Monday, August 27, 2007

THE VARIETIES OF SCIENTIFIC EXPERIENCE - A Personal View of the Search for God



Pengarang : Carl Sagan
Penerbit : The Penguin Press, NY
Tahun : 2006
Tebal : 273 halaman, hard cover

There is an enormous amount we do not know; there is a tiny amount that we do. But what we do understand brings us face-to-face with an awesome cosmos that is simply different from the cosmos of our pious ancestors.”

Buku ini adalah kumpulan kuliah Natural Theology yang diberikan Carl Sagan di Glasgow pada tahun 1985 atau Gifford Lectures, dan merupakan tradisi yang telah dimulai sejak ratusan tahun sebelumnya oleh para ilmuwan ternama lainnya seperti Niels Bohr dan lain-lain di tempat yang sama. Ann Druyan sebagai editor menyebutkan bahwa buku ini diterbitkan selain untuk memperingati 10 tahun berpulangnya Sagan juga karena pemikirannya dirasa relevan di tengah kondisi dunia yang semakin terancam oleh fundamentalisme.

Bagi penggemar Carl Sagan, membaca kembali tulisannya tetaplah mengesankan, meskipun itu hanya berupa kumpulan kuliah yang diberikan 22 tahun yang lalu. Menarik karena selain belum pernah diterbitkan, kumpulan kuliah ini menjelaskan lebih spesifik pandangan Sagan mengenai Tuhan beserta proses yang dilaluinya untuk sampai kesana. Kita telah mengetahui bahwa Sagan sangat rasional, anti superstition, mencintai sains dan menyebarkannya dengan semangat kepada sebanyak mungkin orang, namun mengapa Sagan bersikap demikian, baru secara rinci terdapat dalam buku ini.
Bagi yang belum pernah membaca tulisannya, buku ini dapat merupakan perkenalan yang baik karena mudah dibaca, disertai dengan banyak ilustrasi berupa foto-foto galaksi, bintang, planet dan lainnya, serta memberikan pengetahuan dan pencerahan dengan cara yang halus dan menawan.
Dalam bab pertama, Sagan menguraikan luasnya alam semesta dan tidak berartinya bumi di dalamnya dengan 15 gambar. Diuraikan bahwa di alam semesta terdapat paling sedikit miliaran dan mungkin ratusan miliar galaksi yang masing-masing berisi sejumlah bintang sebanyak di galaksi Bima Sakti, sedangkan di galaksi Bima Sakti sendiri terdapat 400 miliar bintang, dimana matahari hanya salah satunya, dan setiap bintang memiliki beberapa planet. Dengan demikian jumlah bintang adalah 100 miliar triliun. Pengetahuan ini, menurutnya, tidak pernah tergambarkan dalam semua kitab suci. Ini hanyalah sebagian penemuan ilmiah yang menurut Sagan sama sekali tidak pernah dapat kita ketahui dari kitab suci, bahkan dalam bentuk paling samar sekalipun. Sebaliknya, kitab-kitab itu menggambarkan alam semesta demikian kecil dan Tuhan demikian membumi, seolah-olah bumi demikian penting. Hal lain, alam semesta juga “hidup” dan berevolusi. Bintang-bintang lahir, mati, dan setiap kematian diiringi dengan ledakan yang menghancurkan planet-planet di sekitarnya, sehingga jika di planet tersebut terdapat kehidupan, maka setiap saat terjadi kehancuran atau kematian besar-besaran. Dengan demikian, sama seperti kehidupan di bumi, maka kehidupan di seluruh alam semesta adalah penuh penderitaan. Semua hal ini, menurut Sagan, tidak sesuai dengan konsep Tuhan dalam agama samawi yang disebutkan pemelihara dan penuh kasih. Selain itu, Tuhan yang digambarkan hanya mengurusi bumi menjadikan Tuhan tersebut tidak sesuai dengan luasnya alam semesta sebagaimana kini kita ketahui. Oleh karena itu, sulit bagi Sagan untuk menerima konsep tradisional tentang Tuhan sebagaimana terdapat dalam agama samawi.
Selanjutnya penulis menguraikan mengapa beberapa argumen yang mendasari keberadaan Tuhan sesuai gambaran agama samawi, yaitu argumen kosmologikal, argumen dari hukum kedua termodinamika, argumen atas dasar rancangan, argumen moral, argumen ontologikal, argumen atas dasar kesadaran, dan argumen berdasar pengalaman kurang meyakinkan. Demikian pula argumen berdasarkan anthropic principle. Anthropic principle adalah pendapat yang mengatakan bahwa semua hukum fisika dan kimia adalah demikian adanya karena untuk memungkinkan manusia dapat hidup dan memiliki intelegensi. Misalnya tingkat gravitasi adalah sebesar tertentu dan bukan besaran lain karena jika berbeda, alam semesta tidak seperti saat ini dan bumi serta makhluk hidup tidak akan pernah dapat exist dan berkembang.
Masalah di atas masih ditambah lagi dengan adanya problem of evil, masalah yang juga menjadi perhatian kaum agamawan sejak ratusan tahun lalu dan tidak terpecahkan dengan baik. Masalah lainnya adalah: mengapa tidak ada pembuktian yang lebih jelas, misalnya dalam kitab suci dituliskan,”Matahari adalah bintang”, atau “Thou shalt not travel faster than light.” Lebih jelasnya: mengapa kitab suci (Tuhan) dapat menguraikan tindakan yang harus dilakukan manusia – misalnya cara berdoa, bertindak kepada sesama - secara terinci (jelas) namun dalam hal pengetahuan mengenai alam semesta (fisika,biologi) demikian samar bahkan tidak sesuai dengan fakta ilmiah?

“ It is possible to design religions that are incapable of disproof. All they have to do is to make statements that cannot be validated or falsified. .. that means you cannot make any statements on how old the world is, ..about evolution, about the shape of earth, and so on. But it is a very rare religion that avoids the temptation to make pronouncements on matters astronomical and physical and biological.”

Membaca buku ini membuat kita memahami mengapa semakin berkualitas seorang ilmuwan semakin hilang kepercayaan kepada agama samawi. Namun kepercayaan tersebut digantikan dengan perasaan kekaguman kepada keluasan dan kompleksitas alam semesta disertai rasa rendah hati yang dalam dan kecintaan kepada bumi sebagai sesuatu yang sangat berarti sehingga harus dipelihara baik-baik dari kerusakan. Hal ini jugalah yang ditawarkan Sagan dalam buku ini; untuk memberikan perasaan yang sama kepada pembaca. Pengetahuan, daya kritis, itulah hal yang berharga. Meskipun sains membuat kita sulit mempercayai kepercayaan tradisional sepenuhnya, namun hal itu justru membuat kita semakin menyadari pentingnya kebersamaan untuk memelihara dan menyelamatkan bumi. Karena bumi dan manusia hanyalah satu titik kecil tak berarti yang hilang di tengah keluasan alam semesta!

HIS DARK MATERIALS TRILOGY


Judul : 1. Kompas Emas : 486 hal
            2. Pisau Gaib : 406 hal
            3. Teropong Cahaya: 619 hal
Pengarang : Philip Pullman (penerj. B.S. Tanuwidjaja)
Penerbit     : GPU
Tahun         : Nov. 2006, Jan dan Feb. 2007
Penghargaan: Whitbread Book of the Year



Buku ini mengisahkan petualangan seorang anak perempuan bernama Lyra dan temannya Will, dalam membantu membebaskan dunia dari tirani Otoritas. Sesuai teori kuantum yang mengatakan ada banyak dunia, Lord Asriel, yang semula dikira paman Lyra namun ternyata adalah ayahnya, berhasil menghubungkan dunia Lyra dengan dunia-dunia lain, sehingga mereka bisa bepergian antar dunia. Lord Asriel berhasil menghimpun kekuatan banyak dunia, namun upaya Lord Asriel dihalangi oleh Gereja, yang berusaha menghalangi adanya Debu. Apakah Debu itu, yang demikian ditakuti oleh Gereja? Debu adalah kesadaran untuk bekehendak bebas.

Dalam upaya membantu Lord Asriel, Lyra pergi ke utara dengan berpedoman pada alethiometer atau kompas emas, mula-mula untuk membantu membebaskan teman sepermainannya, Roger serta anak-anak kaum Gypsi yang diculik oleh Pengadilan Disiplin Agama. Mereka diculik untuk dipisahkan dari demonnya. Demon dalam dunia Lyra adalah seperti kesadaran dalam dunia kita, namun disana terpisah, yaitu berbentuk binatang yang selalu berdekatan dengan manusianya, sehingga orang lain dapat melihat sifat/kepribadian seseorang dari demonnya. Demon anak-anak akan diteliti dan dipisahkan, karena berbeda dengan demon orang dewasa.
Bersama orang Gypsi, Lyra berangkat ke Utara, kemudian dibantu oleh para penyihir, raja beruang dan aeronaut (pengendara balon terbang), ia membebaskan anak-anak yang disekap Pengadilan Disiplin Agama. Namun kemudian Roger digunakan Lord Asriel untuk menghubungkan dunia Lyra dengan dunia lain, karena itu Lyra pergi ke dunia lain untuk menemui Lord Asriel. Perjalanan ini berbahaya, oleh karena itu ia akan bertemu dengan Will yang akan membantunya, serta berjuang melawan hantu karang dan Spectre, kekuatan jahat yang memakan Debu atau demon. Demon atau Debu adalah kesadaran yang masih murni; penuh rasa ingin tahu, berani berpikir, tidak terobsesi oleh dosa. Karena itu demon anak-anak berbeda dengan orang dewasa.

Dalam perjuangan melawan Otoritas ini Lord Asriel mendapat bantuan dari John Parry, ayah Will, yang berasal dari dunia seperti kita. John Parry berhasil menyeberang ke dunia lain yaitu dunia Lyra dan menjadi Dr. Gruman. Sedangkan ibu Lyra, Mrs. Coultier semula membantu Gereja, namun ketika Gereja kemudian memutuskan akan membunuh Lyra karena ia diramalkan akan menjadi penyebab kejatuhan manusia yang kedua kalinya, seperti Eva, Mrs. Coultier berbalik dan membantu Lord Asriel untuk memberontak terhadap Otoritas. Akankah para pemberontak ini menang?

Trilogi ini mungkin menarik bagi anak-anak yang menjelang remaja (Lyra digambarkan berumur 12 tahun), karena berisi fantasi dan menggambarkan petualangan, kesetiaan serta keberanian yang bersifat kepahlawanan. Satu hal yang cukup mengejutkan barangkali adalah bagaimana penulis bersikap serius dalam menuangkan gagasan kepada anak-anak, karena dibalik kisah fantasi dan petualangan tersebut penulis sebenarnya ingin mengajak pembacanya untuk memikirkan hal-hal yang mendasar sifatnya, yaitu bahwa kebebasan berpikir adalah yang terpenting, dan agama adalah musuh utama dari hal penting tersebut, karena agama tidak bisa mengizinkan kebebasan. Mungkin disinilah letak nilai buku ini. Untuk membuka pikiran anak-anak yang menjelang remaja, agar tidak mudah diindoktrinasi oleh ajaran agama atau apapun yang bersifat dogmatis dan merendahkan serta menyangsikan rasionalitas dan sains.
Bagi saya sendiri, yang sudah jauh melewati masa anak-anak, membaca kisah petualangan anak-anak yang cukup panjang dalam buku ini terasa agak membosankan. Hal yang lebih menarik bagi saya dalam membaca buku ini adalah : apa sebenarnya yang ingin disampaikan penulisnya? Mengapa dalam buku kisah fantasi anak-anak ada gereja, otoritas agama, malaikat, dunia kematian? Mengapa begitu serius, apakah anak-anak akan mengerti?

Jika di akhir buku penulis menggambarkan bahwa otoritas (Tuhan) tidak dapat melawan manusia yang memberontak, tentulah maksudnya bukan untuk mengajarkan anak muda untuk berbuat sesat atau jahat, seperti dituduhkan beberapa kritikus buku ini. Saya kira, Pullman hanya ingin agar generasi mendatang tidak mudah diindoktrinasi oleh ajaran yang membatasi kebebasan berpikir, ilmu pengetahuan dan kreativitas. Ia hanya ingin menebarkan keyakinannya yang agnostik. Dan di tengah dunia yang semakin dogmatis saat ini, hal itu merupakan sesuatu yang cukup berarti. Tidak mengherankan bahwa bukunya mendapatkan penghargaan.

THE FABRIC OF THE COSMOS - Space, Time, and the Texture of Reality



Pengarang : Brian Greene
Penerbit : Vintage Books, NY
Tahun : 2004 (1st ed 2003)
Tebal : 541 halaman

Yet, over the last three hundred years, as we’ve progresses from classical to relativistic and then to quantum reality, and have now moved on to explorations of unified reality, our minds and instruments have swept across the grand expanse of space and time, bringing us closer than ever to a world that has proved a deft master of disguise.”

Jika anda ingin mengetahui perkembangan fisika dan kosmologi terakhir dalam satu buku saja, bacalah buku ini. Dibandingkan dengan buku-buku sejenis lainnya yang ditulis untuk orang awam, ini adalah yang terbaik, karena uraiannya lebih jelas, dengan menggunakan berbagai analogi yang mudah dimengerti orang awam dan bahasa yang relatif mudah, gambar/ilustrasi yang tepat, cukup rinci, mencakup berbagai hal yang cukup luas, dan semua itu hanya dalam satu buku.
Penulis memulai uraiannya dengan pembahasan mengenai ruang, antara lain membahas apakah ruang itu absolut atau relatif? Apa artinya terpisah dalam alam kuantum? Selanjutnya pada bagian dua penulis membahas mengenai waktu, yaitu: apakah waktu mengalir? Apakah waktu memiliki arah? Bagaimana hubungannya dengan realias kuantum?
Bagian tiga membahas hubungan ruangwaktu (spacetime) dengan kosmologi. Dimulai dari penjelasan mengenai simetri dan evolusi kosmos, kemudian ruang hampa dan ledakan besar, yang berlanjut kepada timbulnya bintang-bintang.
Bagian empat mengarah kepada teori string, dan bagian lima mengenai kemungkinan atau prospek yang dapat diberikan ilmu fisika dan kosmologi yang dapat terjadi di masa mendatang berdasarkan pengetahuan dan teori yang diketahui saat ini.
Dengan penjelasan yang menarik, melalui bukunya ini dapat menumbuhkan antusiasme terhadap ilmu yang diuraikannya, sehingga pembaca turut tertular semangatnya menguak tabir alam semesta.

THE SACRED DEPTHS OF NATURE



Pengarang : Ursula Goodenough
Penerbit : Oxford Univ. Press
Tahun : 2000 (1st ed. 1998)
Tebal : 182 halaman

Humans need stories – grand, compelling stories – that help to orient us in our lives and in the cosmos. The Epic of Evolution is such a story, beautifully suited to anchor our search for planetary nsus, telling us of our nature, our place,our context. Moreover, responses to this story – what we are calling religious naturalism – can yield deep and abiding spiritual experiences .”

Tidak hanya kepercayaan akan adanya supernatural yang dapat menimbulkan perasaan religius, tetapi pemahaman yang sebenarnya akan alam juga mampu menimbulkan religiusitas, sebagaimana dialami para ilmuwan. Namun apabila sebagian ilmuwan jelas-jelas menyatakan bahwa religiusitas sebagaimana diajarkan tiga agama samawi (Yahudi-Kristen-Islam) tidak sesuai dengan sains dan harus ditolak, maka penulis buku ini – profesor biologi sel – berupaya mempertemukan kedua hal tersebut.

Ursula Goodenough memahami apa yang membuat manusia mencintai agama tradisional: yaitu adanya perasaan berarti, istimewa, tujuan hidup, kekaguman akan keajaiban atau keindahan alam semesta, dan perasaan senasib atau kasih sayang kepada sesama manusia serta makhluk hidup lainnya. Menurut penulis, pemahaman yang sungguh-sungguh akan cara bekerja alam semesta juga dapat menimbulkan perasaan yang sama, yaitu rasa religius. Membedakannya dengan agama tradisional, penulis menyebutnya naturalisme religious, yaitu religiusitas bukan karena kepercayaan akan adanya sesuatu yang supernatural, melainkan religiusitas yang timbul karena pemahaman akan cara bekerja alam yang menakjubkan dan penuh keajaiban. Karena penjelasan yang diberikan science bahkan lebih menakjubkan daripada penjelasan tradisional – biologist Richard Dawkins menyebutnya ‘stranger than fiction’ - hal yang membuat banyak ilmuwan meninggalkan kepercayaan tradisional.

Penulis mencoba mengajak pembaca untuk turut merasakan religiusitas tersebut dengan merangkainya dalam sebuah buku yang lebih mirip buku agama atau puisi. Maka buku ini dibagi dalam 12 bab pendek yang membahas hal-hal paling mendasar dalam kehidupan, a.l: asal mula bumi, asal mula kehidupan, bagaimana kehidupan bekerja, bagaimana organisme bekerja, bagaimana evolusi bekerja, evolusi dari keragaman kehidupan (biodiversity), kesadaran, emosi dan arti, multiselular dan kematian, speciation.
Setiap bab dibagi menjadi dua bagian, yaitu penjelasan mengenai pokok masalah (berdasarkan penemuan ilmiah terakhir), dan refleksi, yang kemudian dapat diakhiri dengan puisi atau potongan ayat dari kitab suci. Misalnya pada bab sebelas, penulis menjelaskan mengenai makna kematian berdasarkan biologi: makhluk hidup multicellular (multi sel) dapat menjadi makhluk yang kompleks karena terdapat pembagian kerja yang terjadi sejak masa embrio, yaitu adanya sel yang khusus bertugas menjadi pelanjut keturunan (germ line), dan sel yang bertugas menjaga kelangsungan soma (tubuh) sesuai kondisi lingkungan sekelilingnya untuk memastikan bahwa germ line atau generasi berikut dapat diteruskan. Hal ini memungkinkan berkembangnya kompleksitas bentuk tubuh binatang dan juga otak pada manusia. Namun, hal ini juga berarti bahwa tubuh hanyalah sarana bagi germ line, sehingga suatu waktu harus mati. Imortalitas tidak pada tubuh, tapi pada germ line (sel pelanjut keturunan, a.l. sel telur). Apabila seluruh sel juga harus ‘memikirkan’ regenerasi, sehingga tidak terdapat pembagian tugas, maka makhluk hidup akan menjadi seperti algae dan fungi satu sel, karena tidak ada spesialisasi yang dapat berkembang ke arah kompleksitas atau keanekaragaman. “And it is here that we arrive at one of the central ironies of human existence. Which is that our sentient brains are uniquely capable of experiencng deep regret and sorrow and fear at the prospect of our own death, yet it was the invention of death, the invention of germ/soma dichotomy, that made possible the existence of our brains.” Dengan mengerti akan hal ini, menurut penulis, kita dapat menghargai kehidupan yang kita peroleh dan kematian dapat dihadapi sebagai suatu kewajaran yang seharusnya, “Death is the price paid to have trees and clams and birds and grasshoppers, and death is the price paid to have human consciousness, to be aware of all that shimmering awareness and all that love.”

Buku ini indah seperti prosa liris atau puisi, dan sesuai bagi siapapun yang ingin mengerti tempatnya di dunia dalam satu buku ringkas. Namun bila ingin penjelasan ilmiah yang lebih terinci, perlu dilengkapi dengan membaca buku-buku lain.