Sunday, March 16, 2008

RELIGION EXPLAINED - The Evolutionary Origins



Judul : Religion Explained – The Evolutionary Origins of Religious Thought
Pengarang : Pascal Boyer
Penerbit : Basic Books, NY
Tahun : 2001
Tebal : 330 hal

Berdasarkan penelitian antropologi, setiap kebudayaan memiliki agama atau yang dapat disamakan dengan itu. Namun, mengapa manusia pada umumnya beragama? Adakah jawaban tunggal untuk pertanyaan tersebut?

Banyak jawaban telah diberikan untuk menjawab pertanyaan di atas, yang populer antara lain ialah karena rasa takut, untuk mendapatkan perlindungan, arti atau tujuan hidup dan lain-lain. Namun menurut penulis, tidak ada satu jawaban tunggal untuk itu. Mengapa agama muncul dan mudah diserap manusia hanya dapat diketahui jika kita memahami cara bekerja pikiran, yang dibentuk oleh jutaan tahun evolusi, yang mempengaruhi bagaimana otak bekerja.

Menurut Boyer, antropologi dan psikologi menunjukkan mengapa kepercayaan adalah sesuatu yang naif. Beberapa konsep berkaitan dengan system inferens di otak yang membuat mengingat kembali dan komunikasi sangat mudah, memiliki hubungan dengan pikiran atau jiwa sosial kita, ditampilkan dengan cara yang menyenangkan, dan mengarahkan perilaku. Agama memiliki semua sifat di atas sehingga sangat sukses, karena mengkombinasikan fitur-fitur yang relevan untuk bermacam sistem mental. Jadi, untuk memahami agama kita harus terlebih dulu mengetahui mengenai konsep agama.
Konsep kultural adalah obyek seleksi konstan dalam pikiran, mengalami akuisisi dan komunikasi. Agama atau konsep yang kita temui berkembang berkembang/ menyebar pada banyak kebudayaan berbeda pada waktu berbeda mungkin memiliki sejumlah keuntungan transmisi, relatif terhadap beberapa disposisi mental yang berbeda.

Pikiran tidak pernah menelan informasi secara mentah, tapi selalu melakukan sesuatu terhadap info yang diterima karena pikiran bukanlah kontainer kosong, tapi punya disposisi tertentu, bisa belajar dari sedikit informasi. Sebagai contoh, seorang anak yang mengetahui bahwa seekor ayam bertelur dapat mengambil kesimpulan bahwa semua ayam juga bertelur, meskipun hal terakhir tidak diinformasikan kepadanya. Dalam hal ini ia telah membuat inferens berdasarkan sedikit informasi (dari fakta mengenai satu ayam). Disini anak menciptakan konsep ayam menggunakan template binatang.
Informasi di atas kita peroleh dengan cara berbeda-beda, dari situasi dan pernyataan yang dibuat orang lain dengan cara yang berbeda. Kita sampai pada inferens yang sama karena template binatang adalah sama pada setiap anak, saya dan orang lain, juga meski info yang diterima berbeda.

Demikian pula dalam hal agama, ada template untuk konsep agama. Agama adalah kultural, yaitu orang mendapatkannya dari orang lain, seperti halnya referensi akan makanan, selera musik, pakaian dll. Karena itu, variasinya juga tidak banyak.

Untuk menjelaskan seperti apa konsep supernatural, penulis menerangkan mengenai cara kita mempelajari konsep baru. Penulis memberi contoh, misalnya ada informasi bahwa zygoon adalah pemakan hyena. Berdasarkan informasi ini maka otak menggolongkannya dalam ontological entry : binatang. Dengan memasukkannya dalam ontological binatang, maka diketahui fitur yang dimiliki, antara lain: tumbuh dan berkembang, berbentuk tertentu, memerlukan makanan.untuk bertahan hidup, bereproduksi menurut spesies. Berdasarkan hal ini maka dalam otak disimpan informasi baru bahwa zygoon tumbuh dan berkembang, memerlukan makanan, bereproduksi, dan memakan hyena. Kesimpulan mengenai zygoon dari membaca template binatang disebut default inferens. Sedangkan ekspektasi ialah sifat-sifat yang kita harapkan muncul dari kata zygoon inferens di atas. Kategori ontologikal bisa berupa binatang, alat, orang, dan seterusnya.
Berdasarkan hal di atas, maka agama adalah kategori ontologis ditambah tag/sifat khusus. Sifat khusus agama adalah counterintuitive (berlawanan dengan intuisi). Konsep agama mempertahankan default inferens yang relevan kecuali yang secara eksplisit dihalangi oleh elemen counterintuitive. Sebagai contoh: konsep hantu adalah orang yang memiliki sifat fisik yang counterintuitive, yaitu jika fisik manusia tak dapat menembus tembok, maka hantu dapat. Namun konsep intuitif (sifat2 yang dimiliki) tentang orang dipertahankan dengan ketat: yaitu bisa melihat, mendengar, mengingat dan berpikir atau merasa.
Proses ini mengombinasikan penyimpangan terbatas dengan default reasoning. Dengan demikian meskipun hanya sedikit informasi diberikan mengenai hantu, setiap orang dapat memiliki gambaran/representasi terinci tentang hal tersebut.
Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis terhadap para mahasiswa di Eropa dan AS, pendeta di Tibet dan suku Fang di Gabon, maka pada umumnya konsep dengan rumus kategori ontologis + penyimpangan (violation), berupa: seseorang + penyimpangan dalam hal fisik, biologi, atau psikologi, lebih mudah diingat daripada yang menunjukkan hubungan bersifat biasa atau sekedar aneh. Ini menjelaskan mengapa konsep agama mudah diingat dan disebarluaskan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa pikiran manusia mudah menerima rumus di atas? Untuk mengetahui hal ini maka perlu diketahui bagaimana cara bekerja otak manusia. Dalam hal ini maka pemahaman akan evolusi dan evolutionary psikologi diperlukan, karena pikiran manusia dibentuk oleh kedua hal tersebut.

Agama hampir selalu berkaitan dengan konsep Tuhan, dewa-dewa, roh, kematian, ritual, doktrin, ekslusion dan kekerasan. Mengapa?
Agama pada dasarnya adalah sesuatu yang praktis, yaitu bagaimana agen mempengaruhi hidup manusia dan apa yang harus dilakukan terhadap hal itu. Tuhan atau dewa selalu digambarkan seperti orang karena:
- Manusia memiliki kecenderungan anthropomorphic – konsekuensi dari cara kerja kognitif kita.
- Orang lebih kompleks dari benda atau makhluk lainnya
- Agen secara umum (manusia dan binatang) dapat merasakan sesuatu, memiliki kesadaran, tujuan, rencana, dan bereaksi terhadap kejadian sekeliling.

Mengapa Tuhan atau dewa selalu diasosiasikan sebagai agen seperti manusia berkaitan dengan alasan evolusioner. Sebagian besar masa evolusinya, manusia hidup sebagai pemburu yang selalu menghadapi bahaya dan permasalahan mengenai pemangsa dan mangsa. Dalam kondisi demikian, lebih menguntungkan jika manusia bersifat overdeteksi daripada sebaliknya. Misalnya ketika berburu di hutan, suara atau gerakan sekecil apapun dapat merupakan tanda akan adanya pemangsa. Oleh karena itu manusia selalu merasa kehadiran agen yang tak terlihat sebagai sesuatu yang berbahaya dan menakutkan.
Selain itu, untuk survival manusia harus berinteraksi dengan pihak lainnya. Agar interaksi berjalan baik, setiap individu harus bisa mendeteksi dan memperkirakan tindakan dan maksud pihak lain. Hal ini memerlukan informasi, namun tidak semua informasi berguna. Informasi yang diperlukan adalah yang berkaitan dengan sifat relasi dengan pihak lain tersebut. Hal ini disebut informasi strategis, namun orang tidak mungkin memiliki semua informasi strategis. Oleh karena Tuhan, dewa atau roh memiliki rumusan kategori ontologis + elemen counterintuitive, maka tidak seperti manusia biasa, mereka memiliki informasi strategis yang sempurna; dapat mengetahui isi hati, maksud dan tujuan orang lain, disebut full access strategic agents. Mengapa agen seperti ini mudah diterima, karena bagi manusia yang penting adalah kondisi interaksi sosial, yang akan lebih mudah jika kita memiliki semua informasi strategis, yang akan memudahkan pengambilan keputusan. Hal ini contoh dari proses mental yang didorong oleh relevansi.
Dalam banyak kebudayaan, nasib buruk seringkali ditafsirkan sebagai masalah sosial. Sebagai contoh, orang Kwaio menganggap datangnya penyakit adalah karena leluhur menginginkan pengorbanan. Hubungan antara leluhur (atau dewa) dianggap sebuah pertukaran: perlindungan leluhur/dewa dibayar dengan pengorbanan.
Mengapa Tuhan/dewa dan roh dapat menjelaskan nasib buruk? Pertama, orang seringkali menjelaskan nasib buruk tanpa menunjuk agen tertentu secara khusus, kedua, jika mereka menunjuk seseorang/agen, mereka tidak menjelaskan bagaimana agen tersebut melakukannya. Namun demikian, orang memiliki sistem inferens untuk hubungan sosial, yang mengarahkan intuisi mereka tentang pertukaran dan keadilan, sehingga setiap kejadian berkaitan nasib baik atau buruk adalah hasil dari apa yang dilakukan orang lain atau lingkungan sosial. Dengan demikian, jika terjadi sesuatu yang aneh maka akan ditafsirkan sebagai perbuatan seseorang. Oleh karena Tuhan/dewa/roh termasuk dalam interaksi sosial, maka mereka termasuk salah satu yang dapat menjadi salah satu agen yang menyebabkannya, apalagi mereka memiliki seluruh informasi strategis.

Semua agama selalu ada kaitannya dengan kematian. Mengapa? Dari sisi evolusi, kematian berhubungan dengan kalkulasi genetik, sehingga kematian anak terasa lebih menyedihkan daripada orang tua yang telah lanjut. Selain itu, dari sisi kehidupan pemburu, kematian secara umum merupakan sumber teror.
Sementara itu, ritual merupakan hal penting dalam beragama, karena ritual memberikan pengaruh yang mencolok dan penting dengan mengaktifkan system khusus dalam dasar mental.

Penjelasan Boyer mengenai fundamentalisme cukup menarik. Menurutnya, fundamentalisme bukan disebabkan oleh terlalu beragama atau sebab diluar agama, tetapi pada upaya mempertahankan kekuasaan. Penguasa agama tidak ingin melihat bahwa mereka yang tidak mempercayai atau berperilaku seperti penganut agamanya dapat hidup tenang tanpa membayar harga yang tinggi, karena hal itu dapat membuat pemeluk agamanya mengikuti jejak mereka. Oleh karena itu kemurnian ajaran dan hirarki dipertahankan dengan hukuman berat dan dipertontonkan ke semua orang. Tujuan sebenarnya adalah untuk memberi peringatan: bahwa penyimpangan akan mendapatkan hukuman keras, karena itu jangan sekali-kali melakukannya. Hal ini dapat dilihat dari berikut:
1. Fundamentalis umumnya sangat menyukai pengendalian perilaku publik, seperti cara berpakaian, keharusan mengunjungi tempat ibadah, dst.
2. Adanya kecenderungan untuk memamerkan hukuman seluas mungkin dan secara spektakuler, hal ini untuk memberi peringatan kepada calon penyimpang potensial (potential defector) akan beratnya hukuman yang harus dibayar untuk penyimpangan.
3. Kekerasan terutama ditujukan kepada kelompok sendiri, yaitu dari pemimpin terhadap anggota, anggota terhadap orang seagama yang tidak sejalan, dan laki-laki terhadap perempuan.

Jadi, mengapa orang memiliki agama? Tidak ada jawaban tunggal, karena agama merupakan efek samping dari otak yang kita miliki, hasil dari tangan-tangan tak terlihat.

Buku ini banyak memberikan hal-hal baru dan memberikan uraian cukup mendalam tentang mengapa agama selalu ada dan mudah diterima manusia. Kesimpulannya, faktor yang mempengaruhi seseorang untuk beragama sangat banyak dan saling berkaitan serta mendukung satu sama lain, sehingga mirip konspirasi. Hal tersebut selain berhubungan dengan sejarah evolusi manusia termasuk sistem saraf otak juga persepsi kognitif dan sifat hubungan sosial. Itu sebabnya seorang yang berpendidikan sangat baikpun dapat dengan mudah percaya dan memeluk suatu agama tertentu begitu saja.

Ditulis dengan rinci dan banyak contoh, sehingga harus dibaca dengan agak perlahan dan teliti, meskipun penulis juga membuatkan kesimpulan pada setiap babnya. Lebih baik jika pembaca telah mengenal sedikit mengenai evolusi dan evolutionary psikologi.
Hanya memang, pertanyaan mengapa ada sebagian orang bisa melepaskan diri dari agama belum bisa dijawab dengan memuaskan.

No comments: