Thursday, September 21, 2006

THE BEAK OF THE FINCH - A Story of Evolution



Pengarang : Jonathan Weiner
Penerbit : Knopf, NY, 1996
Tebal : 300 hal

Teori evolusi menyatakan bahwa evolusi terjadi melalui seleksi alam, sehingga hanya yang paling fit yang akan bertahan (survive). Selanjutnya gen dari mereka yang survive inilah yang akan diteruskan dan membentuk generasi berikutnya, sehingga dalam jangka panjang yang tinggal adalah gen dari mereka yang paling fit, atau paling mampu beradaptasi dengan lingkungan alam tempat mereka hidup. Sifat atau karakteristik (misalnya kaki yang mampu berlari cepat, leher yang panjang dst) mereka yang survive akan semakin berkembang (disempurnakan) dan diteruskan ke generasi di bawahnya. Itu sebabnya gen yang sukses adalah yang mampu menghasilkan keturunan sebanyak-banyaknya dengan kemampuan adaptasi semakin baik, sedangkan yang gagal adalah yang menjadi punah. Namun bagaimana sebenarnya mekanisme tersebut berjalan ?

Buku ini menguraikan penelitian yang dilakukan oleh sepasang ilmuwan dari Universitas Princeton, yaitu Rosemary dan Peter Grant selama 21 tahun (1973-1994) di salah satu kepulauan Galapagos terhadap enam spesies burung kutilang (finch). Hal yang diteliti adalah proses seleksi alam yang terjadi. Pulau tersebut dipilih karena cukup kecil untuk dapat menjangkau seluruh kutilang yang ada dan cukup terisolasi dari pengaruh luar.

Kisah dimulai pada tahun 1976 di pulau Daphne. Pada bulan Maret tahun tersebut terdapat 1400 burung kutilang fortis, kemudian pada Januari 1977 terdapat 1300 fortis, 1200 daphne, dan 280 kaktus kutilang. Awal tahun tersebut cuaca baik, namun kemudian tiba musim kering yang buruk dan lama sehingga biji-bijian yang menjadi makanan burung-burung tersebut jauh menurun jumlahnya dan pada akhirnya hanya terdapat biji-bijian yang besar dan keras, seperti Tribulus. Tribulus tidak dapat dimakan oleh kutilang yang bertubuh dan berparuh kecil, dengan demikian hanya kutilang yang memiliki tubuh dan paruh yang besar yang dapat memanfaatkan Tribulus sebagai makanan.
Setelah musim kering, yaitu bulan Desember 1977, jumlah kutilang fortis menurun menjadi hanya kurang dari 300 ekor, sedangkan Daphne dan kutilang kaktus masing-masing 180 dan 110 ekor, atau terjadi penurunan sebesar 85% dan 60% dari jumlah semula.
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa kutilang yang dapat melalui musim kering dan bertahan hidup memiliki besar tubuh rata-rata lebih 5% -6% dari yang tidak dapat bertahan, dan panjang serta dalam paruh rata-rata 11,07 mm dan 9,96 mm, sedangkan sebelum musim kering, panjang dan dalam paruh rata-rata kutilang adalah 10,68 mm dan 9,42 mm. Oleh karena kutilang yang bertubuh lebih besar adalah kutilang jantan, maka lebih banyak kutilang jantan yang hidup dari pada betina, sehingga rasio jenis kel. pun berubah menjadi 6 : 1 untuk kutilang jantan dan betina.

Berdasarkan kejadian di atas diketahui pula bahwa perbedaan ukuran paruh sebesar 1,5 mm dapat menentukan kemampuan bertahan hidup kutilang atau menentukan mana yang fit dan tidak. Dengan demikian yang membuat perbedaan antara hidup dan mati adalah “variasi yang terkecil” (the slightest variation), sesuai dengan prediksi teori Darwin, dalam hal ini adalah perbedaan ukuran kedalaman paruh yang bahkan tidak tampak oleh mata.

Selanjutnya pada tahun 1978 terjadi musim hujan, yang juga merupakan musim kawin bagi kutilang. Oleh karena rasio jenis kel. tidak seimbang, tidak semua kutilang jantan memperoleh pasangan, dan yang paling berhasil adalah yang memiliki tubuh dan paruh terbesar, sehingga keturunan yang dihasilkan pun akhirnya memiliki paruh 4%-5% lebih besar dari kutilang yang terdapat pada masa sebelum musim kering. Dari sini tampak bahwa seleksi alam sedang terjadi. Seleksi alam memilih kutilang yang berparuh lebih besar.

Tahun 1982 terjadi musim hujan yang panjang disertai banjir. Musim hujan yang panjang berarti banyak kutilang yang bertelur sehingga jumlah kutilang kaktus dan fortis meningkat 400%. Namun tahun berikutnya tingkat hujan menurun, dari 53 mm menjadi 4 mm, sehingga makanan pun semakin sulit didapat, sedangkan jumlah kutilang telah meningkat pesat. Akibatnya daya dukung alam tidak mampu menanggung peningkatan jumlah kutilang, sehingga banyak kutilang muda yang mati.
Sementara itu pada tahun 1985 banyak kutilang yang tubuh dan paruhnya besar mati. Hal ini karena biji-bijian besar jauh lebih sedikit jumlahnya sedangkan bijian kecil kini berjumlah 10 kali lipat. Kutilang berparuh besar mengalami kesulitan untuk makan biji-bijian kecil, sehingga kekurangan makanan dan mati. Kini alam menguntungkan kutilang kecil dan sedang. Dengan demikian seleksi alam dapat mendorong spesies ke satu arah dan kemudian mendorongnya ke arah yang berlawanan dalam waktu relatif singkat.

Hal menarik lainnya adalah ditemukannya hybrid antara spesies kutilang fortis dengan fuliginosa pada tahun 1987, yang dapat berkembang biak dengan baik, melebihi fortis murni, sehingga jumlahnya menjadi 1,3 kalinya. Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah hal seperti ini yang menjadi asal mula dari munculnya spesies baru ? Karena biasanya hybrid (seperti kuda dengan keledai) steril. Penemuan ini berarti pula bahwa perkawinan antar spesies tidaklah demikian kaku, dan dapat terjadi apabila dapat bereproduksi lebih baik.

Selain hasil penelitian di atas, diuraikan pula penelitian terhadap seleksi alam yang terjadi pada ikan guppy yang terdapat di Amazon dan Trinidad oleh John Endler. Ikan ini terdapat di sungai jernih sepanjang pegunungan, dari bagian hulu di bagian atas gunung sampai di sungai yang terletak di dasar gunung, di antara hutan dan air terjun. Dasar sungai merupakan batu kerikil berwarna-warni, sedangkan ikan guppy sendiri memiliki motif bintik tidak beraturan yang berwarna-warni pula, terutama warna biru.
Lingkungan ikan guppy berbeda tingkat keamanannya. Bagian hulu merupakan bagian teraman, karena hanya terdapat satu pemangsa (predator) ikan guppy, yaitu Rivulus Hartii, yang memangsa satu guppy setiap lima jam. Semakin ke bawah, semakin banyak predatornya, sehingga di sungai yang terletak di dasar gunung ikan guppy hidup bersama seluruh pemangsanya, yaitu enam jenis ikan dan satu jenis udang. Yang terganas adalah Cichlids ., yang memangsa tiga guppy setiap jam.
Dari penelitian, ditemukan bahwa meskipun tampaknya bintik ikan guppy tidak beraturan polanya, terdapat suatu keteraturan tertentu. Bintik pada setiap populasi guppy memiliki hubungan dengan jumlah pemangsa yang terdapat di lingkungan tempat ikan tersebut hidup. Semakin banyak pemangsanya di suatu sungai, bintik ikan guppy semakin kecil dan warnanya semakin samar, sebaliknya, semakin sedikit musuh yang terdapat di sekelilingnya semakin besar dan terang bintiknya. Guppy yang hidup di bagian hulu memiliki warna menyolok, sebagian besar biru dan bercahaya serta mudah terlihat, sedangkan guppy yang hidup di dasar gunung bintiknya kecil dan cenderung berwarna merah dan hitam, semakin mirip dengan kerikil di dasar sungai. Endler berkesimpulan bahwa seleksi alam sedang bekerja, yaitu semakin besar tekanan pemangsa, semakin kuat penyamaran yang dilakukan.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa harus berwarna-warni dan tidak samar sama sekali. Hal ini karena ikan tersebut juga harus dapat menarik perhatian betina, agar dapat bereproduksi. Apabila ikan guppy tidak menarik sama sekali atau tidak terlihat sama sekali diantara kerikil dasar sungai maupun kelompoknya, betina guppy tidak akan tertarik untuk berpasangan dan bereproduksi. Dengan demikian bintik ikan guppy juga dibentuk oleh seleksi seksual.
Pada bagian hulu ikan guppy yang bermotif menyolok lebih banyak, karena mereka memiliki cukup waktu untuk berkembang biak sebelum dimakan pemangsanya, sebaliknya di bagian bawah ikan yang menyolok segera dimangsa sebelum sempat bereproduksi, sehingga jumlahnya dikalahkan oleh ikan yang bermotif lebih samar. Dengan demikian ikan di bagian tersebut bintiknya cenderung semakin samar, demikian pula sebaliknya di bagian hulu sungai. Selain itu terdapat pula kekhususan, misalnya di bagian hulu sungai terdapat udang, di lingkungan ini bintik guppy banyak berwarna merah. Hal ini ternyata karena udang buta akan warna merah, sehingga memiliki banyak warna merah berarti mengurangi risiko terlihat oleh pemangsa.
Untuk membuktikan lebih lanjut teorinya, Endler melakukan penelitian laboratorium. Ia membuat sepuluh buah kolam, 4 buah kolam dibuat seperti lingkungan hidup tempat pemangsa guppy Crenicichla alta, dan 6 buah kolam seperti lingkungan Rivulus hartii. Dasar sungai dibuat sama dengan di alam, dengan kerikil berwarna hitam, putih,biru,hijau,merah dan kuning.
Sementara itu di beberapa akuarium terpisah dikembangbiakkan seluruh jenis guppy dari Venezuela dan Trinidad. Di setiap akuarium ditempatkan guppy dengan setiap pemangsanya, dari hanya satu sampai dengan tujuh pemangsa dalam satu lingkungan. Selanjutnya Endler mengambil lima pasang secara acak dari setiap akuarium dan menempatkannya menjadi satu dalam dua kolam serta membiarkan mereka berkembang biak dan berbaur. Tidak lama kemudian jumlahnya telah berlipat dua, karena guppy bertelur pada umur 5-6 minggu. Setelah dua bulan ia menggunakan guppy dari dua kolam tersebut dan menggunakannya untuk mengisi dua kolam lainnya, sehingga setelah sebulan ia dapat mengisi sepuluh kolamnya dengan masing-masing 200 ikan. Dengan demikian dalam setiap kolam terdapat bermacam jenis ikan guppy yang heterogen, dengan bermacam pola bintik. Setelah cukup waktu bagi mereka untuk berkembang biak lagi, ia memasukkan pemangsa ikan guppy tersebut satu persatu sebagaimana di alam bebas. Apabila perkiraannya benar, motif guppy seharusnya akan terpola seperti di alam, yaitu di lingkungan yang banyak pemangsa, bintiknya akan mirip dengan dasar kolam yaitu merah keabu-abuan atau kehitaman, sedangkan di lingkungan yang lebih aman dengan hanya satu atau dua pemangsa bintik guppy akan menyolok, banyak warna biru dan bercahaya.
Untuk meneliti hal di atas, setelah lima bulan Endler melakukan sensus yang pertama untuk meneliti pola dan warna bintik yang terdapat pada ikan guppy. Sensus kedua dilakukan 9 bulan kemudian atau setelah sepuluh generasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa guppy yang hidup dengan satu atau dua pemangsa bintiknya semakin besar dan warnanya menyolok, sedangkan guppy yang hidup dengan pemangsa terganas bintiknya semakin sedikit dan samar yaitu semakin mirip dengan warna kerikil di dasar kolam, sehingga semakin sulit terlihat oleh cichlids yang menyerang pada jarak 20-40 cm, namun masih dapat terlihat oleh betinanya. Warna biru yang bercahaya tidak tampak lagi, sama seperti yang terjadi di alam bebas, demikian pula bentuk ikan semakin mengecil. Sementara itu guppy yang hidup tanpa pemangsa warna bintiknya tidak berubah menjadi seperti warna kerikil.

Penelitian-penelitian yang dilakukan di atas menjelaskan bahwa meskipun tampaknya alam tidak berubah (konstan), namun sebenarnya seleksi alam terjadi setiap jam, setiap hari. Hasil penelitian-penelitian ini juga menambah bukti teori evolusi.
Selain seleksi alam dan seleksi seksual, dibahas pula mengenai asal mula (origin) spesies dan bagaimana adaptasi terjadi berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh para evolusionis untuk menjawab pertanyaan : apakah mungkin suatu spesies baru muncul dari spesies yang telah ada ? apa yang menyebabkan terjadinya pencabangan sehingga muncul suatu spesies baru ? faktor apa yang menyebabkan suatu spesies tetap terpisah ? bagaimana adaptasi terjadi ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam buku ini dijawab dengan menunjuk pada hasil-hasil penelitian yang membuktikan bagaimana hal-hal di atas dapat terjadi.

Buku ini sangat bagus karena dapat memberi gambaran kepada pembaca mengenai mekanisme seleksi alam dan evolusi melalui kejadian konkrit, baik berdasarkan kejadian di alam maupun berdasarkan eksperimen, sehingga dapat membantu pemahaman atas teori yang bagi banyak orang sulit dimengerti tersebut. Selain itu buku ini bahasanya indah, sehingga menyenangkan untuk dibaca.

1 comment:

Anonymous said...

Hello A very nice niche blog, and a good design there sparks Simplicity yet complex algorithm of the internet. Thank You.