada pemahaman akan sains, dan Hitchins penolakan terhadap semua agama formal termasuk Budha dan Hindu, Harris lebih menekankan uraiannya kepada bahaya yang akan timbul apabila agama menguasai suatu negara atau dunia, sehingga ia masih menganggap meditasi atau pengalaman sejenis yang bersifat spiritual – asal tidak berkaitan dengan agama formal tertentu – tidak bertentangan dengan rasionalitas, selama hal itu membahagiakan pelakunya.

Terjemahan buku ini lumayan cepat, hanya dua tahun setelah buku aslinya. Sayangnya penerjemahannya masih agak kaku, sehingga agak kurang enak dibaca, dan tidak mudah ditemukan di toko buku atau toko online. Meskipun demikian, ini merupakan usaha yang patut dihargai, mengingat jarangnya buku sejenis ini diterbitkan di Indonesia. Saya menemukan buku ini terselip di toko buku berbahasa Inggris/Jepang, Kinokuniya Plaza Indonesia.