Saturday, May 12, 2007

SEEDS OF CHANGE – Six Plants That Transformed Mankind



Pengarang : Henry Hobhouse
Tebal : 372 hal
Penerbit : Folio Society, London
Tahun : 2007 (1st ed. th 1985, revisi th. 1999)

Hampir seperti Guns, Germs and Steel dari Jared Diamond, buku ini hendak mengungkapkan bahwa sejarah tidak hanya dibentuk atau ditentukan oleh manusia, yaitu pahlawan dan tokoh-tokoh sejarah, tapi juga oleh hal-hal lain yang selama ini tidak dianggap penting. Beberapa jenis tanaman sangat menentukan jalannya sejarah.
Menurut penulis, terdapat 6 (enam) jenis tanaman yang sangat mempengaruhi sejarah, yaitu quinine (kina), gula, teh, katun, kentang dan koka. Tanam-tanaman ini, selain memberikan manfaat bagi umat manusia, ternyata juga menimbulkan sejarah yang cukup tragis bagi sejumlah bangsa.

Penemuan pohon quinine - yang berasal dari pegunungan Andes – sebagai obat malaria memungkinkan bangsa Eropa melakukan ekspansi dan membentuk koloni di negara-negara Asia dan Afrika yang sarat dengan penyakit tersebut.
Tanpa obat malaria, bangsa Eropa tidak dapat menembus pedalaman Afrika, yang sampai dengan pertengahan abad 19 masih merupakan misteri, atau membentuk koloni cukup berarti di Indocina. Tidak hanya itu, riset untuk untuk menemukan obat malaria yang lebih baik berupa perlombaan menciptakan quinine sintetis antar negara Eropa yang kemudian lebih ditekuni oleh Jerman membuat bangsa tersebut secara tidak sengaja menemukan pewarna tekstil sintetis dan selanjutnya menjadi pelopor dalam bidang kimia sintetik serta farmasi, yang memungkinkannya cukup memiliki dana untuk membiayai perang dunia II.

Kisah gula cukup tragis. Sebelum gula ditemukan, masyarakat Eropa cukup puas menggunakan madu untuk pemanis. Namun setelah mengenal gula, yang dianggap lebih sesuai untuk minum teh, kopi, coklat dan banyak makanan lainnya, permintaan akan tanaman tersebut meningkat sangat tinggi, terutama di Inggris.

Penanaman dan produksi untuk menghasilkan gula memerlukan banyak pekerjaan fisik yang bertahap-tahap di udara tropis, sehingga Hindia Barat yang terdiri dari kepulauan Karibia menjadi tempat penanaman dan produksi gula. Oleh karena orang kulit putih tidak bersedia melakukan pekerjaan tersebut, maka dilakukan impor budak besar-besaran dari Afrika Barat ke pulau penghasil gula, terutama Haiti, Barbados dan Jamaika.
Industri gula mengambil banyak nyawa penduduk Afrika barat, karena dalam proses menjadi budak, yaitu diburu di pedalaman Afrika, kemudian dibawa ke pantai, lalu naik kapal ke Hindia Barat, kemudian dijual di pasar budak di kota, dan terakhir dibawa ke perkebunan, hanya 50% yang selamat sampai hingga ke perkebunan, lainnya meninggal dalam perjalanan, terutama akibat kondisi kapal yang buruk dan perjalanan laut yang lama. Kondisi yang cukup buruk ini berlangsung selama sekitar dua ratus tahun, dan karena mayoritas penduduk merupakan budak maka selama waktu tersebut pendidikan dan kebudayaan tidak mendapat perhatian, sehingga ketika perbudakan dihapuskan pun, ketiga pulau di atas menjadi wilayah miskin tanpa budaya, bahkan erat dengan mistik, kekerasan dan kriminalitas. Hal ini masih meninggalkan bekas sampai saat ini. Dengan demikian, peningkatan konsumsi gula yang signifikan oleh Inggris – dan kemudian Eropa – dibayar sangat tinggi dengan nyawa para budak dari Afrika Barat.

Kisah mengenai tanaman teh tidak kalah tragis. Teh, yang berasal dari Cina, selama puluhan tahun diimpor Inggris dengan barter berupa ekspor tembaga dan perak, karena Cina tidak memerlukan barang lainnya, bahkan menganggap bangsa lain lebih rendah, sehingga menutup semua kotanya dari kapal asing kecuali Canton, khusus untuk perdagangan teh. Namun ketika Inggris mengalami inflasi sehingga harga perak menjadi mahal, Inggris mencari siasat baru untuk mendapatkan teh dengan harga murah, yaitu dengan menyelundupkan opium. Harga opium yang jauh lebih tinggi dari teh membuat Inggris meraih keuntungan cukup besar sementara secara perlahan opium merusak bangsa Cina. Hal ini pada akhirnya membuat Cina marah. Namun kemarahan Cina malah membuat Inggris bertekad untuk membuat Cina membuka kota-kota pelabuhannya untuk perdagangan dengan asing. Dengan kekuatan lautnya yang lebih baik, Inggris akhirnya berhasil membuat Cina membuka beberapa kota perdagangannya yang penting dan menguasainya, bahkan kemudian membuat Cina menjadi lemah.

Tanaman lain yang erat dengan perbudakan adalah katun. Membaiknya teknik penenunan dengan ditemukannya mesin-mesin tenun oleh bangsa Inggris pada pertengahan abad 18 mengakibatkan meningkatnya permintaan akan tanaman katun, yang hanya dapat dipenuhi Amerika Selatan, karena wilayahnya masih luas dengan iklim yang sesuai. Namun upaya memenuhi peningkatan permintaan ini kemudian mengakibatkan peningkatan jumlah budak di wilayah Amerika Selatan – dengan pusat perdagangan katun di New Orleans - yang selama 85 tahun (tahun 1765 – 1850) mengalami peningkatan dari sekitar lima ratus ribu menjadi empat juta budak. Sementara di Inggris, peningkatan jumlah pabrik teksil mengakibatkan buruh pabrik yang semula terdiri dari laki-laki menjadi didominasi oleh perempuan dan anak-anak dengan kondisi sangat menyedihkan. Meningkatnya jumlah budak di Amerika pada akhirnya menimbulkan pemikiran untuk mengakhirinya, yang mengakibatkan terjadinya perang sipil antara Amerika Utara dan Amerika Selatan.
Bagaimana dengan kentang? Tanaman kentang mempengaruhi emigrasi bangsa Irlandia ke Amerika Serikat. Mudahnya bertanam kentang mengakibatkan populasi Irlandia meningkat pesat, sehingga ketika suatu ketika panen gagal, banyak yang kelaparan, yang menimbulkan gelombang emigrasi besar-besaran ke Amerika. Maka, karakter bangsa Irlandia memberi warna tersendiri pada bangsa Amerika.

Selama ini kita telah mengetahui dari pelajaran sejarah di sekolah bahwa penjajahan terhadap bangsa kita dimulai dari datangnya bangsa Eropa yang berebut ingin menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku. Dari buku ini kita tahu bahwa tidak hanya tanaman rempah-rempah yang bisa mempengaruhi nasib suatu bangsa, tapi juga tanaman lainnya.
Menarik pula renungan penulis akan sejarah tersebut, misalnya perubahan ekonomi (sejarah) dapat membuat suatu kota yang tadinya berarti (misalnya Liverpool sebagai kota pelabuhan penting di Inggris pada abad 19, tempat ekspor 90% katun dunia) menjadi tidak berarti apa-apa bahkan menjadi beban biaya. Demikianlah nasib kota-kota atau bangsa yang tidak bisa mengikuti perubahan atau beradaptasi, karena sesuai hukum Darwin, hanya mereka yang mampu beradaptasi yang dapat survive.

THE NAKED FACE OF EVE



Judul : Wajah Telanjang Perempuan
Pengarang : Nawal El Saadawi
Penerjemah : H. Azhariah, Lc
Tebal : 346 hal
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Tahun : 2003 (1st ed)

The Naked Face of Eve adalah buku klasik feminisme Islam yang penting, karena untuk pertama kalinya seorang wanita Arab dengan berani melakukan kritik terhadap filsafat Islam termasuk Al Qur’an secara obyektif. Buku ini seharusnya dibaca oleh setiap perempuan agar menyadari posisinya dalam masyarakat dengan benar.
Nawal adalah seorang Muslim, karena itu pada dasarnya ia tidak sepenuhnya menyalahkan agama atas penindasan dan pembatasan yang diterapkan masyarakat Arab kepada perempuan, karena bagi Nawal yang menjadi sumber permasalahan adalah sistem masyarakat yang bersifat patriarkis. Menurut penulis, semua agama samawi (Yahudi,Nasrani, Islam) merendahkan perempuan, karena semua berasal dari masyarakat patriarkat.
Berdasarkan sejarah zaman kuno dan penelitian antropologi, pada suku-suku primitif (suku pemburu pengumpul/hunter gatherer) yang belum mengenal kelas, masyarakat masih berdasarkan sistem matriarkat. Pada tahap ini kedudukan perempuan tinggi, karena dianggap sebagai yang melahirkan kehidupan, sehingga pada saat itu yang menjadi pemujaan adalah dewi-dewi. (Ingat kisah Dewi Sri di Jawa, istilah Mother Nature dalam bahasa Inggris?) Selanjutnya dengan berkembangnya masyarakat menjadi menetap, mulai timbul kepemilikan kekayaan dan kelas-kelas, dan laki-laki mulai berusaha menguasai kekayaan dengan menetapkan pembatasan terhadap perempuan sehingga perempuan mulai tersingkir serta kedudukannya menjadi rendah seperti barang. Sebagai akibatnya, kedudukan dewi-dewi sebagai sosok yang dipuja secara perlahan hilang dari masyarakat, digantikan oleh sosok maskulin sesuai dengan masyarakat patriarkat. Tidak mengherankan bahwa Tuhan dalam agama samawi sifatnya seperti laki-laki.
Menurut Nawal, agama samawi telah ditafsirkan sesuai sistem patriarkat, bukan sesuai ajaran itu sendiri, sehingga munculnya agama justru menurunkan posisi perempuan, baik itu dalam masyarakat Arab, Romawi maupun Yahudi. Namun masyarakat Barat telah dapat membebaskan diri dari kekuasaan gereja yang terlalu kuat sehingga memungkinkan munculnya pemisahan antara agama dan negara, yang memberi kontribusi pada peningkatan status perempuan. Sebaliknya dalam masyarakat Arab Islam, hal itu tidak pernah terjadi, sehingga agama justru dijadikan alat bagi sistem patriarkat untuk melanggengkan kekuasaannya yang merendahkan perempuan.
Nawal mengkritik pandangan Al Gazhali tentang kedudukan perempuan, dan menguraikan mengapa perempuan Arab setelah munculnya agama Islam harus dipisahkan dari laki-laki, dikurung di rumah, dianggap setan jika tampak di luar rumah sehingga harus ditutupi seluruh tubuhnya dengan hijab dan harus ditemani salah seorang keluarga berjenis laki-laki. Semua itu bukan untuk melindungi perempuan, namun untuk melindungi laki-laki agar tidak tergoda. Dalam sistem tersebut, perempuan tidak ada harganya, karena itu tindakan yang diberlakukan terhadap perempuan bukanlah untuk melindungi perempuan itu sendiri, tetapi untuk menjaga kehormatan laki-laki yang memiliki perempuan tersebut. Itulah sebab yang sebenarnya dari perintah mengenakan hijab.

Nawal el Sadaawi yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia, adalah dokter, tokoh feminis Mesir yang telah menulis banyak novel yang menggambarkan penindasan terhadap perempuan di Mesir sehingga membuatnya memiliki banyak musuh di negerinya. Namun ia wanita yang pemberani dan konsisten terhadap perjuangannya. Ia tidak mengenakan kerudung maupun kosmetik (postmodern veil), karena menganggapnya sebagai salah satu bentuk penindasan perempuan. Buku-bukunya yng telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor antara lain Perempuan di Titik Nol dan Memoar Dari Penjara.
Buku klasik ini tidak hanya penting bagi perempuan Arab, tapi juga perempuan Islam pada umumnya untuk memahami asal mula ajaran-ajaran konservatif yang ditafsirkan oleh kaum ulama (pada umumnya laki-laki), agar tidak begitu saja menerimanya tanpa mengerti bahwa dibalik ajaran yang dibungkus kata-kata “untuk melindungi wanita” sebenarnya bersembunyi kepentingan melanggengkan kekuasaan patriarkat.