Friday, November 02, 2007

The Making of the Fittest - DNA and Evolution



Judul : The Making of the Fittest –
DNA and the Ultimate Forensic Record of Evolution
Pengarang : Sean B. Carrol
Penerbit : W.W. Norton and Co., NY
Tahun : 2006
Tebal : 286 hal

Banyak orang pernah mendengar dan mungkin sedikit mengerti tentang DNA; bahwa test DNA dapat memberi banyak manfaat bagi keluarga atau penyelidikan kriminal, misalnya untuk memastikan ayah seorang anak, identitas jenazah yang rusak, pembunuh seseorang, hingga diagnosa penyakit genetik. Bahkan di AS, test DNA telah menyelamatkan banyak orang dari hukuman penjara/mati yang tidak seharusnya akibat salah hukum, karena test DNA lebih akurat daripada bukti sidik jari atau saksi mata.
Ironisnya, masih banyak masyarakat yang tidak dapat menerima bahkan menentang teori evolusi. Padahal, penemuan dan penelitian mengenai DNA justru semakin membuktikan kebenaran teori tersebut, sehingga sungguh aneh jika masyarakat bersedia menerima manfaatnya namun masih menentang evolusi.

Buku ini mencoba menjelaskan bukti-bukti tersebut, yang dapat diringkas sebagai berikut:
1. Semua makhluk hidup berasal dari satu leluhur sama, namun sejarah, perbedaan habitat dan perubahan lingkungan yang terjadi selama miliaran tahun menghasilkan beragam jenis makhluk hidup yang tampak sangat berbeda satu sama lain. Meskipun demikian, sejarah perkembangan setiap makhluk hidup individual dan spesies tercatat dalam DNA-nya. Dengan membandingkan DNA antar spesies, dapat diketahui:
a .keterkaitan antara satu spesies dengan lainnya dan kapan terjadi pemisahan
b. kapan sifat (trait) tertentu yang khas muncul dan bagaimana

2. Selama evolusinya, setiap spesies beradaptasi terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya dengan cara melakukan:
a. penghapusan kode DNA yang tidak diperlukan lagi
b. membuat organ baru (invention) dengan memodifikasi organ yang ada
c. meningkatkan/menyempurnakan organ yang ada, antara lain dengan dengan menggandakan kode DNA yang ada.
3. Mekanisme di atas (2a) menghasilkan gen fosil, yaitu kode DNA yang dapat dilacak fungsi asalnya namun telah termutasi dan tidak dapat berfungsi lagi. Modifikasi dan penyempurnaan, yang dapat diketahui dari kenyataan bahwa kode DNA asli telah terdapat pada leluhur suatu spesies jutaan atau ratusan ribu tahun sebelumnya menunjukkan, bahwa organ dan sifat tidak dirancang secara khusus oleh perancang, tetapi merupakan adaptasi yang bersifat jangka pendek dan tidak terencana, karena banyak modifikasi yang menunjukkan bahwa jika dibuat secara terencana maka bekerjanya akan lebih efisien. Banyaknya bukti mengenai hal ini sekaligus menegaskan: gagasan bahwa setiap spesies dirancang dari awal dengan suatu maksud/tujuan (intent) adalah tidak benar.

4. Seleksi alam menjaga suatu sifat, fungsi organ atau bentuk tertentu tetap dimiliki suatu spesies. Jika seleksi alam tidak ada atau menurun karena perubahan habitat atau pergeseran cara hidup spesies, maka kode DNA untuk sifat,fungsi atau bentuk tersebut akan menjadi gen fosil atau hilang sama sekali. Sesuatu yang tidak diperlukan lagi akan mengakibatkan akumulasi mutasi pada kode DNA-nya sehingga sifat atau kemampuan tersebut tidak dapat kembali lagi meskipun kemudian perubahan lingkungan membuat spesies tersebut memerlukan trait/fungsi tersebut kembali. Prinsipnya adalah: lose it or use it. Hal ini mungkin menerangkan mengapa tingkat kepunahan makhuk hidup sangat tinggi: evolusi berjalan satu arah, adaptasi memerlukan waktu panjang, sehingga jika terjadi perubahan lingkungan yang sangat cepat dan makhluk hidup tersebut tidak dapat beradaptasi dengan cepat, ia akan punah.

5. Evolusi bekerja secara berulang. Spesies yang menghadapi masalah dan perubahan lingkungan yang sama, meskipun berada di tempat atau waktu berbeda, akan melakukan adaptasi atau modifikasi pada DNA-nya dengan cara yang mirip atau sama. Hal ini termasuk meakukan perubahan teks DNA pada posisi yang sama, dengan huruf/teks yang sama.

6. Contoh nyata fosilisasi, penghapusan, modifikasi dan inovasi adalah pada icefish, yang hidup di laut Antartika. Leluhur icefish (sejak 500 juta tahun lalu) seperti ikan lainnya, yaitu memiliki sel darah merah, namun icefish sama sekali tidak memiliki sel darah merah, sehingga darahnya bening. Semua makhluk lain akan mati tanpa sel darah merah. Penelitian terhadap DNA menunjukkan bahwa 2 gen yang normalnya berisi kode DNA untuk globin (bagian dari hemoglobin) punah: 1 gen masih ada tapi tak berfungsi, sehingga menjadi fosil gen, 1 gen lainnya terkikis sama sekali. Hal yang mendorong terjadinya perubahan dramatis ini adalah : keperluan dan kesempatan (necessity dan opportunity). Perubahan jangka panjang dalam suhu dan arus laut selama 55 juta tahun menurunkan suhu dari 68 ke 30 derajat F dan terisolasinya Antartika sejak 34 juta tahun lalu, membatasi migrasi populasi ikan, sehingga mereka harus beradaptasi pada perubahan atau punah. Sebagian besar punah, namun satu grup, yaitu icefish (200 spesies) memanfaatkan perubahan ekosistem. Selain perubahan di atas, icefsih juga melakukan modifikasi dengan memiliki insang besar dan kulit scaleless berpori besar, sehingga meningkatkan penyerapan oksigen. Sedangkan inovasinya adalah pembentukan protein antibeku.
Adaptasi pada icefish menunjukkan bahwa sifat/bentuk yang dimilikinya bukanlah rancangan instant atau satu jalan proses progresif, melainkan serangkaian langkah yang terdiri dari : penemuan kode (DNA) baru, pemusnahan kode lama dan modifikasi lebih lanjut dari yang ada -> menegaskan prinsip evolusi, yaitu seleksi alam dan pelanjutan keturunan dengan modifikasi.

7. Penolakan terhadap teori evolusi terutama bukan disebabkan oleh alasan ilmiah, seperti kurangnya bukti atau lemahnya teori, namun lebih disebabkan karena alasan ideologi (misalnya komunis atau fundamentalis kanan) dan karena manusia tidak mampu membayangkan adanya waktu yang jauh melebihi usianya sendiri. Namun menolak teori ini akan mengakibatkan manusia tidak dapat mengerti cara bekerjanya alam, sehingga dapat mengakibatkan kehancuran yang lebih besar bagi bumi, yang pada akhirnya akan menghancurkan manusia sendiri. Contohnya: pengetahuan mengenai icefish dapat memprediksi bahwa pemanasan gobal akan berarti kepunahan mereka, karena icefish telah melepaskan semua kemampuan untuk hidup di iklim lebih hangat, kemampuan/sifat yang hilang tak dapat dimiliki kembali, dan adaptasi memerlukan waktu jutaan tahun. Hal ini dapat berlaku untuk semua jenis binatang.

Uraian dan contoh bukti-bukti terinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. MATEMATIKA Evolusi
Kekuatan seleksi alam dapat dianalogikan dengan perhitungan bunga, yaitu akumulasi dari jumlah kecil, jika bertahun-tahun dapat menjadi besar. Suku bunga dapat dianalogikan dengan koefisien seleksi. Koefisien seleksi ialah perbedaan dalam sukses reproduksi relatif dan survival antara individual yang memiliki suatu sifat (trait) dengan yang tidak. Contoh: jika individu dengan sifat tertentu memperoleh keuntungan sehingga dapat menghasilkan 101 keturunan dan individu yang tidak memiliki sifat tertentu hanya menghasilkan 100 keturunan, maka koefisien seleksi adalah positif 1%, dan sebaliknya. Jika hal ini terjadi selama puluhan, ratusan atau ribuan tahun, maka pemilik sifat tadi akan terakumulasi sehingga trait tersebut dapat dimiliki oleh sebagian besar (misanya 90%) populasi. Sebagai contoh adalah moth berwarna gelap, yang memiliki koefisien negatif 0,20%. Selama 50 tahun terakhir populasi moth warna gelap menurun dari 90% menjadi kurang 10% dari seluruh populasi, karena membaiknya kondisi lingkungan daerah industri di Inggris.

2. SELEKSI ALAM MENOLAK PERUBAHAN MERUGIKAN
Survival dari gen individual melalui periode geologi yang panjang menunjukkan:
a. kekuatan penjagaan dari seleksi alam
b. kunci evolusi kehidupan leluhur kuno
c. adanya gen abadi (immortal), yaitu gen yang telah ada sejak leluhur awal, yang dapat menujukkan derajat keterkaitan antar jenis makhluk hidup.
Selama miliaran tahun gen menghadapi mutasi, yang dapat mengubahnya ke arah merugikan. Namun seleksi alam menjaga gen dari perubahan yang merugikan dengan cara redundansi kode genetik. Yaitu sekuens kode asam amino dapat berbeda tetapi asam amino yang dihasilkan tetap sama. Contoh: sekuens DNA asli untuk menghasilkan asam amino leucine adalah TTA, namun mutasinya, yaitu TTG dan CTA, serta mutasi gandanya CTT dan CTC, tetap menghasilkan leucine. Perubahan yang tidak mengubah arti triplet ini disebut sinonim, yang mengubah arti disebut nonsinonim. Tanpa seleksi alam, maka rasio perubahan sinonim dengan nonsinonim adalah 1:3. Penjagaan seleksi alam tersebut memungkinkan adanya gen immortal.
Ditemukannya gen imortal pada manusia dan archaea yang berumur 3 miliar tahun menunjukkan keterkaitan leluhur manusia dengan archaea.

3. GEN BARU MODIFIKASI LAMA
Kemampuan melihat dan membedakan warna merupakan hasil modifikasi atas gen opsin, yang dapat dilihat buktinya pada monyet dan primata, ikan laut dalam, dan burung, sebagai upaya adaptasi terhadap habitat dan gaya hidup yang berbeda.
Warna dapat kita lihat karena satu set molekul dalam retina mendeteksi cahaya, kemudian disampaikan ke otak, tetapi warna yang dapat dideteksi setiap spesies berbeda. Cahaya putih adalah campuran warna dari ungu,biru,kuning,jingga,hijau dan merah, dengan panjang gelombang berbeda, dari 400 nanometer (nm) (ungu) ke 700 nm (merah). Warna suatu obyek adalah panjang gelombang cahaya yang diserap atau dipantulkan, dan hal ini tergantung molekulnya. Contohnya: rumput berwarna hijau karena ia menyerap semua panjang gelombang cahaya kecuali hijau; cahaya hijau dipantulkan. Cahaya matahari yang tidak dapat kita lihat ialah yang mengandung panjang gelombang lebih pendek (krg dr 400nm),ikan laut dalam hanya warna kebiruan (s.d. 485 nm), dan sebagian besar mamalia hanya sampai dengan warna hijau (520 nm). Mengapa? Karena susunan protein pigmen visual yang terdapat pada retina setiap spesies berbeda-beda. Pigmen visual ini terbuat dari protein opsin dan molekul kecil yang disebut chromophore. Sensitivitas cahaya dari pigmen visual ditentukan oleh sekuens tertentu dari protein opsin dan bagaimana chromophore berinteraksi dengannya. Manusia memiliki 3 pigmen visual berbeda, yang sensitif atas gelombang cahaya pendek, sedang dan panjang, yaitu opsin SWS (417 nm), MWS (530 nm) dan LWS (560 nm, merah). Pigmen keempat, rhodopsin (497 nm), digunakan untuk melihat dalam gelap atau cahaya redup. Makhluk yang dapat melihat ketiga gelombang chromophorenya disebut trichromatric. Setiap opsin disandi (encode) oleh gen terpisah. Ketiga gen opsin manusia juga terdapat pada primata lainnya, namun sebagian besar mamalia hanya memiliki dua gen opsin, atau dichromatic. Selain itu, pada mata terdapat dua jenis reseptor, yaitu cone (kerucut) dan rod. Cone dapat melihat warna, sedang rod tidak dapat membedakan panjang gelombang, sehingga tidak dapat membedakan warna dan digunakan untuk malam hari.
a.
Primata
Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa burung dan ikan, yang leluhurnya muncul lebih dulu dari primata, memiliki 4 s.d. 5 gen opsin, namun mengapa mamalia pada umumnya hanya memiliki 2 gen opsin dan primata 3 gen opsin? Hal ini berarti terdapat gen opsin yang hilang pada mamalia dan primata. Dilihat dari sejarahnya, hal tersebut karena mamalia sempat menjadi nocturnal (binatang yang aktif pada malam hari), yaitu pada masa dinosaurus menguasai bumi, sehingga tidak terlalu memerlukan melihat warna. Kemudian, setelah leluhur mamalia dan primata berpisah, satu gen opsin muncul kembali pada primata. Namun mengapa 3 gen opsin didukung oleh seleksi alam? Dari penelitian terhadap monyet colobus dan simpanse di Uganda, lemur di Madagaskar dan monyet laba-laba di Costarica, kemampuan melihat warna merah diperlukan untuk mendapatkan makanan yang lebih baik, karena di hutan, daun muda yang tinggi nutrisinya dan lebih lembut berwarna merah, dan buah tidak selalu tersedia dengan cukup. Betapa seleksi alam mendukung hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat buta warna pada monyet macaque (<1%).>

. b.Ikan laut dalam
Pada laut yang dalam, tidak banyak cahaya yang masuk dan hanya cahaya kebiruan yang tersedia. Adaptasi terhadap hal ini mengakibatkan rhodopsin dari ikan laut dalam dan lumba-lumba bergeser ke warna biru, dengan menyesuaikan ke 10 s.d. 20 nm ke akhir spektrum cahaya biru. Caranya dengan melakukan penggantian asam amino di satu spesies dengan asam amino yang lain.
c. Burung
Untuk dapat melihat kisaran warna ultraviolet, burung melakukan modifikasi dengan mengubah satu asam amino pada opsin SWS. Pada posisi 90, dengan asam amino serine dapat dilihat kisaran warna violet, namun jika pada posisi tersebut diganti dengan asam amino cystline, burung dapat melihat warna ultraviolet, dan sebaliknya. Dengan demikian tampak bahwa à satu langkah sederhana perubahan tunggal saja dapat mengubah fungsi opsin SWS.
Pada burung, modifikasi ini diperlukan untuk
· Seleksi seksual, misalnya pada starling, pemilihan pasangan oleh betina bergantung pada daya tarik warna bulu, yang hanya dapat dilihat dengan warna ultraviolet.
· Alat bagi induk burung untuk mengetahui sarang anaknya pada malam hari dari warna ultraviolet pada paruh anak.
· Membantu memburu mangsa, karena burung blue tits menggunakan penglihatan ultraviolet untuk mendeteksi ulat bulu yang tersamarkan jika dilihat dengan penglihatan biasa.
Kemampuan melihat ultraviolet juga terdapat pada ikan, amfibi, reptile dan kelelawar untuk berbagai keperluan, sehingga: satu inovasi dapat menciptakan kesempatan untuk mengembangkan berbagai inovasi tambahan.

4. GEN FOSIL
Gen dapat terfosilisasi atau hilang seluruhnya jika tidak diperlukan lagi oleh lingkungan (adanya relaksasi seleksi alam), sebagaimana terjadi pada icefish, ikan purba coelacanth, lumba-lumba, bunga yang berwarna-warni, ragi, bakteri pathogen, dan manusia. Hal ini dapat terlihat dari rusaknya teks gen fosil, sehingga kode genetiknya berantakan (decayed) dan terkikis seiring berjalannya waktu.
a. Coelacanth
Leluhur ikan purba coelacanth, memiliki gen opsin MWS dan LWS, namun coelacanth tidak memilikinya dan hanya memiliki rhodopsin untuk melihat dalam cahaya suram serta 1 gen opsin SWS yang telah mengalami banyak kekacauan dalam teksnya. Misalnya pada posisi 200-202 kode DNA tikus dan spesies lain basenya CGA, pada coelacanth TGA. Triplet ini merupakan tanda berhenti yang berfungsi untuk melenyapkan translasi dari sisa teks opsin SWS, yang berarti melenyapkan kemampuan coelacanth untuk membuat protein opsin SWS yang fungsional. Banyaknya kekacauan pada kode opsin SWS menunjukkan bahwa gen tersebut telah menjadi fosil, karena tidak dapat berfungsi lagi. Gen tersebut berfungsi pada leluhurnya, namun tidak lagi pada coelacanth saat ini. Karena tak berfungsi, maka akan terus mengakumulasi mutasi dan penghapusan tambahan sehingga pengikisan akan terus berlanjut sampai akhirnya akan terhapus dari DNA selamanya, sebagaimana opsin MWS dan LWS yang telah terhapus.
Paus dan lumba-lumba juga memiliki fosil SWS. Mengapa? Karena seluruh binatang tersebut benar-benar hidup di dalam laut sehingga tidak memerlukan penglihatan berwarna. Jika opsin tersebut tidak lagi dibutuhkan, maka seleksi alam akan direlaksasi, dan jika terjadi relaksasi, tidak ada mekanisme untuk menyingkirkan mutasi gen yang mengganggu fungsinya semula.
b. Binatang Nocturnal (Malam)
Satu-satunya primate nocturnal adalah monyet owl, yang juga memiliki fosil opsin SWS. Sedangkan diurnal monyet owl (aktif di siang hari) memiliki opsin SWS utuh.
Promisians, primate primitif yang terdiri dari lemur, tarsier, bush babies, lorises, juga memiliki gen fosil opsin SWS, terlihat dari adanya sepotong kode yang hilang di dekat awal gen yang menghilangkan kemampuan membuat opsin.
d. Tikus mondok
Tikus mondok yang hidup di bawah tanah memiliki gen opsin MWS dan LWS untuk mendeteksi cahaya guna menjalankan jam biologis, namun gen opsin SWSnya menjadi fosil dan matanya sangat kecil. Catatan fosil menunjukkan bahwa binatang ini berkembang dari leluhur yang hidup di atas tanah dan memiliki mata normal. Perubahan gaya hidup membuat banyak perubahan pada anatomi dan fisiologi.
e. Manusia
Gen pencium merupakan gen terbesar dalam genom mamalia, tampak dari adanya 1400 gen ini dalam 25.000 genom tikus. Gen ini berfungsi untuk mendeteksi bau/aroma yang berbeda; bagaimana aroma tersebut dirasakan tergantung dari reseptor yang mendeteksinya. Dibandingkan dengan tikus, maka setengah dari seluruh gen pencium manusia terfosilisasi. Hal ini tampak pada reseptor yang disandi gen V1R: tikus memiliki 160 reseptor fungsional, manusia hanya 5 reseptor. Mengapa? Manusia tidak lagi bergantung pada penciuman sebagaimana leluhurnya, hal ini berkaitan dengan evolusi pada penglihatan. Evolusi trichromatic vision memungkinkan primata untuk mendeteksi makanan, pasangan dan bahaya secara visual, sehingga mengurangi ketergantungan pada indra penciuman. Relaksasi pada gen pencium membuat kode gen tak beraturan. Hal ini diikuti perubahan fisikal, terlihat dari mengecilnya organ vomeronasal – yang digunakan untuk mendeteksi pheromones/aroma - pada manusia dan primata, dibandingkan dengan vertebrata darat lainnya.
Gen fosil lainnya adalah MYH16, dimana ada 2 penghapusan base dalam kode MYH16, sementara pada simpanse, gorilla, orangutan dan macaque gen ini utuh. Protein MYH16 dibuat dalam subset otot, yang terlibat dalam pergerakan rahang besar pada kera untuk mengunyah. Pada manusia, region temporalis dan otot telah sangat berkurang dibandingkan ketiga primata di atas.
e. Ragi roti
Semua spesies ragi roti dapat menggunakan galaktosa menjadi bentuk glukosa melalui serangkaian langkah pengenziman, dengan 4 enzim berbeda, yang disandi 4 gen berbeda, serta 3 protein lain, sehingga ada 7 gen untuk melakukannya. Namun satu spesies, yaitu S. kudriavzevlii tidak dapat melakukannya, karena tidak seperti ragi lainnya yang hidup di tempat yang kaya gula, spesies ini hidup di daun yang membusuk. Berdasarkan penelitian, setiap gen untuk mengubah galaktosa sudah tidak ada – ada bermacam potongan kode yang hilang dan memusnahkan kesatuan teksnya.
f. Bakteri lepra
Gen dari mikroba penyebab penyakit lepra, Mycrobacterium leprae mengandung 1600 gen fungsional dan 1100 gen fosil. Sementara itu, keluarga dekatnya, M. tuberculosis memiliki 4000 gen utuh dan hanya 6 fosil gen. Mengapa terjadi perbedaan begitu besar?
Hal ini disebabkan perbedaan gaya hidup. M. leprae hanya dapat hidup di dalam sel hostnya (tuan rumah/ makhluk yang didiaminya). Ia tinggal di dalam sel macrophages dan menginfeksi sel dari system syaraf peripheral. Hidup di dalam sel host membuat M. leprae mengandalkan banyak proses metabolisme pada hostnya, sehingga merelaksasi seleksi pada pemeliharaan banyak gen M. leprae. Peningkatan kekacauan gen (fosilisasi) seperti ini juga terjadi pada parasit dan pathogen intraselular lainnya.

Contoh-contoh di atas menunjukkan:
· Fosilisasi dan hilangnya gen menimbulkan batasan pada arah masa depan evolusi dalam garis keturunan selanjutnya.
· Pengawasan oleh seleksi alam hanya bertindak pada saat ini – ia tidak dapat merencana masa depan.
· Jika kondisi berubah, bahkan dalam jangka panjang, spesies yang telah kehilangan gen tertentu tidak akan memiliki gen yang tersedia untuk beradaptasi dengan kondisi baru.
· Fosilisasi membuktikan bahwa pembuatan spesies tidak ada rancangan atau tujuan. Contohnya pada bakteri leprosy, tidak ada bukti bahwa bakteri tersebut dirancang sedemikian, tapi organisme ini adalah versi Mycrobacterium yang dilucuti, yang masih membawa lebih dari 1000 gen tak berguna, berantakan, bekas leluhurnya. Manusia juga masih membawa bekas genetik dari sistem penciuman yang dulu lebih kuat dari saat ini.

5. SELEKSI ALAM PADA MANUSIA
Gen manusia menunjukkan: perlombaan terus menerus dengan penyakit, adanya seleksi alam, dan bekerjanya seleksi alam dengan material yang tersedia (bukan dengan penyelesaian terbaik). Bukti-bukti ini meniadakan keyakinan kita akan adanya kemajuan dan rancangan, dan menegaskan bahwa keperluan akan suatu manfaat tertentu harus diperoleh dengan suatu biaya, bahkan jika biaya tersebut cukup besar.
a. Perbedaan warna kulit.
Terdapat korelasi antara tingkat radiasi ultraviolet pada lokasi berbeda di dunia dengan bervariasinya pigmen kulit. Pigmen (melanin) adalah tabir surya alami yang efisien dalam menyerap radiasi ultraviolet, yang dapat menyebabkan kerusakan pada sel. Komponen utama pembentukan melanin adalah Melanocortin-1 receptor (MC1R), reseptor sama yang terdapat pada bulu dan warna kulit. Produksi melanin dikendalikan oleh hormone yang dibuat di suatu bagian kelenjar pitutary, αMSH, yang mengikat reseptor MCiR dan menstimulasi pembentukan melanin.
Pada orang Eropa yang berambut merah, terdapat mutasi MC1R yang menyebabkan penggantian satu asam amino dengan asam amino lainnya, sedang pada populasi Eropa dan Asia terdapat minimum 13 variasi berbeda dari gen MC1R, 10 diantaranya mengubah protein MC1R dan 3 tidak (sinonim substitusi). Pada populasi Afrika, ada 5 varian gen MC1R, semua sinonim dan tidak ada varian pada protein MC1R. Perbedaan rasio dari nonsinonim dan sinonim pada non Afrika (10:3) dan Afrika (3:10) sangat signifikan sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa seleksi alam telah mencegah terjadinya perubahan protein MC1R pada orang Afrika karena hidup di wilayah tersebut memerlukan produksi melanin yang tinggi untuk melindungi dari radiasi matahari dan ultraviolet yang tinggi.
b. Sickle cell (sel bentuk sabit)
Memiliki 2 mutasi sel darah merah berbentuk sabit (sickle cell) berdampak merugikan, namun mereka yang memiliki 1 mutasi relatif resisten terhadap infeksi malaria. Mereka ini tinggal di daerah malaria dan sekitarnya.
Mutasi sickle cell disebabkan perubahan tunggal dalam triplet ke enam dari gen (dari GAG ke GAT). Mutasi ini muncul ada 5 waktu berbeda, yaitu di Bantu, benin, Senegal, Kamerun dan India.
c. Mutasi enzim GGPD
Mutasi enzim GGPD mengakibatkan defisiensi, yang terjadi pada 400 juta orang. Namun mereka dengan defisiensi ini memiliki muatan parasit malaria yang lebih rendah, yang mengurangi risiko terjangkit malaria akut sebesar 46 – 58%.
Mutasi gen GGPD baru muncul pada masa sekitar 3200-7700 tahun terakhir. Masa ini bersamaan dengan masa munculnya pertanian, yang menimbulkan kemungkinan bahwa efek malaria pada evolusi adalah relatif baru. Ketika manusia membuka hutan untuk pertanian, hal itu meningkatkan kolam/genangan air tempat nyamuk berkembang biak. Meningkatnya jumlah nyamuk, kepadatan populasi manusia termauk pemukinan, mungkin menyebabkan malaria dan membentuk perlombaan evolusioner antara parasit, nyamuk dan manusia. Pengobatan malaria yang selalu menimbulkan resistensi pada obat-obat tersebut dengan mutasi gen menunjukkan adanya lingkaran berulang, sehingga digunakan kombinasi beberapa obat.
d. Mutasi protein Duffy
Selain itu, terdapat mutasi yang menghilangkan protein Duffy, yaitu tempat parasit memasuki sel darah merah, yang terjadi pada seluruh populasi (100%) Afrika, namun tidak terdapat di Asia/Kaukasia.

6. EVO DEVO dan Pembuatan serta Evolusi Kompleksitas
Bagaimana terbentuknya spesies dan evolusi feature kompleks di atas level spesies (makroevolusi)?
(1) Kesamaan Prinsip
Penemuan mengenai gen pembentuk mata Pax-6 menunjukkan bahwa terdapat kesamaan prinsip dalam pembuatan mata pada semua makhuk hidup, terlihat dari miripnya sekuens protein pembentuk Pax-6 antara lalat buah, tikus dan manusia, dan kesamaan antara tikus dan manusia. Berdasarkan penelitian, hal ini karena adanya hubungan dan kesamaan prinsip, terlihat dari:
a. Pax-6 tikus dan lalat dapat saling bertukar dalam pengembangan mata lalat.
Pengaktifan Pax-6 lalat di tempat-tempat lain (kaki dll) dapat menumbuhkan selaput mata, gen Pax-6 tikus dapat menumbuhkan selaput mata lalat.
b. Pax-6 yang diisolasi dari dari cumi, cacing pita dapat digunakan untuk pengembangan mata binatang tersebut.
Hal di atas menunjukkan: gen tersebut selain memiliki kesamaan sekuens juga kesamaan kemampuan, dan leluhur dari binatang-binatang tersebut menggunakan Pax-6 untuk pengembangan mata yang sangat primitif, dan keturunan leluhur ini mengembangkan mata yang lebih kompeks berdasarkan fondasi ini.
Fondasi dan bahan yang tersedia untuk ini adalah:
· Sel pendeteksi cahaya
· Sel pigmen yang mengatur angle cahaya yang mencapai sel fotoreseptor
Mata tersebut juga dibangun dengan menggunakan bahan lain, yaitu protein opsin.
Sebagaimana fotoreseptor adalah jenis sel purba, demikian pula jenis sel-sel yang membentuk banyak selaput dan organ lain. Penemuan evo devo menunjukkan bahwa pembangunan hati, otot, system syaraf, pencernaan dan anggota tubuh segala jenis binatang juga berdasarkan alat genetik (tool-kit) dan gen pembentuk organ yang mirip, yaitu tool kit purba dan telah terdapat juga pada leluhur awal (common ancestor) sebeum berkembangnya sebagian besar binatang.

(2) Keanekaragaman
Keanekaragaman makhluk hidup dapat dihasilkan dari penggunaan gen pembentukan tubuh yang mirip dengan cara berbeda. Mutasi tool kit fisiologi, seperti opsin, reseptor, dapat mempengaruhi berfungsinya organ, misalnya mempengaruhi kemampuan melihat. Oleh karena itu evolusi bentuk cenderung dengan mengubah cara penggunaan tool kit protein daripada mengubah tool kit protein itu sendiri, sebab tool kit pembentuk umumnya mengatur pembentukan beberapa bagian tubuh, sehingga jika terjadi mutasi pada satu bagian (misalnya mata) dapat menghilangkan mata seluruhnya atau mempengaruhi bagian tubuh lain.
Contoh perubahan cara penggunaan tool kit adalah perubahan bentuk pelvic pada ikan dan anggota badan pada mamalia. Perubahan gen Pitxl pada ikan stickleback di danau Amerika memperkecil tulang pelvic ikan di dasar danau, yang didorong oleh seleksi alam karena pelvic yang panjang merugikan, sebab larva dragonfly memangsa ikan stickleback muda dengan cara menangkap/grab spine mereka.
Pengecilan ukuran tulang pelvic dilakukan dengan pengaturan aktivasi dan non aktivasi switch yang terdapat pada sekuens DNA yang dapat diatur. Switch menentukan kapan dan dimana setiap gen digunakan atau tidak digunakan dengan cara mengaktifkan dan menonaktifkan sekuens tertentu. Jadi dengan sekuens yang sama namun penempatan pengaktifan dan penonaktifan switch yang berbeda saja, dapat dihasilkan variasi warna bulu, motif atau bentuk anggota tubuh sehingga menghasilkan keanekaragaman tak terbatas.

Uraian terinci mengenai pembentukan keanekaragaman dengan pengaturan switch terdapat dalam buku penulis sebelumnya Endless Forms Most Beautiful: The New Science of Evo Devo, finalis 2005 Los Angeles Times Book Prize.
Penulis buku ini, S.B. Carrol (46 tahun) adalah investigator pada Institut Medis Howard Hughes dan professor genetika di Univ. of Wisconsin, merupakan salah satu biologist terkemuka saat ini dan salah satu pendiri ilmu baru evolutionary developmental (evo devo) biology.

The Making of the Fittest merupakan buku terbaru yang terbaik mengenai evolusi, yang diuraikan dengan susunan dan bahasa Inggris yang relatif mudah dibandingkan buku sejenis, namun dengan lebih banyak informasi termutakhir.