Thursday, September 21, 2006

THE BIQ QUESTIONS - Probing the Promise and Limits of Science



Pengarang : Richard Morris
Penerbit : Henry Holt, NY, 2002
Tebal : 251 halaman


Zaman dahulu, filsafat memegang peranan penting karena didalamnya tercakup hampir semua ilmu termasuk fisika, biologi dan astronomi, dan banyak pertanyaan besar/filosofis dianggap tidak akan dapat terpecahkan dan merupakan domain diluar sains. Saat ini filsafat masih menanyakan hal yang sama, namun perkembangan sains demikian pesat sehingga pertanyaan-pertanyaan yang bersifat filosofis kini menjadi obyek penelitian para ilmuwan. Ilmu-ilmu kognitif seperti kognitif psikologi, neurofisiologi dan artificial intelligence (kecerdasan buatan) mulai mengungkapkan tentang apa sebenarnya pikiran (mind), biologi dan evolutionary psikologi mulai menguakkan bagaimana sebenarnya kondisi manusia, dan fisika serta kosmologi memiliki jawaban apa yang terjadi ketika alam semesta baru terbentuk.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis buku ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan besar yang tampaknya diluar sains dan tidak mungkin akan terjawab secara final : apakah waktu, apakah dunia ada jika kita tidak melihatnya, mengapa ada sesuatu dan bukannya ketiadaan, apakah dunia bisa selain dari pada ini, apa yang terjadi sebelum permulaan, apakah ada Tuhan, apakah arti/tujuan semua ini, apakah pikiran, bagaimana kondisi manusia, apakah kebenaran ? Semua pertanyaan di atas adalah sebagian dari judul yang terdapat pada dua belas bab dalam buku ini.
Misteri mengenai waktu belum sepenuhnya terpecahkan, karena hukum fisika menyatakan bahwa waktu adalah simetris, di lain pihak kita mengetahui bahwa waktu memiliki arah, ada masa lalu dan masa depan. Ilmuwan mengetahui bahwa alam semesta akan semakin memuai di masa mendatang, akan tetapi tidak diketahui apakah waktu juga akan mundur jika alam semesta menyusut (kontraksi). Mengenai realitas dunia material, mekanika kuantum menunjukkan bahwa benda berukuran makroskopik kemungkinan tidak memiliki realitas obyektif, kecuali jika terdapat alam semesta paralel. Akan tetapi belum ada yang dapat membuktikan bahwa terdapat paralel universe. Demikian pula teori mengenai asal usul alam semesta masih bersifat spekulatif, karena dua teori yang ada saat ini (relativitas umum dan mekanika kuantum) tidak bersesuaian, sehingga ilmuwan berharap bahwa kelima teori superstring yang bertalian dengan teori M dapat memberikan jawaban final. Namun hal ini pun masih sangat jauh, karena teori string masih dalam tahap awal sedangkan teori M sendiri belum ada yang mengetahui. Teori ini diharapkan dapat menjelaskan asal usul alam semesta dan mengapa hukum-hukum alam yang berlaku sebagaimana saat ini.
Banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab secara final oleh sains dan tidak ada kepastian bahwa jawabannya kelak akan diperoleh. Namun dari astronomi diketahui bahwa alam semesta tunduk pada hukum-hukum alam yang bersifat impersonal dan tidak peduli (indifferent) dan galaksi tempat bumi berada hanya merupakan titik kecil tidak berarti diantara sekitar seratus miliar galaksi, dan lima milyar tahun lagi matahari akan mendingin dan menelan bumi. Evolutionary biologi menunjukkan bahwa evolusi yang terjadi di bumi selama milyaran tahun adalah hasil dari mutasi random melalui mekanisme seleksi alam yang berjalan secara buta tanpa ada tujuan sebelumnya, dan bahwa manusia bukanlah produk akhir evolusi yang lebih tinggi dari yang lain. Sementara itu survival dari makhluk hidup sebagian adalah hasil dari keberuntungan, karena 99% dari seluruh makhluk hidup yang pernah mendiami bumi telah punah. Dengan demikian, semakin dalam pemahaman para ilmuwan akan hal-hal tersebut, semakin sulit untuk menerima bahwa manusia dan bumi memiliki posisi yang istimewa di alam semesta dan diciptakan dengan tujuan tertentu. Sains tidak bisa menunjukkan bahwa ada tujuan, arti atau rancangan dari semua ini, sebagaimana dinyatakan penulis, “ We exist by chance in a universe that created by chance”.
Sains yang memberikan informasi seperti di atas tentu sangat sulit diterima, karena manusia tidak bisa hidup tanpa tujuan atau arti. Namun kebenaran ilmiah tidak harus sesuai dengan keyakinan atau perasaan manusia. Sejarah menunjukkan, pendapat bahwa matahari mengelilingi bumi dapat bertahan ratusan tahun karena mendapat dukungan kuat dari kepercayaan yang dianut masyarakat, sehingga untuk mengubahnya memerlukan keberanian dalam menghadapi kecaman dan hukuman, karena dianggap menentang kepercayaan yang dianut pada masa itu. Dengan demikian penolakan terhadap teori dan bukti ilmiah yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat (misalnya teori evolusi yang baru berumur 150 tahun) adalah lumrah. Sehingga tidak mengherankan bahwa jarak antara sains dan masyarakat semakin jauh, sementara pseudoscience semakin berkembang. Dalam buku ini penulis cukup obyektif dengan mengemukakan pandangan dari para filsuf/ilmuwan yang religius seperti Swinburne maupun Stephen Jay Gould yang memisahkan agama dengan sains, hingga mereka yang tegas-tegas menyatakan bahwa konsekuensi pemahaman akan sains modern adalah atheisme, sebagaimana dianut oleh Richard Dawkins, Stephen Hawking, dan banyak lagi lainnya. Bagi masyarakat awam pendapat terakhir mungkin sulit diterima, namun survey (di AS) menunjukkan bahwa 60% ilmuwan tergolong agnostic atau atheis. Meskipun demikian, para ilmuwan tersebut berpendapat, ketidak percayaan kepada keyakinan lama tidak berarti manusia dapat melepaskan nilai-nilai moral. Sebaliknya moralitas tetap harus dijaga dengan berlandaskan nilai-nilai universal.
Pembaca dapat saja tidak sependapat dengan kesimpulan Richard Morris dan para ilmuwan di atas, namun buku ini bermanfaat karena memberikan garis besar perkembangan sains mutakhir secara menyeluruh dikaitkan dengan pertanyaan besar dan mendasar yang selalu menjadi pertanyaan kita serta menggambarkan pandangan sebagian besar ilmuwan pada saat ini. Meskipun demikian untuk mengetahui rincian dari setiap teori dan penemuan yang diuraikan oleh penulis, lebih baik apabila membaca pula buku-buku sains populer lain seperti yang ditulis oleh Richard Dawkins, Carl Sagan, Gould dll. Sayangnya, buku-buku tersebut belum ada yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (kecuali Cosmos karya Carl Sagan). Padahal apabila diterjemahkan, publik Indonesia dapat memiliki informasi yang berimbang, sehingga ketika buku-buku “sains” Harun Yahya membanjiri pasaran dapat menilai kualitas buku dan tujuan penulisnya serta tidak menganggapnya sebagai sains.



Catatan:
Richard Morris, PhD yang berpendidikan fisika adalah penulis belasan buku sains populer, antara lain The Evolutionists, The Arrows of Time, Archilles in the Quantum Universe, dll. Ciri bukunya adalah menggunakan uraian dan bahasa Inggris yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca yang bukan pemakai bahasa tersebut.

No comments: